Sunday, October 7, 2012

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran


Kalau membicarakan soal tawuran, saya jadi ingat kejadian belasan tahun lalu ketika masih duduk di bangku kelas satu SMA. Saya pernah ikut tawuran! Ups… gak, ding. Saya gak pernah  ikut tawuran kok, tapi saya pernah berada di medan  tawuran dua SMA yang letaknya berdekatan dengan SMA saya. SMA saya sendiri seingat saya, belum pernah terlibat tawuran. 


Waktu itu, saya sedang merayakan hari ulang tahun seorang teman dengan mengerjainya. Berhubung dia tahu bakal dikerjai, dia pun melarikan diri sepulang sekolah. Saya dan teman-teman yang sudah membawa berbagai bahan membuat kue (lho?), terpaksa harus mengejarnya sampai ke luar sekolah. Sudah kepalang tanggung, kan kami mau membuat kue di atas kepalanya, hahaha…. Saya membawa terigu, ada teman yang membawa telur, ada juga yang membawa air. semua bakal kami siram ke tubuhnya. Ya, biasalah, tradisi anak sekolah ulang tahun di zaman dulu, gak tahu zaman sekarang masih ada gak. 

Ternyataaa… di luar sekolah kami, banyak anak sekolah lain yang sedang berlarian. Penampilan mereka sangat menyeramkan. Rambut dicat, lalu beberapa anak laki-laki membawa benda-benda tajam. Berhubung saya gak sadar bahwa mereka sedang tawuran, saya terus saja mengejar teman saya itu, sementara teman-teman lain langsung masuk ke sekolah lagi untuk menghindari tawuran. 

Teman saya berteriak, “Laa… Laa… udahan aja.. kita harus naik angkot…! Cepaaat!” 

Muka teman saya pucat, sambil melihat ke belakang saya. Saya ikut menoleh ke belakang, dan langsung bersitatap dengan anak laki-laki dari SMA lain—yang sedang tawuran itu. Di tangannya ada gir motor, salah satu senjata buat tawuran. Anak itu berambut merah, dicat tentunya. Di sekolah saya, mana boleh rambut dicat. Dia berkata, 

“Ngapain lo cewek ikut tawuran? Buruan gih naik angkot, ntar lo mampus….” 

Teman saya pun menarik saya—yang masih bengong—naik angkot, dan kami kabur. Meninggalkan ajang tawuran yang baru belakangan membuat saya sadar. 

Yah, ketika beberapa waktu lalu ada berita tentang tawuran antara SMA 70 dan SMAN 6 Jakarta, yang menyebabkan seorang anak yang terbunuh—padahal gak ikut tawuran, cuma kebetulan ada di tempat tawuran—saya langsung ingat kejadian belasan tahun lalu. Mungkin saja jika Allah menghendaki, saya bisa menjadi korban juga. Gak ikut tawuran , tapi ikut terbunuh. Padahal, sekolah saya amat ketat terhadap siswanya.  Prihatin, tentu. Seorang siswa yang gak ikut tawuran, tapi ikut jadi korban. Mengapa anak-anak itu tega membunuh anak lain? Melayangkan clurit tanpa berpikir akibatnya… mereka pikir sedang main film action kali ya, yang pembunuhannya bohongan. 

Faktor keluarga
Yakin seyakin yakinnya, anak-anak yang tega dan kejam itu, kurang mendapatkan kasih sayang di dalam keluarganya. Atau malah kebanyakan kasih sayang? Alias, terlalu dimanjakan, sampai-sampai orang tua memenuhi semua keinginan anaknya. Yang pasti, orang tua yang bersikap kasar dan cuek, maka anak-anaknya pun akan mengikuti perilaku tersebut. Gak usah jauh-jauh. Saya belajar dari anak-anak saya, bagaimana mereka cepat meniru dan melakukan apa yang saya lakukan. Itu membuat saya harus super hati-hati dalam bersikap. Kalaupun ada yang terlewat, saya harus cepat-cepat memperbaikinya agar mereka tak mengikuti perilaku buruk saya. Anak-anak yang sering mendapatkan sentuhan lembut dan sikap yang santun dari orang tuanya, tentu akan bersikap demikian pula terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, anak-anak yang melihat di dalam diri orang tuanya ada kekerasan dan ketidakpedulian, mereka pun akan melakukan hal yang sama. 

Kasih sayang orang tua bukan berarti memanjakan anak dan membolehkannya melakukan apa saja. Tidak berlaku keras terhadap anak, bukan berarti tidak tegas. Kalau anak salah, tetap harus diluruskan, bukan dibela. Sebagaimana Rasulullah Saw, yang akan memotong tangan Fatimah seandainya Fatimah mencuri. Lucunya, yang sering saya lihat, kalau ada anak berantem dengan anak tetangga, orang tuanya ikut berantem karena membela anak masing-masing. Kesibukan juga kerap membuat orang tua melewatkan masa-masa emas anak mereka. Ayah yang pulang larut malam, tidak sempat berbincang dengan anak-anaknya, bahkan mungkin lupa untuk bertegur sapa. Ibu yang terlampau lelah dengan pekerjaan rumah tangga atau lebih suka berbincang dengan ibu-ibu arisan, hanya sekadar menyajikan hidangan makan siang untuk anak-anak, tanpa sempat bertanya bagaimana keadaan mereka di sekolah. 

Ah, saya pun belum menjadi orang tua yang benar, karena anak-anak juga masih balita. Tapi, belajar dari orang tua saya dulu, yang amat ketat terhadap pergaulan saya. Memang dulu rasanya menyiksa, apa-apa dilarang, tapi kok ya efeknya bagus juga. Terbukti saya bukan anak yang nakal, lho…  bahkan cenderung berprestasi (bukan narsis, hehehe). Orang tua tak selalu menyediakan apa yang saya inginkan. Bahkan, mereka menekankan, bahwa saya harus bisa mencapainya sendiri. 

Faktor Guru dan Sekolah
Jadi guru zaman sekarang susah-susah gampang. Memukul anak didik, langsung diadukan ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Laaah… zaman saya sekolah dulu, tak terhitung berapa cubitan yang mendarat di paha saya, dari guru perempuan. Dan berapa pukulan yang saya terima, dari guru laki-laki, ketika saya melakukan kenakalan. Memang, itu bukan contoh yang baik juga. Mendidik anak tidak harus dengan kekerasan. Tapi tetap para guru harus memberikan ketegasan. Jangan melempem di balik tumpukan uang sogokan para orang tua. Belajar dari SMA saya dulu. Siswa yang pacaran, dipanggil ke ruang guru. Diwawancarai, kalau tidak mau disebut “disidang.” Sudah berapa lama pacaran? Apa saja yang dilakukan saat pacaran? Lalu, dinasihati macam-macam. Hati-hati kalau pacaran, jangan sampai terjadi sesuatu yang merusak masa depan. Aiiih… bagus sekali yah guru-guru saya dulu. Gak heran kalau di angkatan saya dulu gak ada yang hamil di luar nikah. 

Sekolah saya memang sangat ketat. Mengecat rambut, memakai rok mini, memakai baju seragam yang ketat, dijamin bakal dipanggil ke ruang guru untuk mendapatkan sanksi. Memang banyak suara-suara dari siswa “nakal” yang mengeluhkan peraturan di sekolah, tapi gak ada tuh yang berani memprotes, karena sekolah pun tegas. Kalau tidak mau ikut peraturan, silakan keluar. Sekolah tidak butuh siswa. Siswa yang butuh sekolah. Sekarang ini mungkin beda ya. Kalau sekolah sudah jadi ajang mencari uang bagi para guru. Jumlah siswa harus diperbanyak. Siswa nakal pun dipertahankan, tanpa ada upaya berarti untuk meluruskannya. 

Nah, kalau untuk urusan mengecat rambut saja dilarang, apalagi tawuran. Di angkatan saya dulu, gak pernah terjadi tawuran. Ancamannya jelas; dipecat dari sekolah. Gak ada kompromi. Alhamdulillah, memang gak pernah ada tawuran. Apa mungkin siswa sekarang lebih galak daripada gurunya ya? Sampai-sampai di dua sekolah di Jakarta, yang langganan tawuran itu, kejadian tawuran terus berulang setiap tahun. Apa tidak ada tindakan yang dilakukan para guru untuk mencegahnya? Atau mungkin karena dulu belum memakan korban, jadi belum dilakukan pencegahan maksimal? Ayo, Ibu dan Bapak Guru, jangan melempem di hadapan para siswamu. Jangan melempem di balik uang sogokan. Biarpun anak-anak yang suka tawuran itu anak-anak orang kaya, yang mungkin memberikan insentif lebih buat para guru, bapak dan ibu guru jangan sampai kehilangan harga  diri. Kalau sudah ada siswa yang terbunuh, akibatnya nama baik sekolah juga yang dipertaruhkan. 

Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, agaknya malah lebih banyak daripada zaman dulu. Tapi, mengapa masih saja ada tawuran? Mungkin justru karena kegiatan itu memicu persaingan di antara dua sekolah, sehingga malah merembet ke tawuran. Misalnya, pertandingan basket. Yang tadinya untuk menjalin persahabatan antara dua sekolah, malah jadi ajang kompetisi kalah menang. Berarti harus dicari kegiatan ekstrakurikuler yang bukan untuk memicu persaingan. Misalnya saja, pengajian bersama. 

Faktor Lingkungan
Ketika ada anak-anak yang tanda-tandanya akan melakukan tawuran, masyarakat di sekitar tempat tawuran, semestinya ikut berperan serta untuk mencegah tawuran. Apabila takut turun langsung, bisa dengan menghubungi polisi. Kecuali kalau polisinya juga takut yah… apa boleh buat. Masa kalah sama anak SMA? Masalahnya, kepedulian masyarakat sekarang ini sudah amat rendah. Bahkan, ada orang yang mengalami kecelakaan di jalan pun malah dijadikan tontonan, bukannya ditolong. Begitu juga dengan tawuran. Asal gak mengganggu penduduk sekitar, biar sajalah. 

Aah.. kasihan sekali anak-anak itu jika keluarga, guru, dan orang-orang di sekitar mereka bersikap tak peduli. Mereka masihlah anak remaja labil yang membutuhkan pengarahan orang dewasa. Mereka perlu suri teladan yang bisa ditiru untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang tawuran. 

Tak terasa sudah panjang pula saya menulis. Mungkin apa yang saya tulis ini klise, tapi prakteknya tak semudah teori. Ayo, kita semua berbuat yang terbaik untuk anak-anak masa depan.


Tulisan ini disertakan dalam Kontes Unggulan Indonesia Bersatu


6 comments:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat.
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  2. keren mb, lengkap deh antara pengalaman dan pembahasannya...gudlak ya GA nya, oya mampir ke blog q ya mb www.nurulhabeeba.blogspot.com, n follow juga, biar tambah rame *maklum newbie-sekarang lagi malem mingguan ala blogwalking.hehe

    ReplyDelete
  3. gutlaaak.. ulasan yg mirip2 dgn yg lain tp jd khas di tangan mbak leyla :)

    ReplyDelete
  4. keluarga harus jadi gerbang utama utk mengatasi tawuran ya..

    ReplyDelete
  5. #Info : Tulisan ini ke 5, searching pada Google :D

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....