Kalau membicarakan soal tawuran,
saya jadi ingat kejadian belasan tahun lalu ketika masih duduk di bangku kelas
satu SMA. Saya pernah ikut tawuran! Ups… gak, ding. Saya gak pernah ikut tawuran kok, tapi saya pernah berada di
medan tawuran dua SMA yang letaknya
berdekatan dengan SMA saya. SMA saya sendiri seingat saya, belum pernah terlibat
tawuran.
Waktu itu, saya sedang merayakan
hari ulang tahun seorang teman dengan mengerjainya. Berhubung dia tahu bakal
dikerjai, dia pun melarikan diri sepulang sekolah. Saya dan teman-teman yang
sudah membawa berbagai bahan membuat kue (lho?), terpaksa harus mengejarnya
sampai ke luar sekolah. Sudah kepalang tanggung, kan kami mau membuat kue di
atas kepalanya, hahaha…. Saya membawa terigu, ada teman yang membawa telur, ada
juga yang membawa air. semua bakal kami siram ke tubuhnya. Ya, biasalah,
tradisi anak sekolah ulang tahun di zaman dulu, gak tahu zaman sekarang masih
ada gak.
Ternyataaa… di luar sekolah kami,
banyak anak sekolah lain yang sedang berlarian. Penampilan mereka sangat
menyeramkan. Rambut dicat, lalu beberapa anak laki-laki membawa benda-benda
tajam. Berhubung saya gak sadar bahwa mereka sedang tawuran, saya terus saja
mengejar teman saya itu, sementara teman-teman lain langsung masuk ke sekolah
lagi untuk menghindari tawuran.
Teman saya berteriak, “Laa… Laa…
udahan aja.. kita harus naik angkot…! Cepaaat!”
Muka teman saya pucat, sambil
melihat ke belakang saya. Saya ikut menoleh ke belakang, dan langsung
bersitatap dengan anak laki-laki dari SMA lain—yang sedang tawuran itu. Di
tangannya ada gir motor, salah satu senjata buat tawuran. Anak itu berambut
merah, dicat tentunya. Di sekolah saya, mana boleh rambut dicat. Dia berkata,
“Ngapain lo cewek ikut tawuran?
Buruan gih naik angkot, ntar lo mampus….”
Teman saya pun menarik saya—yang
masih bengong—naik angkot, dan kami kabur. Meninggalkan ajang tawuran yang baru
belakangan membuat saya sadar.
Yah, ketika beberapa waktu lalu
ada berita tentang tawuran antara SMA 70 dan SMAN 6 Jakarta, yang menyebabkan
seorang anak yang terbunuh—padahal gak ikut tawuran, cuma kebetulan ada di
tempat tawuran—saya langsung ingat kejadian belasan tahun lalu. Mungkin saja
jika Allah menghendaki, saya bisa menjadi korban juga. Gak ikut tawuran , tapi
ikut terbunuh. Padahal, sekolah saya amat ketat terhadap siswanya. Prihatin, tentu. Seorang siswa yang gak ikut
tawuran, tapi ikut jadi korban. Mengapa anak-anak itu tega membunuh anak lain?
Melayangkan clurit tanpa berpikir akibatnya… mereka pikir sedang main film
action kali ya, yang pembunuhannya bohongan.
Faktor keluarga
Yakin seyakin yakinnya, anak-anak
yang tega dan kejam itu, kurang mendapatkan kasih sayang di dalam keluarganya.
Atau malah kebanyakan kasih sayang? Alias, terlalu dimanjakan, sampai-sampai
orang tua memenuhi semua keinginan anaknya. Yang pasti, orang tua yang bersikap
kasar dan cuek, maka anak-anaknya pun akan mengikuti perilaku tersebut. Gak
usah jauh-jauh. Saya belajar dari anak-anak saya, bagaimana mereka cepat meniru
dan melakukan apa yang saya lakukan. Itu membuat saya harus super hati-hati
dalam bersikap. Kalaupun ada yang terlewat, saya harus cepat-cepat
memperbaikinya agar mereka tak mengikuti perilaku buruk saya. Anak-anak yang
sering mendapatkan sentuhan lembut dan sikap yang santun dari orang tuanya,
tentu akan bersikap demikian pula terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya,
anak-anak yang melihat di dalam diri orang tuanya ada kekerasan dan
ketidakpedulian, mereka pun akan melakukan hal yang sama.
Kasih sayang orang tua bukan
berarti memanjakan anak dan membolehkannya melakukan apa saja. Tidak berlaku
keras terhadap anak, bukan berarti tidak tegas. Kalau anak salah, tetap harus
diluruskan, bukan dibela. Sebagaimana Rasulullah Saw, yang akan memotong tangan
Fatimah seandainya Fatimah mencuri. Lucunya, yang sering saya lihat, kalau ada
anak berantem dengan anak tetangga, orang tuanya ikut berantem karena membela
anak masing-masing. Kesibukan juga kerap membuat orang tua melewatkan masa-masa
emas anak mereka. Ayah yang pulang larut malam, tidak sempat berbincang dengan
anak-anaknya, bahkan mungkin lupa untuk bertegur sapa. Ibu yang terlampau lelah
dengan pekerjaan rumah tangga atau lebih suka berbincang dengan ibu-ibu arisan,
hanya sekadar menyajikan hidangan makan siang untuk anak-anak, tanpa sempat
bertanya bagaimana keadaan mereka di sekolah.
Ah, saya pun belum menjadi orang
tua yang benar, karena anak-anak juga masih balita. Tapi, belajar dari orang
tua saya dulu, yang amat ketat terhadap pergaulan saya. Memang dulu rasanya
menyiksa, apa-apa dilarang, tapi kok ya efeknya bagus juga. Terbukti saya bukan
anak yang nakal, lho… bahkan cenderung
berprestasi (bukan narsis, hehehe). Orang tua tak selalu menyediakan apa yang
saya inginkan. Bahkan, mereka menekankan, bahwa saya harus bisa mencapainya
sendiri.
Faktor Guru dan Sekolah
Jadi guru zaman sekarang
susah-susah gampang. Memukul anak didik, langsung diadukan ke KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia). Laaah… zaman saya sekolah dulu, tak terhitung
berapa cubitan yang mendarat di paha saya, dari guru perempuan. Dan berapa
pukulan yang saya terima, dari guru laki-laki, ketika saya melakukan kenakalan.
Memang, itu bukan contoh yang baik juga. Mendidik anak tidak harus dengan
kekerasan. Tapi tetap para guru harus memberikan ketegasan. Jangan melempem di
balik tumpukan uang sogokan para orang tua. Belajar dari SMA saya dulu. Siswa
yang pacaran, dipanggil ke ruang guru. Diwawancarai, kalau tidak mau disebut
“disidang.” Sudah berapa lama pacaran? Apa saja yang dilakukan saat pacaran?
Lalu, dinasihati macam-macam. Hati-hati kalau pacaran, jangan sampai terjadi
sesuatu yang merusak masa depan. Aiiih… bagus sekali yah guru-guru saya dulu. Gak
heran kalau di angkatan saya dulu gak ada yang hamil di luar nikah.
Sekolah saya memang sangat ketat.
Mengecat rambut, memakai rok mini, memakai baju seragam yang ketat, dijamin
bakal dipanggil ke ruang guru untuk mendapatkan sanksi. Memang banyak suara-suara
dari siswa “nakal” yang mengeluhkan peraturan di sekolah, tapi gak ada tuh yang
berani memprotes, karena sekolah pun tegas. Kalau tidak mau ikut peraturan,
silakan keluar. Sekolah tidak butuh siswa. Siswa yang butuh sekolah. Sekarang
ini mungkin beda ya. Kalau sekolah sudah jadi ajang mencari uang bagi para
guru. Jumlah siswa harus diperbanyak. Siswa nakal pun dipertahankan, tanpa ada
upaya berarti untuk meluruskannya.
Nah, kalau untuk urusan mengecat
rambut saja dilarang, apalagi tawuran. Di angkatan saya dulu, gak pernah
terjadi tawuran. Ancamannya jelas; dipecat dari sekolah. Gak ada kompromi.
Alhamdulillah, memang gak pernah ada tawuran. Apa mungkin siswa sekarang lebih
galak daripada gurunya ya? Sampai-sampai di dua sekolah di Jakarta, yang
langganan tawuran itu, kejadian tawuran terus berulang setiap tahun. Apa tidak
ada tindakan yang dilakukan para guru untuk mencegahnya? Atau mungkin karena
dulu belum memakan korban, jadi belum dilakukan pencegahan maksimal? Ayo, Ibu
dan Bapak Guru, jangan melempem di hadapan para siswamu. Jangan melempem di
balik uang sogokan. Biarpun anak-anak yang suka tawuran itu anak-anak orang
kaya, yang mungkin memberikan insentif lebih buat para guru, bapak dan ibu guru
jangan sampai kehilangan harga diri. Kalau
sudah ada siswa yang terbunuh, akibatnya nama baik sekolah juga yang
dipertaruhkan.
Kegiatan ekstrakurikuler di
sekolah, agaknya malah lebih banyak daripada zaman dulu. Tapi, mengapa masih
saja ada tawuran? Mungkin justru karena kegiatan itu memicu persaingan di
antara dua sekolah, sehingga malah merembet ke tawuran. Misalnya, pertandingan
basket. Yang tadinya untuk menjalin persahabatan antara dua sekolah, malah jadi
ajang kompetisi kalah menang. Berarti harus dicari kegiatan ekstrakurikuler
yang bukan untuk memicu persaingan. Misalnya saja, pengajian bersama.
Faktor Lingkungan
Ketika ada anak-anak yang
tanda-tandanya akan melakukan tawuran, masyarakat di sekitar tempat tawuran,
semestinya ikut berperan serta untuk mencegah tawuran. Apabila takut turun
langsung, bisa dengan menghubungi polisi. Kecuali kalau polisinya juga takut
yah… apa boleh buat. Masa kalah sama anak SMA? Masalahnya, kepedulian
masyarakat sekarang ini sudah amat rendah. Bahkan, ada orang yang mengalami
kecelakaan di jalan pun malah dijadikan tontonan, bukannya ditolong. Begitu
juga dengan tawuran. Asal gak mengganggu penduduk sekitar, biar sajalah.
Aah.. kasihan sekali anak-anak
itu jika keluarga, guru, dan orang-orang di sekitar mereka bersikap tak peduli.
Mereka masihlah anak remaja labil yang membutuhkan pengarahan orang dewasa. Mereka
perlu suri teladan yang bisa ditiru untuk melakukan kegiatan yang lebih
bermanfaat ketimbang tawuran.
Tak terasa sudah panjang pula
saya menulis. Mungkin apa yang saya tulis ini klise, tapi prakteknya tak
semudah teori. Ayo, kita semua berbuat yang terbaik untuk anak-anak masa depan.
Tulisan ini disertakan dalam Kontes Unggulan Indonesia Bersatu
wow, lomba lagi ya
ReplyDeleteTerima kasih atas partisipasi sahabat.
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
keren mb, lengkap deh antara pengalaman dan pembahasannya...gudlak ya GA nya, oya mampir ke blog q ya mb www.nurulhabeeba.blogspot.com, n follow juga, biar tambah rame *maklum newbie-sekarang lagi malem mingguan ala blogwalking.hehe
ReplyDeletegutlaaak.. ulasan yg mirip2 dgn yg lain tp jd khas di tangan mbak leyla :)
ReplyDeletekeluarga harus jadi gerbang utama utk mengatasi tawuran ya..
ReplyDelete#Info : Tulisan ini ke 5, searching pada Google :D
ReplyDelete