Wednesday, October 17, 2012

Belajar Sastra dari Ping!


Ada perkembangan yang menggembirakan dari  dunia sastra saat ini. Banyak penulis muda bermunculan dan tentu saja banyak buku yang memenuhi rak-rak toko buku karya para penulis muda itu. Namun, tak mudah untuk menemukan buku yang benar-benar mendidik generasi muda kita. Bukan hanya isi dari buku-buku itu yang “kurang sesuai” dengan nilai-nilai yang kita anut, tetapi juga bahasa yang digunakan oleh para penulisnya yang tak sesuai dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.


Cukup mudah menemukan buku-buku yang menggunakan bahasa “semaunya” dan sama sekali tak mendidik generasi muda untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa gaul dan berantakan, digunakan bukan hanya di dalam dialog antara tokoh-tokohnya, tapi juga di dalam narasi, sehingga menjadi kabur mana yang Bahasa Indonesia, mana yang bukan. Tak heran bila kini remaja kita sulit menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam percakapan sehari-hari maupun di dalam bahasa tulisan.

Di antara buku-buku yang ala kadarnya itu, ada satu buku sastra karya dua orang penulis muda yang sedang “naik daun,” Riawani Elyta dan Shabrina WS. Novel berjudul “Ping, A Message from Borneo” ini memenuhi hampir semua unsur novel yang baik dan mendidik. Tak heran bila novel ini menjadi juara pertama dalam  lomba novel remaja yang diadakan oleh Penerbit Bentang Belia. Terlepas dari judulnya yang menggunakan Bahasa Inggris, novel ini dapat dijadikan rujukan untuk para calon  penulis muda yang ingin belajar menulis.

Judul yang menggunakan Bahasa Inggris, kemungkinan adalah trik dari Penerbit untuk menarik minat pembaca, yang memang dikhususkan untuk pembaca muda. Bukan rahasia lagi kalau remaja kita menyukai karya yang berbau asing, termasuk yang sedang melonjak saat ini adalah karya-karya berbau “Korea.”  Namun, isi dari novel Ping, termasuk bahasa yang digunakan, memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ada dua tokoh utama di dalam novel ini, yaitu Ping, seekor anak orang utan di pedalaman hutan Borneo, Kalimantan, dan Molly, seorang remaja yang aktif di Gerakan Penyelamatan Satwa Langka. Shabrina WS, dengan bahasanya yang puitis, menuliskan pengalaman Ping, yang kehilangan ibundanya, karena ditembak oleh pemburu liar. Sedangkan Riawani Elyta menuliskan pengalaman Molly saat mengunjungi Borneo Orangutan Survival, sebuah yayasan penyelamatan Orangutan di Borneo, dengan bahasa yang lincah dan khas remaja, tapi tetap memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menggunakan alur maju, dimulai dengan penembakan ibunda Ping dan keberangkatan Molly ke Borneo, kita diajak untuk menyelami kehidupan Orangutan yang nyaris punah oleh pemburu liar. Kedua penulis juga memberikan tambahan wawasan kepada para pembaca mengenai penyelamatan Orangutan di Borneo.  Dan akhirnya, novel ini dengan sangat bagus memberikan pesan kepada para pembaca untuk ikut peduli terhadap Orangutan di Borneo. Terlebih beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan berita pembakaran Orangutan di Kalimantan oleh penduduk, karena merasa diganggu oleh kehadiran Orangutan.

Para pembaca remaja juga diajak untuk mengunjungi hutan di Borneo, Kalimantan, sebuah tempat yang jarang dieksplorasi oleh para penulis kita. Di sini, kita menyadari bahwa Indonesia begitu kaya dengan tempat-tempat yang eksotis. Kita diajak untuk mencintai tanah air sendiri, sementara banyak novel lain yang lebih suka mengeksplorasi negara lain. 

Novel ini adalah novel yang ringan dan mudah dicerna oleh para pembaca remaja, tetapi menyelipkan pesan yang sangat bagus dan berbobot. Sebuah karya sastra yang patut diapresiasi dengan baik, bahkan perlu dimasukkan ke dalam perpustakaan sekolah untuk dijadikan rujukan para remaja yang ingin belajar sastra. Sekali lagi, kelemahannya hanya satu, yaitu pada judulnya yang menggunakan Bahasa Inggris.

Judul: Ping! A Message From Borneo
Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina WS
Penerbit: Bentang Belia, Yogyakarta



11 comments:

  1. wah diem2 udah baca ping :) makasih yaa udah diresensiin, eh judulnya kan si Ping, mbak, yg bhs inggris itu tagline-nya #ngeles

    ReplyDelete
  2. Makasih Mbak Ley :)

    btw, ngikik baca mbak Ria ngeles :D

    ReplyDelete
  3. kalau aku penggemar sastra,tp paling suka sastra karya Soe Tjoen Marching soalnya jenis tulisan sastra yg sudah jarang ditulis sama seorang penulis sastra

    ReplyDelete
  4. Keren ...

    Kenapa ya banyak penerbit yang tidak memperhatikan unsur "mendidik" ini. Padahal mereka sangat berpengaruh dalam hal ini ...

    Mudah2an akan selalu ada penulis2 yang menelurkan karya2 yg mendidik, tak hanya cari uang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiiin
      Iya, semoga Mba Niar juga menjadi salah satunya :)

      Delete
  5. Hihihi kita sepakat rupanya soal 'kelemahan' itu. Sama halnya spt tren yang berlaku untuk buku2 karya anak semacam kkpk, kadang saya nggak habis pikir, kenapa dibiarkan berjudul bhs asing?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Mbak... judul novelku juga sudah kuminta pakai Bahasa Indonesia, tapi penerbitnya maunya pakai Bahasa Inggris.

      Delete
  6. Hihihi kita sepakat rupanya soal 'kelemahan' itu. Sama halnya spt tren yang berlaku untuk buku2 karya anak semacam kkpk, kadang saya nggak habis pikir, kenapa dibiarkan berjudul bhs asing?

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....