Ada perkembangan yang
menggembirakan dari dunia sastra saat
ini. Banyak penulis muda bermunculan dan tentu saja banyak buku yang memenuhi
rak-rak toko buku karya para penulis muda itu. Namun, tak mudah untuk menemukan
buku yang benar-benar mendidik generasi muda kita. Bukan hanya isi dari
buku-buku itu yang “kurang sesuai” dengan nilai-nilai yang kita anut, tetapi
juga bahasa yang digunakan oleh para penulisnya yang tak sesuai dengan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Cukup mudah menemukan buku-buku
yang menggunakan bahasa “semaunya” dan sama sekali tak mendidik generasi muda
untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa gaul dan
berantakan, digunakan bukan hanya di dalam dialog antara tokoh-tokohnya, tapi
juga di dalam narasi, sehingga menjadi kabur mana yang Bahasa Indonesia, mana
yang bukan. Tak heran bila kini remaja kita sulit menggunakan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar, baik dalam percakapan sehari-hari maupun di dalam bahasa
tulisan.
Di antara buku-buku yang ala
kadarnya itu, ada satu buku sastra karya dua orang penulis muda yang sedang “naik
daun,” Riawani Elyta dan Shabrina WS. Novel berjudul “Ping, A Message from
Borneo” ini memenuhi hampir semua unsur novel yang baik dan mendidik. Tak heran
bila novel ini menjadi juara pertama dalam
lomba novel remaja yang diadakan oleh Penerbit Bentang Belia. Terlepas
dari judulnya yang menggunakan Bahasa Inggris, novel ini dapat dijadikan rujukan
untuk para calon penulis muda yang ingin
belajar menulis.
Judul yang menggunakan Bahasa
Inggris, kemungkinan adalah trik dari Penerbit untuk menarik minat pembaca,
yang memang dikhususkan untuk pembaca muda. Bukan rahasia lagi kalau remaja
kita menyukai karya yang berbau asing, termasuk yang sedang melonjak saat ini
adalah karya-karya berbau “Korea.” Namun,
isi dari novel Ping, termasuk bahasa yang digunakan, memenuhi kaidah Bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Ada dua tokoh utama di dalam
novel ini, yaitu Ping, seekor anak orang utan di pedalaman hutan Borneo,
Kalimantan, dan Molly, seorang remaja yang aktif di Gerakan Penyelamatan Satwa
Langka. Shabrina WS, dengan bahasanya yang puitis, menuliskan pengalaman Ping,
yang kehilangan ibundanya, karena ditembak oleh pemburu liar. Sedangkan Riawani
Elyta menuliskan pengalaman Molly saat mengunjungi Borneo Orangutan Survival, sebuah
yayasan penyelamatan Orangutan di Borneo, dengan bahasa yang lincah dan khas remaja,
tapi tetap memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Menggunakan alur maju, dimulai
dengan penembakan ibunda Ping dan keberangkatan Molly ke Borneo, kita diajak
untuk menyelami kehidupan Orangutan yang nyaris punah oleh pemburu liar. Kedua
penulis juga memberikan tambahan wawasan kepada para pembaca mengenai penyelamatan
Orangutan di Borneo. Dan akhirnya, novel
ini dengan sangat bagus memberikan pesan kepada para pembaca untuk ikut peduli
terhadap Orangutan di Borneo. Terlebih beberapa waktu lalu, kita dihebohkan
dengan berita pembakaran Orangutan di Kalimantan oleh penduduk, karena merasa
diganggu oleh kehadiran Orangutan.
Para pembaca remaja juga diajak untuk mengunjungi hutan di Borneo, Kalimantan, sebuah tempat yang jarang dieksplorasi oleh para penulis kita. Di sini, kita menyadari bahwa Indonesia begitu kaya dengan tempat-tempat yang eksotis. Kita diajak untuk mencintai tanah air sendiri, sementara banyak novel lain yang lebih suka mengeksplorasi negara lain.
Novel ini adalah novel yang
ringan dan mudah dicerna oleh para pembaca remaja, tetapi menyelipkan pesan
yang sangat bagus dan berbobot. Sebuah karya sastra yang patut diapresiasi
dengan baik, bahkan perlu dimasukkan ke dalam perpustakaan sekolah untuk
dijadikan rujukan para remaja yang ingin belajar sastra. Sekali lagi,
kelemahannya hanya satu, yaitu pada judulnya yang menggunakan Bahasa Inggris.
Judul: Ping! A Message From Borneo Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina WS Penerbit: Bentang Belia, Yogyakarta |
wah diem2 udah baca ping :) makasih yaa udah diresensiin, eh judulnya kan si Ping, mbak, yg bhs inggris itu tagline-nya #ngeles
ReplyDeletePing itu juga Bahasa Inggris, kalo di BB, hehe
DeleteMakasih Mbak Ley :)
ReplyDeletebtw, ngikik baca mbak Ria ngeles :D
Eh, si Ping bisa komentar juga :D
Deletekalau aku penggemar sastra,tp paling suka sastra karya Soe Tjoen Marching soalnya jenis tulisan sastra yg sudah jarang ditulis sama seorang penulis sastra
ReplyDeleteAku kok baru tahu ya?
DeleteKeren ...
ReplyDeleteKenapa ya banyak penerbit yang tidak memperhatikan unsur "mendidik" ini. Padahal mereka sangat berpengaruh dalam hal ini ...
Mudah2an akan selalu ada penulis2 yang menelurkan karya2 yg mendidik, tak hanya cari uang.
Aamiiin
DeleteIya, semoga Mba Niar juga menjadi salah satunya :)
Hihihi kita sepakat rupanya soal 'kelemahan' itu. Sama halnya spt tren yang berlaku untuk buku2 karya anak semacam kkpk, kadang saya nggak habis pikir, kenapa dibiarkan berjudul bhs asing?
ReplyDeleteBetul, Mbak... judul novelku juga sudah kuminta pakai Bahasa Indonesia, tapi penerbitnya maunya pakai Bahasa Inggris.
DeleteHihihi kita sepakat rupanya soal 'kelemahan' itu. Sama halnya spt tren yang berlaku untuk buku2 karya anak semacam kkpk, kadang saya nggak habis pikir, kenapa dibiarkan berjudul bhs asing?
ReplyDelete