Kupandangi wajahnya yang lelap
tidur. Rambutnya ikal, tak mirip rambut ayah dan mamanya yang lurus. Ia memang
lebih mirip kakeknya dari pihak ibu, alias mirip ayahku. Lahir 4,5 tahun lalu,
pada tanggal 11 Desember 2007. Masih kuingat betapa sakitnya melahirkan putra
pertamaku itu, yang diberi nama oleh ayahnya; Ahmad Ismail Haniya. Malam itu,
aku hanya merasa kontraksi sedikit-sedikit. Neneknya sudah khawatir bukan main
dan segera mengantarku ke bidan. Kata bidan, baru pembukaan satu. Untuk
mempercepat kontraksi, aku diinfus mulas. Andai saja dulu aku tahu sakitnya
diinfus daripada mulas alami, tak akan kusetujui saran bidan. Aku benar-benar
buta soal hamil dan melahirkan. Hanya berbekal informasi dari bidan dan
pengalaman ibu mertua, karena ibu kandungku sudah meninggal.
Padahal, Hari Perkiraan Lahirnya
masih jauh, 3 Januari 2008. Aku terpengaruh ucapan ibu mertua, bahwa anak
laki-laki biasanya lahir lebih cepat dari HPL. Jadi, aku percaya saja dengan
kata-kata bidan yang menanganiku itu. Belakangan, bidan lain yang lebih muda
menyayangkan tindakan bidan itu yang berisiko tinggi. Bila gagal diinfus, sudah
pasti aku harus dioperasi. Alhamdulillah, meski harus menahan mulas buatan yang
bukan main sakitnya selama tiga jam, Ismail dapat lahir dengan normal. Beratnya
hanya 2,5 kg, kupikir mungkin karena memang belum waktunya lahir. Bila
mengingat kenangan itu lagi, aku selalu mengucap syukur berkali-kali karena
Ismail tetap sehat dan kuat sampai hari ini.
Payudaraku sudah mengeras, sehari
setelah melahirkan. Sakitnya bukan main. Kuingin menyusui bayiku, tetapi bidan
melarang. Uuuh… lagi-lagi karena pengetahuanku yang minim soal ASI, aku
mengalah saja dengan ucapan bidan. Bidan memberikan Ismail susu formula yang
agaknya sudah menjadi sponsor di kliniknya. Sebenarnya, aku sudah tahu tentang
pentingnya kolostrum dan IMD (Inisiasi Menyusui Dini) dari hasil membaca-baca buku
tentang kehamilan. Hanya aku belum punya posisi tawar yang tinggi dengan bidan
dan orang-orang di sekitarku. Aku mengalah saja apa kata mereka. Setelah pulang
dari bidan, aku baru bisa memberikan ASI kepada Ismail. Alhamdulillah, Ismail
mendapatkan kolostrumnya, karena ASI pertama yang kuberikan itu berwarna
kuning. Tadinya malah ibu mertua menyuruhku membuang ASI pertama itu, karena
katanya membawa penyakit. Tetapi, para penjenguk yang usianya lebih muda
daripada Ibu, menyuruhku memberikan ASI berwarna kuning itu. Rupanya ada
perbedaan pengetahuan antara “orang dulu” dengan “orang sekarang.” Bidan yang
membantu persalinanku itu termasuk “orang dulu,” karena usianya sudah sepuh.
Tiba-tiba, ibu mertuaku panik
bukan main. Katanya, tubuh Ismail kuning. Mata, lidah, dan kulitnya berwarna
kuning. Aku yang awam, tak terpikirkan bahwa kondisi itu bisa berbahaya untuk
Ismail. Ibu mertua hanya mengatakan bahwa salah satu adiknya ada yang
kehilangan bayinya gara-gara kuning. Solusinya hanya ASI dan dijemur di bawah
matahari pagi. Meski kata ibu mertuaku kondisi itu berbahaya, beliau tak mau
Ismail dibawa ke rumah sakit. Nanti malah meninggal juga seperti keponakannya,
gara-gara terlambat diberikan ASI dan perawat yang tidak siap siaga. Biar saja
diurus di rumah. Sayangnya, berhubung waktu itu musim hujan, matahari amat
pelit memberikan sinarnya. Bapak mertua pun memasang bohlam 60 watt untuk memanaskan
Ismail. Aku pun disuruh untuk terus menyusui Ismail setiap dua jam. Siang hari,
Ismail tidur terus. Aku harus membangunkannya setiap dua jam untuk menyusu.
Gara-gara cahaya lampu yang tinggi itu, kulit Ismail yang putih pun menghitam. Alhamdulillah,
putraku bisa melewati masa-masa itu, meskipun ibunya amat minim pengetahuan.
Sejak dari dalam kandungan, kami
telah menyebut Ismail dengan panggil “Kak atau Kakak.” Ternyata itu menjadi indikasi
bahwa ia akan segera mendapatkan adik. Tak kusangka, di usia Ismail yang baru 5
bulan, aku hamil lagi 2 bulan. Dan lagi-lagi, karena keterbatasan pengetahuan,
aku harus menuruti saran ibu mertua dan bidan-bidan untuk menghentikan
pemberian ASI kepada Ismail.
“Nanti bayinya jadi bodoh….”
“Nanti bayinya jadi hiperaktif….”
Tiga orang bidan. Ya, tidak
salah. Tiga orang bidan yang kujadikan tempat orang bertanya, sama-sama
memberikan jawaban agar aku menghentikan pemberian ASI kepada Ismail. Tak rela
rasanya menghentikan ASI Ismail, padahal ASI-nya masih melimpah. Payudaraku
mengeras lagi, sakit bukan main, ketika jatah ASI Ismail kukurangi. Ismail hanya
rewel sebentar, tapi justru aku yang terasa menderita. Susu formula pun menjadi
pengganti ASI. Lebih repot memberikan susu formula daripada ASI. Bayi berusia
5,5 bulan masih banyak minum susu. Sebentar-sebentar aku harus membuat susu. Belum
lagi botol susunya harus steril. Gara-gara salah merebus botol itu pula, Ismail
beberapa kali terkena diare. Kasihan, putraku. Di saat hamil besar, aku harus
bolak-balik ke klinik dan rumah sakit untuk mengobati diare Ismail.
Biaya susu formula pun tak
tanggung-tanggung. Kuhitung-hitung saat itu biayanya Rp 800.000/ bulan. Coba
kalau hanya ASI. Cukup aku saja yang minum susu dan susu ibu menyusui lebih
murah daripada susu formula bayi. Itupun tak wajib. Aku juga bisa mengkonsumsi
makanan sederhana seperti sayur katuk, bubur kacang hijau, dan sebagainya,
untuk memperbanyak ASI. Di saat usia
kandunganku 8 bulan, mataku baru terbuka oleh informasi di sebuah majalah parenting.
Bahwa, memberikan ASI ketika ibu sedang hamil, diperbolehkan selama kondisi ibu
dan janinnya sehat.
Memang benar, bahwa calon ibu
harus punya pengetahuan yang banyak tentang kehamilan, melahirkan, dan
menyusui. Aku tak ingin kecolongan lagi
dalam pengasuhan anak keduaku. Tekadku sudah bulat untuk memberikan ASI
Eksklusif dua tahun kepada Ahmad Sidiq Aghniya, putra keduaku, yang lahir di
bulan yang sama dengan Ismail. Usia mereka hanya terpaut satu tahun.
Di dalam artikel The Power of ASI, disebutkan dua hal yang menjadi faktor sukses pemberian ASI, terutama dari
sisi internal:
1. Educate
Your Self, yaitu mendidik diri dengan banyak membaca dan menggali informasi
mengenai breastfeeding, bisa dari majalah, buku, maupun situs-situs di internet
yang membahas tentang ibu dan anak, salah satunya situs mommiesdaily.com.
Membaca artikel-artikel di mommiesdaily yang berisi pengalaman para ibu dalam
mengasuh dan merawat anak-anaknya, termasuk memberikan ASI, benar-benar membuka
mataku.
2. Support
System, yaitu adanya orang-orang di sekitarku yang mendukung dan menguatkanku
agar konsisten memberikan ASI Eksklusif. Suamiku, adalah orang pertama yang
harus mendukungku. Setelah mengeluarkan anggaran ratusan ribu per bulan untuk
membeli susu formula, kali ini suamiku amat mendukung pemberian ASI Eksklusif. Tentu
saja, dengan dua anak yang masih bayi, yang satu berumur setahun, satu lagi
berumur sebulan, pengeluaran rumah tangga kami pun membengkak. Pemberian ASI
Eksklusif dapat menghemat pengeluaran rumah tangga yang mungkin saja harus
keluar bila aku kembali memberikan susu formula untuk anak keduanya.
Alhamdulillah, usaha itu
membuahkan hasil. Aku berhasil memberikan ASI Eksklusif dua tahun kepada Sidiq.
Lega sekali rasanya. Kekuatan ASI benar-benar terbukti. Selain lebih hemat, ASI
juga lebih mengeratkan hubungan antara ibu dan anak.
Kini aku sedang hamil anak
ketiga, sudah masuk 36 minggu. Sebentar lagi aku menyambut kelahiran bayi
ketigaku. Saatnya untuk ng-ASI lagi. Insya Allah.
mbaaakkk.. ngiri kapan yaa aku bisa ngasiin :d
ReplyDeleteaaamiin... semoga disegerakan ya, Nuu....
DeleteSemoga menang ya leyla..
ReplyDeleteaaamiin... makasih mba ade
DeleteSemangat ASI kini perlahan-lahan mulai didukung. Banyak ibu yang semakin sadar ASI^^
ReplyDeleteeh, mbak, linknya rusak.
iya mbak...
Deleteeh, linknya rusak gimana yah? kemarin dicek, bisa.
Uh, jadi sebel sama bidan2 itu :|
ReplyDeleteDiinduksi ya yang pertama mbak. Sy juga diinduksi (anak pertama) tapi melalui (minum) pil. Suakitnya minta ampyun.
Tapi memang saya sudah mundur 2 minggu dari tanggal perkiraan, jadi sudah pas waktunya.
Sukses yah, saya juga ikutan yang ini :)
Iya, mba Niar. tp kalo bidan yg muda sudah beda pengetahuannya. Sudah lebih update :)
DeleteSama-sama mba Niar, sukses jg yah
Heran ya, Mbak, dari mana kok sampe muncul pernyataan, “Nanti bayinya jadi bodoh….” “Nanti bayinya jadi hiperaktif….” Hiks, sedih jadinya. Padahal, betapa pentingnya ASI itu.
ReplyDeletesaya jg tidak tahu, Pak Azzet.
DeleteTerima kasih sudah mampir :)
iya jd ikutan gemes sm cerita bidan2nya Ismail ya.. Pdhl gpp juga loh menyusui ketika hamil.. Yang penting jaga kandungan supaya jgn sp kontraksi akibat menyusui. Sy juga menyusui ketika hamil anak kedua, malah setelah lahir sempet menyusui tandem..
ReplyDeleteTp untungnya itu gak terulang di anak kedua ya mbak.. Semoga di anak ketiga nanti juga bs full ASI lagi ya :)
Iya, Mba Myra..
Deleteaamiin... makasih doanya dan senang udah mampir :)