DAMAI BERSAMA AL QURAN
Interaksi pertama saya bersama Al Quran dimulai ketika
saya sudah menyelesaikan iqro enam. Saya lupa kapan tepatnya, kira-kira
saat saya masih SD. Setiap selesai salat Magrib, saya dibiasakan untuk mengaji
bersama-sama keluarga. Bukan tadarusan, tapi mengaji sendiri-sendiri, hanya
waktunya bersamaan. Ketika SMA, saya sempat jauh dari Al Quran karena pulang
sekolah selalu kemalaman. Saya sekolah siang. Saat itu tubuh rasanya sudah
letih sekali sehingga tidak sempat membaca Al Quran. Akhirnya saya hanya bisa
mengaji seminggu sekali.
Ketika kuliah, saya mengikuti kegiatan keagamaan di
kampus yang kemudian membentuk saya menjadi lebih salihah (menurut saya
sendiri). Setidaknya, amalan-amalan ibadah saya bertambah, termasuk mengaji Al
Quran. Saya tidak lagi hanya mengaji usai salat Magrib, tapi juga usai salat
Subuh dan kadang di waktu-waktu luang semisal saat jam kosong kuliah, dan
lain-lain. Al Quran selalu ada dalam tas saya. Ketika saya sedang sedih karena
ditimpa cobaan, saya akan langsung membuka Al Quran dan ajaibnya, ayat yang
saya temukan menjawab kesedihan-kesedihan saya itu. Saya memang memakai Al
Quran terjemahan, sehingga langsung tahu artinya. Sepertinya Allah langsung
memberi jawaban atas kesedihan-kesedihan saya itu melalui Al Quran.
Memasuki bulan Ramadan, kedekatan saya dengan Al Quran
semakin menjadi. Dulu pun sewaktu masih SMA, orang tua selalu menekankan agar
setiap bulan Ramadan, kami, anak-anaknya, mengkhatamkan Al Quran. Kalau bisa
khatam, akan diberi hadiah. Tapi entah kenapa saya tak pernah bisa khatam.
Mungkin karena motivasinya untuk hadiah. Apalagi saya perempuan. Ada masa libur
yang tentunya membuat waktu untuk mengkhatamkan Al Quran semakin
sedikit. Tetapi setelah kuliah, mungkin karena azzam yang kuat, alhamdulillah
saya bisa khatam dalam sebulan meskipun ada masa liburnya. Jadi bisa dibilang,
saya tidak mengkhatamkan Al Quran dalam waktu sebulan, tapi kurang dari itu.
Iman seseorang kadang naik, kadang turun,
begitu juga saya. Semakin saya berpikir rasional, ternyata semakin
menjauhkan saya dari Al Quran. Saya pernah merasa
mengaji Al Quran sebagai perbuatan yang sia-sia. Astagfirullah. Saya berpikir
demikian usai membaca sebuah novel yang memang kontra dengan nilai-nilai Islam.
Ada satu kalimat tokoh dalam novel itu yang mengatakan,
“setiap hari ia mengaji kitab yang ia tidak tahu artinya karena
tertulis dalam bahasa Arab....” Tokoh itu diceritakan beragama Islam sehingga
dapat ditebak bahwa kitab itu adalah Al Quran. Saya jadi berpikir, “Ya, benar
saja. Saya tidak tahu apa arti kalimat yang saya baca setiap hari. Saya
membacanya, saya mengulang-ulangnya, padahal saya tidak mengerti artinya sama
sekali, bukankah itu pekerjaan yang sia-sia?”
Lalu, tanpa terasa, saya semakin jauh dari Al Quran. Saya
memang tetap mengaji Al Quran, tapi saya lakukan dengan perasaan
berat dan merasa waktu telah terbuang percuma. Setiap hari saya mengaji dengan
jumlah halaman yang terus berkurang. Semula saya bisa habis satu juz atau
minimal setengah juz, tapi sekarang hanya dua-tiga halaman. Pokoknya sampai
bertemu tanda ‘ain lagi. Di pengajian , guru mengaji menyuruh kami untuk
mengaji Al Quran minimal setengah juz per hari. Tapi saya tidak bisa.
Pikiran-pikiran itu selalu mengganggu saya. Buat apa melakukan pekerjaan yang
berulang-ulang? Begitu selalu.
Jika membaca Al Quran saja merasa berat, apalagi
menghafalnya. Padahal di pengajian juga ada target menghafal Al Quran.
Apalagi saya sudah terformat menjadi orang yang tidak akan melakukan pekerjaan
yang tidak saya sukai. Jadi, meskipun setiap pengajian, guru mengaji selalu
menyuruh kami menyetor hafalan, saya hanya menyetor murojaah. Ya, hafalan yang
memang sudah saya hafal. Hafalan saya tidak pernah bertambah, satu ayat pun.
Hati saya belum ikhlas. Belum tergerak untuk menambah hafalan. Murojaah pun
hanya karena agar tidak malu saat diminta menyetor oleh guru mengaji.
Saya tahu semua konsep-konsep itu. Bahwa satu ayat yang
dibaca dengan lancar, pahalanya tiga. Dan jika kurang lancar atau banyak
salahnya, pahalanya satu. Bahwa orang-orang yang paling mulia adalah orang yang
mempelajari dan mengajarkan Al Quran. Bahwa Al Quran itu de el el. Saya sudah
tahu semuanya. Tapi itu tetap tak menggerakkan hati saya untuk dekat
dengan Al Quran.
Saya terus mencari, mencari, dan mencari. Ya,
Allah. Sebenarnya untuk apa mengaji Al Quran itu kalau saya tidak tahu artinya?
Memang ada terjemahan Al Quran, tapi kalau dibaca bersamaan, bukankah akan
lama? Sementara guru mengaji memberikan target membaca Al Quran per hari.
Bukankah lebih baik membaca terjemahannya saja? Kan yang penting kita tahu apa
isi Al Quran, bukan hanya mengulang-ulang tanpa tahu apa yang kita baca. Akhirnya
saya hanya membaca terjemahannya. Bahasa Arabnya tetap saya baca, tapi ya itu,
hanya dua-tiga lembar per hari. Itu pun dengan perasaan malas.
Sampai akhirnya satu kejadian membuat saya kembali dekat
dengan Al Quran.
Satu kejadian yang membuat saya menangis.
Saat salat, saya menangis. Lalu usai salat, entah kenapa
saya ingin sekali membaca Al Quran. Maka saya mengambil Al Quran di meja dan
membacanya. Saya tidak tahu artinya, tapi saya menangis. Saya
menangis saat membaca Al Quran. Menangis hebat. Rasanya nikmat sekali. Ya,
sungguh! Rasanya nikmat sekali menangis saat sedang membaca Al Quran. Dan
kemudian yang ada adalah damai. Rasanya hati saya sejuk sekali. Beban itu
memang belum hilang, tapi menguap perlahan-lahan. Melalui salat dan Al Quran,
Allah meniupkan kesejukan ke dalam dada saya. Padahal saya tidak tahu apa arti
ayat yang saya baca itu karena saya sudah tidak memakai Al Quran terjemahan.
Allah, dengan keajaiban Al Quran-Nya, mendamaikan hati saya yang sedang
bergejolak. Ajaib. Benar-benar ajaib. Subhanallah!
Saya jadi ingat kejadian yang sudah lama sekali
berselang. Waktu saya kelas satu SMA. Pada dasarnya saya orang yang penakut.
Saya suka menonton film, tapi jangan harap saya mau menonton film horor.
Dibayar berapa pun saya tidak akan mau. Tapi suatu hari teman-teman saya
berhasil membujuk saya untuk menonton film horor yang sedang diputar
di bioskop. Saya masih ingat judulnya, “Urban Legend.” Bukan film tentang
hantu, tapi tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan seorang psikopat.
Saya pikir, ah paling film kriminal biasa. Maka masuklah saya ke dalam bioskop
itu bersama teman-teman saya. Ternyata pikiran saya salah. Dari awal
sampai akhir, yang ada adalah horor. Pembunuhan-pembunuhan yang digambarkan
dengan sangat keji. Entah sekeji apa, soalnya saya menutup mata. Tapi
kilasan-kilasan adegan yang sempat ditangkap mata saya dan suara-suara jeritan
para pemainnya, terus membayangi saya. Malamnya, saya tidak bisa tidur.
Benar-benar tidak bisa tidur. Adegan horor di film itu muncul di mana-mana. Di
dinding kamar saya, di langit-langit, di sebelah tempat tidur saya, ah,
pokoknya saya ketakutan sepanjang malam. Lalu apa yang tebersit dalam pikiran
saya?
Saya bangun dan berjalan menuju meja belajar tempat Al
Quran saya berada.
Saya mengambil Al Quran dan membacanya. Memang saya tidak
punya wudu, tapi bagaimana bisa berwudu, melangkahkan kaki dua langkah saja
gemetarannya bukan main.
Saya membaca Al Quran meskipun tidak punya wudu. Dan saya
merasakan damai. Sungguh. Saya merasakan damai. Semua ketakutan yang tadi saya
rasakan, entah pergi ke mana. Lalu saya bisa tidur lagi. Nyenyak sampai subuh
menjelang.
Subhanallah. Kenapa saya bisa melupakan kejadian itu, ya?
Kenapa saya bisa lupa bahwa Al Quran memang perlu
dimengerti artinya, tapi membaca Al Quran meskipun tidak tahu artinya tetap
memberi keajaiban tersendiri?
Kedamaian. Ya, kedamaian.
Sekarang saya ingin dekat dengan Al Quran.
Saya juga ingin menjadi penghafal Al Quran. Insya Allah. Sedikit demi sedikit,
mumpung belum terlambat. Al Quran adalah mukjizat. Bukan sekadar kumpulan
kata-kata seperti buku-buku nonfiksi atau fiksi. Setiap kata yang
terangkai di dalamnya adalah mukjizat. Tak akan pernah sia-sia membacanya
meskipun diulang-ulang.
Ya Allah, kuatkanlah azzamku untuk selalu dekat dengan
firman-Mu.
Itu doa saya selalu.
***
please chek blog ku canshareurstory.blogspot.com
ReplyDeletebutuh masukan buat tulisan ku, tolong ya :(
Subhanallah. Banyak hikmah yang dapat diambil dari tulisan ini. Saya rasa setiap orang yang membaca Al-Quran dengan "benar" akan sepakat bahwa Al-Quran memberikan kedamaian.
ReplyDeleteTerima kasih. Ditunggu pengumumannya ya :)