Pagi itu, beberapa tahun lalu,
aku melihat seorang batita berusia dua tahun, memegangi kaki ibunya sambil
menangis dan berteriak-teriak. Teriakannya amat menyayat hati, bahkan bagi
orang lain yang mendengarnya. Hati ibunya tentu lebih pedih lagi. Tapi, apa mau
dikata. Hatinya harus ditegakan, demi mengejar jadwal kereta api yang akan
membawanya ke tempat kerja. Sang ibu menyuruh pembantunya untuk menarik paksa
bocah itu, agar ia dapat leluasa melangkahkan kaki menuju tempat kerjanya.
Setiap hari selalu begitu, cerita
sang pembantu kepadaku. Batita itu selalu menangis dan berteriak setiap kali
ibunya akan berangkat ke tempat kerja. Ah, dilema seorang ibu pekerja. Bukan
hanya sekali dua kali aku mendengar curahan hati para ibu pekerja. Betapa ingin
mereka tetap berada di rumah bersama buah hatinya, terutama bila mendengar
rengekan anak-anak yang tidak rela ditinggalkan ibunya bekerja.
Semua wanita, terutama bila sudah
menjadi ibu, tentu lebih menginginkan bisa terus berada di rumah bersama buah
hatinya. Akan tetapi, tuntutan ekonomi membuat mereka terpaksa mengambil
pilihan untuk bekerja di luar rumah. Jam kerja yang padat, masuk jam delapan
pagi dan pulang jam lima sore, membuat para ibu kehilangan banyak waktu dan
kesempatan bersama anak-anak mereka. Banyak yang bersedih karena tidak bisa
melihat sendiri tumbuh kembang anak-anaknya, akibat terkungkung pekerjaan. Lebih
miris ketika kubaca berita di tabloid, tentang pembantu rumah tangga yang
membunuh anak majikannya saat sang ibu sedang bekerja di kantor. Ketika sang
ibu pulang ke rumah, ia hanya mendapati jasad anaknya terbujur kaku karena
disiksa pembantunya. Tak ada binar mata ceria dan senyum mengembang dari wajah
anaknya.
Bekerja di luar rumah, bagi
seorang wanita, adalah pilihan, bukan kewajiban. Pilihan yang datang karena
adanya tuntutan. Ketidakmampuan suami untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, adalah salah satu alasan. Alasan lainnya, bisa jadi karena merasa
dirinya lebih berarti bagi orang banyak bila bekerja di luar rumah,
memaksimalkan potensi diri, serta menunjukkan eksistensi diri. Seorang wanita merasa ilmunya terbuang
sia-sia, bila hanya berada di dalam rumah dan mengasuh anak-anak. Tekanan dari
keluarga, terutama orang tua, yang sudah bersusah payah menyekolahkan anak
perempuannya, juga menjadi alasan. Apa pun alasannya, aku yakin, jauh di dasar
hati para ibu pekerja, mereka berharap bisa terus bersama anak-anaknya di
rumah, terlebih bila anak-anaknya masih bayi dan balita.
ASI Eksklusif, yang diprogramkan
oleh Kementerian Kesehatan, harus dicapai dengan susah payah oleh para ibu
pekerja, karena kesempatan cuti melahirkan dari kantor hanya tiga bulan. Bahkan
ada perusahaan yang hanya memberikan cuti melahirkan selama seminggu, terutama
bagi para buruh wanita. Itu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Sedangkan ASI
Eksklusif minimal diberikan selama enam bulan. Beberapa ibu pekerja, berusaha keras untuk tetap
memberikan ASI Eksklusif, meskipun sudah masuk kantor. Mereka rajin memerah
ASI, menyimpannya di kulkas, lalu diberikan dengan sendok atau botol kepada
bayinya oleh para pengasuh bayi. Saat sedang di kantor pun, mereka luangkan
waktu untuk memerah ASI, disimpan di kulkas milik kantor, lalu dibawa pulang
untuk persediaan. Itu bukanlah perjuangan yang sepele. Memerah ASI membutuhkan
ketelatenan dan kesabaran, di tengah rutinitas kantor yang tidak kalah
melelahkan. Bandingkan dengan memberi ASI langsung dari putingnya.
Ibu yang di rumah, lebih mudah
memberikan ASI kepada bayinya dengan cara memberikannya secara langsung melalui
putingnya. Berdasarkan pengamatanku terhadap beberapa ibu pekerja, ada sebagian
yang terpaksa hanya memberikan ASI Eksklusif sampai cuti melahirkannya selesai,
antara dua sampai tiga bulan. Masalah yang muncul dikarenakan tekanan pekerjaan
yang membuat stress para ibu, sehingga ASI tidak dapat keluar. Terutama pada
para ibu yang jam kerjanya amat padat. Pergi pagi, pulang malam. Kemacetan ibukota
membuat para ibu tidak dapat secepat mungkin berada di rumah. Terutama untuk sektor-sektor
pekerjaan tertentu yang punya tuntutan tinggi terhadap para karyawannya.
Ironisnya, para ibu yang bekerja
sebagai buruh pabrik, sangat kesulitan memberikan ASI Eksklusif. Padahal, honor mereka pun tak seberapa, yang otomatis
habis hanya untuk membeli susu formula. Pekerjaan sebagai buruh sangat berat
dan ada pembagian shift pagi atau malam. Pulang ke rumah, tubuh sudah sangat
lelah. Kondisi ini dapat menghambat pengeluaran ASI.
Beberapa ibu pekerja lain, yang
jam kerjanya lebih fleksibel, dapat memenuhi impiannya memberikan ASI
Eksklusif, dengan ketekunan dan kerja keras. Terkadang ASI tidak keluar, mereka
usahakan dengan mengkonsumsi banyak buah dan sayur yang dapat meningkatkan
jumlah ASI. Sebuah perjuangan yang perlu mendapatkan apresiasi tinggi,
sekaligus membuat kita berpikir, betapa beratnya beban seorang ibu demi
memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya; tetap memenuhi hak anak terhadap
ASI, juga hak anak terhadap hidup yang layak, sehingga para ibu ikut bekerja
mencari nafkah di luar rumah.
Namun, anak-anak bukan hanya berhak
terhadap ASI. Mereka juga berhak terhadap didikan, arahan, dan kasih sayang
ibu. Bila ibu bekerja paruh waktu, masih mempunyai waktu untuk berinteraksi
dengan anak-anak. Ibu yang bekerja penuh waktu, harus pintar-pintar memanfaatkan
waktu agar bisa mewujudkan hubungan yang berkualitas dengan anak-anak, dan itu
bukan perkara mudah.
Ibu hamil, juga memiliki beban
berat jika tetap bekerja di luar rumah. Suamiku pernah bercerita tentang rekan kerjanya
yang sedang hamil trimester pertama. Rekan kerja wanitanya itu sering tidak
masuk kantor karena tidak kuat menempuh perjalanan jauh dari rumah ke kantor, dan
beberapa kali mendapatkan flek sebagai tanda kehamilannya nyaris keguguran. Ia harus
istirahat di rumah dan disarankan untuk tidak bekerja dulu. Begitu juga ketika
kehamilan sudah memasuki trimester tiga, di mana perut ibu sudah membesar. Susah
payah berangkat ke kantor, terlebih bila harus naik kereta listrik dan angkutan
umum lainnya, berdesakan dengan penumpang lain. Apalagi sekarang sensitifitas manusia
sudah rendah. Tidak mau memberikan tempat duduk untuk ibu hamil, meski melihat
si ibu sedang kepayahan.
Sementara, tidak sedikit juga
wanita pekerja yang mendapatkan pelecehan seksual, baik di perjalanan menuju
kantor maupun di tempat kerja. Seorang temanku, dulu pernah diremas—maaf—bokongnya
saat sedang berada di kereta listrik, oleh laki-laki yang tidak dikenal. Kereta
api kini memang telah memiliki gerbong khusus wanita, tapi hanya satu gerbong
dan itu tidak memadai untuk menampung seluruh wanita. Bagaimana dengan angkutan
lain? Beberapa kali kita mendengar berita tentang wanita yang diperkosa di
dalam angkot…. Sungguh mengerikan.
Mencari pembantu rumah tangga dan
pengasuh anak yang dapat membantu pekerjaan seorang ibu pun bukan hal yang mudah. Mengambil pengasuh anak dari
yayasan, harus menyiapkan nominal yang lumayan. Sedangkan pembantu rumah tangga
dari kampung, sudah amat sedikit. Mereka lebih suka menjadi TKW di luar negeri,
daripada bekerja di dalam negeri. Maka, tugas seorang ibu pekerja menjadi
semakin berat. Melakukan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Siang bekerja di
kantor, malam hari masih harus melanjutkan pekerjaan domestic.
Era digital sekarang ini
memberikan solusi lebih mudah bagi para wanita yang ingin tetap bekerja tanpa
meninggalkan rumahnya. Mendapatkan penghasilan memadai, bahkan lebih besar
daripada saat bekerja di kantor. Juga tetap bisa mengembangkan potensi diri dan
bermanfaat bagi orang banyak. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, sebagaimana
yang dilakukan oleh teman-temanku berikut ini:
Sri Harinie, Pengusaha Kue “Adara
Cake”
Rini, begitu ia biasa dipanggil, telah
setahun menjalani usaha kue rumahan. Awalnya ia tak terpikir untuk membisniskan
kue-kue buatannya. Ia hanya suka membuat kue di kala senggang sebagai ibu rumah
tangga. Kue-kue itu terkadang dibagikan kepada tetangga dan rekan kerabat. Ternyata
banyak yang menyukai kue buatannya dan langsung memesannya. Bahkan ada yang
memesan untuk dijual kembali. Rini pun menyeriusi usaha membuat kuenya. Ia
belajar membuat kue dari tabloid, resep di internet, dan melihat cara
pembuatannya di You Tube. Setiap hari selalu ada saja kreasi baru yang
diciptakannya. Rata-rata pelanggan memuji kue buatannya enak dan lezat. Kini,
Rini bisa menambah pemasukan keluarga tanpa harus meninggalkan rumahnya.
Kue-kuenya juga dipromosikan melalui
jejaring sosial facebook dan Blackberry.
Salah satu kue buatan Rini dengan label Adara Cake. Sumber foto: Fb Rini Farrel Umminya Adara |
Aisyah Fichapuccino, Pedagang On
Line “Fichapuccino All Shop”
Bermula dari pengalamannya
berbelanja via internet, Fika merasa diuntungkan dengan keberadaan toko-toko
online itu. Ia bisa menghemat waktu dan tenaga bila berbelanja di toko online. Ia
pun terpikir untuk membuka toko online. Setelah mengundurkan diri dari
pekerjaan kantorannya, Fika membuka toko online “Fichapuccino All Shop” di
facebook. Awalnya ia menjual pakaian wanita. Barang jualannya pun bertambah
terus. Apa saja yang unik dan terjangkau, akan dipajang di etalase tokonya yang
cukup bermodalkan modem dan pulsa internet. Wanita yang juga suka memasak itu,
juga menerima pesanan makanan seperti pempek Palembang, Nugget, dan kue-kue,
dan sebagainya. Kini, omsetnya per hari mencapai 500 ribu sampai 2 juta rupiah.
Per bulannya mencapai 12-18 Juta.
Pempek Palembang yang bisa dipesan di Fichapuccino All Shop. Sumber foto: Fb Aisyah Fichapuccino |
Leyla Hana, Penulis Belasan Buku
Leyla Hana adalah nama penaku
(penulis artikel ini). Bila Anda sering berjalan-jalan ke toko buku, insya
Allah Anda bisa menemukan buku-bukuku dipajang di sana, di antaranya: Catatan
Hati Ibu Bahagia, Taaruf, Rahasia Pengantin Baru, Gado-Gado Poligami, dan
lain-lain. Aku menulis buku sejak masih gadis. Aku sempat bekerja di kantor
selama tiga tahun, lalu memutuskan untuk mengundurkan diri setelah menikah. Aku
memilih untuk menjadi penulis lepas dan bekerja dari rumah. Keberadaan internet
sangat menunjang profesi menulisku. Selain bisa mendapatkan link-link penerbit
yang kemudian menerbitkan buku-bukuku, aku juga mendapatkan banyak info
mengenai lomba menulis. Hasil dari menulis cukup memuaskan, meski tidak tetap.
Apabila buku diterbitkan, aku mendapatkan uang muka dan royalti yang cukup.
Dua buku karya Leyla Hana; Taaruf dan Gado-Gado Poligami, di Toko Buku Gramedia Medan |
Masih banyak pekerjaan lain yang
bisa dikerjakan dari rumah, di antaranya: Editor lepas, penerjemah lepas,
desainer atau illustrator lepas, peneliti, dan
lain sebagainya. Ke depannya, semoga saja pemerintah kita bisa lebih
peka terhadap wanita, terutama yang sudah menjadi ibu. Diharapkan pemerintah
dapat mendorong perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan wanita, agar
memberikan waktu yang lebih fleksibel terhadap para pekerja wanita. Apabila
bidang pekerjaan itu dapat dilakukan di rumah, maka ada baiknya agar para
pekerja wanita dibolehkan untuk bekerja dari rumah, dengan tetap berstatus
karyawan tetap. Tentu saja untuk kota besar seperti Jakarta, di mana kemacetan
menjadi salah satu problem sosial yang paling pelik, “merumahkan” para wanita
bisa menjadi solusi. Merumahkan, bukan berarti memecat, tetapi memberi
kesempatan bagi para wanita untuk tetap bisa bekerja meskipun tidak berada di
kantor. Di era digital seperti ini, apa
yang tidak mungkin? Rapat-rapat juga bisa dilakukan dengan teknologi tiga
dimensi, seperti di film-film sains fiksi. Kecuali memang bila benar-benar
harus ke kantor, untuk sesekali rasanya tidak mengapa. Dijamin, kemacetan di
Jakarta akan terurai, karena tidak banyak lagi kaum wanita yang ikut
berdesak-desakan di angkutan umum atau menyetir mobil pribadi.
Dengan kemudahan dalam bekerja
dan berkarir itulah, sisi kehidupan wanita lainnya pun akan lebih meningkat. Life, wanita dapat lebih menjaga dirinya.
Dari sisi kecantikan, pengaruh polusi debu dan udara dapat diminimalkan karena
tidak sering keluar rumah. Love, ada
peningkatan kualitas hubungan dengan suami dan anak-anak, di mana seorang ibu
memiliki waktu yang lebih banyak bersama dengan anak-anak dan dalam keadaan
segar ketika menyambut suaminya pulang dari kantor. Spiritual, sering kali hubungan kita dengan Tuhan menjadi berjarak
karena kesibukan. Dengan senggangnya waktu, insya Allah kehidupan spiritual
kita dapat lebih ditingkatkan.
mbaaa......aku pengen bisa begitu berkarya dari rumah aja, jadi gak melewatkan sedetikpun waktu bersama anak-anakku. secara beda banget tumbuh kembang anak pertama yang dulu selalu kuawasi dengan anak kedua yang lahir setelah aku kerja:(
ReplyDeleteKudoakan, mba Sara... Aku ikut memahami problematika ibu pekerja, apalagi masih punya anak kecil..
DeleteInsyaallah 6 bulan lg aku resign, mau ikutin jejak mba, bekerja dari rumah sambil mendampingi anak-anakku.
Deletehebat euyyy..udah jadi aja mbak ela:D.
ReplyDeletePas dapat ide aja, mba anik.. hehe
Deleteasyik ya bekerja dari rumah, sambil menjaga keluarga, dan beribadah jalan terus...sip deh... semoga sukses dengan kontesnya mak :)
ReplyDeleteAaamiiin.. makasih dah mampir, mak...
Deletekereeeen ... suatu saat..insyaAllah..aku jg akan seperti mbak Ela, Pika dan mbak Rini...berkarya dan 'menghasilkan' dari rumah ...
ReplyDeletebtw ... goodluck ya kontesnya ;)
aaamiiin.... makasih doanya, mba Icha...
DeleteMbak... ngintip blognya lagi, yang kemarin kan ketularan menang juga. hehehhe nggak apa-apa ya.... :))
ReplyDeleteMonggo, mba Sari... justru senang diintip-intip ;p
Deletewah catatan menarik , sempat saya menemukan diskusi dengan tema menarik seperti ini...
ReplyDeletesukses juga untuk kontesnya
#Blogwalking sekalian mau ngasih info juga
Event Blogger Hadiah Android Samsung & Voucher2 Belanja Matahari
untuk info lebih lengkapnya bisa kunjungi
Lounge Event Tempat Makan Favorit BPI
semoga bermanfaat
Salam Bahagia
terima kasih sudah mampir, pak
Deletesaya jg sudah mampir ke blog bapak, tp belum punya ide mau nulis tempat makan apa hehe
wao inspiratif bund
ReplyDeleteMakasih dah mampir, Nyi
DeleteMulia jika seorang ibu bekerja ekstra keras demi si buah hati :)
ReplyDeleteBetul...
DeleteTerima kasih...
ReplyDeletesalam silaturahmi...
menarik. :-D
ReplyDeletemenambah ilmu n informasi krn aku belum nikah hehe..
salam kenal...