Fenomena self publishing semakin
menjamur. Kemungkinan besar karena sulitnya menembus seleksi penerbit mayor,
terutama bagi penulis pemula. Posisi saya saat ini berada di tengah-tengah,
penulis pemula tidak, penulis senior yang sudah diperhitungkan juga tidak.
Beberapa naskah yang sudah diterbitkan, ada yang diterbitkan dengan jalan
seleksi, ada juga yang memang karena “sudah kenal.” Saya juga masih kerap mengalami penolakan
naskah. Berbeda dengan penulis senior yang sudah diperhitungkan namanya, mau
naskah seperti apa pun, dijamin terbit.
Deretan buku-buku di toko buku, persaingan ketat |
Sulitnya menembus seleksi
penerbit mayor, bukan berarti kita menyerah. Kalau punya modal besar, silakan
self publishing. Tapi, kalau tidak, lebih baik bersabar menembus seleksi
penerbit mayor. Naskah saya pun masih banyak yang tersimpan di folder komputer,
naskah-naskah yang belum menemukan jodohnya. Saya merasa percuma menerbitkan
dengan cara self publishing, apabila tidak bisa memasarkannya. Kecuali saya
sekelas Tere Liye, yang bukunya belum terbit pun, sudah ribuan orang yang
memesan. Maka, lebih baik saya menulis naskah lain, dan sesekali merevisi
naskah yang ditolak, lalu mencoba mengirimkannya ke penerbit berbeda.
Yup. Berdasarkan pengalaman saya,
menerbitkan dengan cara self publishing bagi seorang penulis yang belum punya
nama dan pasar, hasilnya nol besar. Berapa sih buku yang terjual? Tidak akan
sampai lima ratusan. Kecuali dia penulis yang memang sudah punya jaringan,
punya banyak teman yang loyal, yang mau membeli bukunya begitu terbit, atau
seorang trainer dan professional yang sudah lebih dulu terkenal. Wong buku yang
dipajang di toko buku offline saja susah lakunya, apalagi dijual hanya melalui
online. Jalan lainnya, harus punya modal besar untuk bisa menerbitkan minimal
seribu eksemplar dan mendistribusikannya di toko buku.
Oleh karena itu, setelah pernah
mencoba jasa self publishing satu kali, saya memutuskan untuk menempuh jalan
yang biasa saja; menembus seleksi penerbit. Alhamdulillah, ada kalanya lolos
seleksi, ada juga yang tidak. Ada yang benar-benar karena seleksi, ada yang
memang karena kenal editornya. Eit… kenal dengan editornya?
Hmmm….. kita rinci saja ya,
bagaimana sebuah naskah bisa diterbitkan di penerbit mayor.
Posisi Best Seller, dirindukan penulis dan penerbit |
1. Seleksi,
ini jalan utama yang harus ditempuh sebuah naskah untuk bisa diterbitkan. Ada
tim editor yang bertugas menyeleksi naskah kita. Proses seleksi bervariasi.
Berdasarkan pengalaman saya, apabila naskah kita bagus atau jelek, kita akan
langsung mendapatkan jawabannya dalam waktu paling lama tiga minggu, paling
cepat dua hari. Kalau bagus, diterima. Kalau jelek, ditolak. Yang sulit adalah
kalau naskah kita berada di tengah-tengah, sehingga editor bingung dan harus
mengadakan rapat redaksi dulu untuk
memutuskan. Nah, jawabannya bisa di atas sebulan, atau bahkan tidak ada
konfirmasi lagi, alias menghilang tanpa kabar. Saya pribadi, kalau di atas
sebulan tidak ada kabar dari penerbit, saya anggap naskah itu tidak lolos
seleksi dan saya kirimkan saja ke penerbit lain. Persoalannya adalah, dalam
proses seleksi seperti ini, selain kualitas naskah, nama penulis pun
diperhitungkan. Yup. Penulis terkenal, besar kemungkinannya untuk lolos
seleksi. Apalagi bila daftar buku yang telah diterbitkan berderet-deret. Menurut
penerbit, dengan banyaknya buku yang sudah diterbitkan oleh penulis itu,
berarti setidaknya penulis itu sudah punya pembaca sendiri. Pasar sendiri. Itulah
kenapa, penulis pemula susah sekali menembus proses ini, apalagi kalau belum
pernah menerbitkan buku sekali pun.
Angga, dengan Novel Jean Sofia, Rumah Buku Bandung |
2. Lomba.
Para pemula hendaknya memanfaatkan lomba nulis yang diadakan oleh penerbit
dalam rangka mencari naskah. Biasanya memang penerbit mengadakan lomba menulis
untuk mencari naskah yang ingin mereka terbitkan. Inilah peluang bagi para
penulis pemula. FYI, saya pun akhirnya bisa menerbitkan buku karena menang
lomba. Sebelumnya, naskah saya sulit sekali menembus penerbit karena belum punya
nama. Dalam lomba, tidak ada diskriminasi antara penulis senior dan yunior,
beda dengan seleksi naskah yang umum. Naskah
lomba biasanya dipisahkan dengan CV
penulis. Juri lomba tidak melihat siapa yang menulis naskah itu.
3. Kenal
dengan pihak penerbit. Ada beberapa buku saya yang diterbitkan karena justru
penerbitnya yang meminta naskah dari saya. Mereka sudah mengenal saya, atau
pernah menerbitkan naskah saya sebelumnya. Naskah itu tetap dibaca dan dinilai,
tapi tetap lolos seleksi juga, hehehe….. Hubungan baik dengan editor inilah
yang memang harus dijaga oleh penulis. Kalau sudah tercipta hubungan baik, ke
depannya akan baik pula nasib naskah-naskah kita. Sebaliknya, kalau buruk,
editor bisa menolak naskah kita karena alasan pribadi. Editor juga manusia,
kan? :D
Jadi, bagaimana nasib penulis
pemula yang benar-benar pemula? Saya ikut sedih kalau mendengar curhat penulis
pemula yang berkali-kali mengirim naskah novel dan berkali-kali pula ditolak. Padahal,
menulis novel kan tidak mudah. Kuncinya,
Eni Martini dengan Novel Jean Sofia, Gramedia Penvill |
1. Buatlah
novel yang memang benar-benar bagus. Saya yakin, kalau bagus, tidak akan
ditolak. Tapi, bagus menurut penerbit itu kadang berbeda-beda. Contohnya,
Laskar Pelangi dan Harry Potter juga pernah mengalami penolakan berkali-kali sebelum
diterbitkan. Nah, daripada kita menulis novel belasan, lebih baik fokus pada
satu novel, tapi berkualitas. Jangan terburu-buru menulisnya. Coba dieksplor
semua unsur intrinsiknya. Misalnya, setting, karakter tokoh, konflik, dan
ending yang memikat. Belajar lagi dari novel-novel best seller. Saya lihat,
kecenderungannya banyak penulis pemula yang terburu-buru ingin menerbitkan
novel, sehingga memilih untuk menulis belasan novel “garing,” daripada satu
novel berkualitas. Saya pernah mendapatkan curhatan dari seorang penulis
pemula, yang bingung mau dikirim ke mana naskah novelnya. Lalu, saya sarankan
ikut lomba nulis novel yang sedang berlangsung. Apa jawabnya, “saya sudah kirim
empat novel ke lomba itu.” HAH? Banyak amat, yaaaaaah…. Saya suruh saja dia
kirim lagi itu novelnya, siapa tahu dari kelima novel itu ada yang lolos.
Bayangkan, LIMA NOVEL. Saya saja tidak ikutan, karena tidak ada novel yang
sudah pantas untuk diikutkan ke lomba itu, hehehe……
2. Yakinkan
penerbit bahwa naskahmu punya NILAI JUAL. Ini industry penerbitan. Penerbit
tidak mau rugi ketika menerbitkan naskahmu. Beberapa penerbit mencamtumkan
persyaratan kirim naskah, di antaranya, menjelaskan SELLING POINT novel, dan
apa yang akan dilakukan oleh penulis dalam mempromosikan novel itu. Selling
point itulah yang disebut nilai jual. Itu yang harus kamu jelaskan ke penerbit.
Apa kelebihan novelmu dan bagaimana kelak kamu akan mempromosikannya. Saya
salut ya kepada penulis indie yang begitu bersemangat mempromosikan novelnya.
Tapi, begitu novel itu diterbitkan di penerbit mayor, si penulis cuek-cuek saja
karena yakin penjualannya bagus. Kan sudah dipajang di toko buku. Padahal,
banyak buku yang tidak dipajang saking kurangnya rak buku. Dan bisa jadi itu
bukumu.
3. Yakinkan
penerbit bahwa kamu seorang penulis yang punya nilai jual. What? Penulisnya pun harus punya nilai jual? Kamu pikir apa yang
membuat Raditya Dika bisa menerbitkan curhat konyolnya yang dimuat di blognya? Karena traffic blognya sangat
padat, banyak yang suka membaca curhatan di blognya itu, sehingga penerbit
tertarik membukukannya. Raditya Dika sudah punya penggemar sebelum bukunya
diterbitkan. Bagaimana dengan Poconggg? Hanya gara-gara dia punya follower jutaan,
traffic blognya pun padat, curhatannya di blog pun juga dibukukan. Itulah
gunanya blog dan jejaring sosial. Demikian juga halnya dengan Trinity Traveller
dan penulis My Stupid Boss, yang dirahasiakan nama aslinya itu. Mereka semua
bermula dari penulis blog. Woooow…. Banyak juga yang berawal dari trainer atau
motivator, pengusaha ternama, dokter yang terkenal, dan lain-lain. Atau,
penulis yang membawahi komunitas tertentu dengan anggota berjumlah ribuan. Dengan
demikian, penerbit menilai bahwa si penulis ini punya nilai jual, penggemarnya
banyak meskipun belum punya buku, sehingga dia pun berpotensi untuk menerbitkan
naskahnya di penerbit itu.
Andri Husein dengan Novel Jean Sofia, Gramedia Madiun |
4. Ikuti lomba-lomba kepenulisan yang ada. Terutama
lomba-lomba yang diadakan oleh penerbit, karena itu satu-satunya jalan naskahmu
bisa lolos seleksi tanpa melihat siapa dirimu. Yang dilihat hanya naskahmu yang
memenuhi selera juri.
Jadi, beberapa hal yang perlu
kamu tambahkan di biodatamu, ketika mengirimkan naskah ke penerbit adalah:
1. Selling
point/ nilai jual naskahmu, sebutkan semua kelebihan naskahmu dibandingkan
naskah serupa di pasaran. Baik itu dari isi ceritanya, setting, konflik,
karakter tokoh, dan ending.
2. Sebutkan
nama blogmu, twitter, dan facebook, dengan menekankan bahwa kamu punya follower
ribuan. Untuk itu, rajinlah mengelola blog dan jejaring sosialmu hingga kamu
punya fans ribuan. Meskipun hanya orang biasa, tak menutup kemungkinan untuk
bisa terkenal melalui sosial media. Sebutkan dalam biodatamu, kelebihanmu itu.
3. Sebutkan
nama komunitasmu beserta jumlah anggotanya. Untuk itu, buatlah sebuah komunitas
atau bergabunglah secara aktif di sebuah komunitas yang juga aktif, misalnya
sebuah grup di facebook dengan jumlah anggota ribuan. Katakan, bahwa bukumu
berpotensi untuk dibeli oleh anggota komunitas itu.
4. Sebutkan
komitmenmu untuk mempromosikan bukumu kelak, bila diterbitkan, baik itu melalui
jejaring sosial maupun roadshow ke sekolah-sekolah dan toko buku.
5. Cara-cara
di atas biasanya jitu untuk memikat penerbit, kecuali naskahmu memang sangat
tidak layak untuk diterbitkan,
hehehehe…….
Selamat
berjuang menembus penerbit.
bermanfaat banget mba...:) aku jadi berpikir serius menyelesaikan novelku:)
ReplyDeleteAyo selesaikan, mb Sarah.. mumpung belum deadline :D
Deletesaya harus kontak langung dengan bunda nih.. :)
ReplyDeletesaya juga ingin sekali menerbitkan antologi puisi dan saya rasa itu juga punya jalan yang sangat sangat terjal..
kalo saya memperhatikan penerbit yang menerbitkan kumpulan puisi itupun juga kelihatannya bukan penerbit mayor (sperti penerbit bukupop-yang katanya berdomisili di bandung-koreksi saya bila salah he-he-he)
Iya, benar, mas Affan. Buku puisi belum dianggap punya nilai jual, karena peminat puisi amat sedikit. Rata-rata self publishing yg menerbitkan buku puisi. Gimana kalau puisinya digabung dgn novel? Jadi, Mas Affan nulis novel saja, yg diselipkan puisi-puisi. Oya, blognya kan rame tuh... itu potensial jg bwt memikat penerbit.
DeleteDIcari Naskah NOvel untuk penerbit 3L,
ReplyDeletehubungi naskah3l@gmail.com atau 081933028839 (Wayan Adi)
trimakasih segala info yg bermanfaat. saya mau tanya, kepada semua yg punya pengalaman : apakah naskah yg ditolak penerbit bisa dibajak/ diterbitkan tanpa sepengetahuan kita? bagaimana cara mensiasatinya? trimakasih sebelumnya. Agung - kediri email : studio13owner@yahoo.co.id
ReplyDeleteKlo saya menerbitkan buku pertama di Self Publishing untuk nyari pengalaman nerbitin buku. Selanjutnya coba-coba ke Penerbit Mayor lagi... :)
ReplyDeletewah alhamdulillah bermanfaat banget nih tipsnya mba Leyla, jadi semangat lagi yang sebelumnya down hehehehe
ReplyDeleteaku juga baru terbitin novel nih judulnya # Serambi cinta di negeri cahaya
oh iya kapan-kapan jalan-jalan ke blog aku yuk di
www.syiffacerpen.blogspot.com
terimaksih sudah berbagi infonya
ReplyDeleteobat herbal campak
obat herbal lupus mujarab
artikelnya sangat membantu
ReplyDeleteobat herbal tumor otak