Wednesday, May 23, 2012
Novel: Rara The Trouble Maker (5)
A NEW RARA!
Bibir Rara yang tipis sejak tadi menyunggingkan senyum. Semoga hari ini ia bisa bertemu Adit, setidaknya di gerbang sekolah. Ia ingin bilang: Rara sudah berubah! Ups! Rara nyengir. Tukang kebun keheranan melihatnya senyum-senyum sendirian. Ia kan memang sedang latihan senyum! Selanjutnya Rara merengut. Capek-capek latihan senyum, nggak ketemu Aditya. Tapi ia tetap harus latihan.
“Hai, Widi!” sapanya pada Widi yang sedang piket.
Widi keheranan melihat wajah Rara yang cerah. Tidak biasanya Rara begitu. “Rara, lu belum ngerjain PR, ya?” tanyanya. Pikirnya, mungkin saja Rara tersenyum begitu biar bisa menycontek PR.
“Oh... enggak. Gue udah ngerjain kok!”
Widi melongo. Rara mengerjakan PR?!
“Rara! Tobi bawa kartu porno lagi, tuh!” seru Wina. Tobi buru-buru menyembunyikan mainannya.
Rara tersenyum. “Tobi... kan udah dibilangin. Itu tuh dosa,” ujarnya, lembut. Jelas saja seisi kelas melongo.
“Ra? Elu bener-bener udah berubah?” Wina nggak percaya.
“Mudah-mudahan.”
“Wah, Rara hebat!” puji Runi.
“Padahal ini hari pertama kan?” tanya Citra.
“Ujiannya belum dimulai aja…!” Rara merendah. “Ternyata capek juga tersenyum itu,” keluhnya. Yang lain tertawa. Sementara di belakang, anak-anak mempertanyakan perubahan Rara.
“Tenang, tenang. Ini belum seberapa,” kata Jimmy. Yang lain manggut-manggut.
“Teman-teman! Ada rapat PMR lagi! Buruan!” seru Tina, tiba-tiba.
“Asyik, Ra! Bisa ketemu Butterfly! Semoga aja lu ketemu Aditya!” Wina senang banget.
“Asyik!” sahut Rara, riang. Tumben-tumbenan ia bahagia ikut rapat PMR. Semua yang merasa anak PMR, berlarian keluar kelas.
“Anak-anak! Pak Tito datang!” teriak Dio, dan….
BRUKK!
Wajah Dio merah padam.
“Ra... ra....” Gemetaran ia mengeja nama itu. Wah, apa yang akan terjadi ya? Ia telah menabrak Rara, gadis yang paling ditakuti di kelas ini. Eit... Rara tersenyum! Tidak dapat dipercaya!
“Sakit, sih. Tapi gue tau lu juga sakit. Lain kali hati-hati. Nggak usah panik gitu,” ucap Rara.
Dio bengong. Benarkah itu Rara yang mengucapkannya? Belum habis keheranannya, Rara telah berlalu. “Hei! Itu Rara bukan, sih?” tanyanya sambil menaikkan kacamatanya yang jatuh ke hidung.
“Iya. Benar. Rara udah berubah.” Jimmy tersenyum.
“Mungkin karena tawuran itu.” Tobi menerka-nerka.
“Yang penting, kita udah aman sekarang,” sahut Widi.
“Wah, kalo Rara begitu, gue jadi naksir nih!” tukas Jimmy.
“Huu…!”
***
Di ruangan yang biasa dijadikan tempat rapat PMR, Ranti, senior PMR, menjelaskan tentang rencana pelantikan anggota baru PMR yang akan diselenggarakan hari Sabtu dan Minggu. Para calon anggota PMR akan mendapatkan dispensasi pada hari Sabtunya.
“Berarti kita nginep, ya?” tanya Betty.
“Seru lagi!” tukas Wina.
Rara merengut. “Kalo nggak ikut gimana?”
“Rugi, Ra!” seru Wina.
“Gue apa elu?” Rara mencibir. Wina nyengir. Usai pertemuan PMR, mereka kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran Bu Sinta.
“Baiklah, anak-anak. Itu semua materi yang telah Iibu jelaskan. Sekarang kalian kerjakan nomer dua belas, ya.” Bu Sinta, Guru Ekonomi, menutup uraiannya.
“Assalamualaikum, Bu!” kata Rara dan kawan-kawan.
Bu Sinta menatap mereka, tajam. “Dari mana saja kalian?”
“Rapat PMR, Bu,” jawab Tina.
“Ya sudah. Kerjakan soal nomer 12dua belas. Kalau belum jelas, tanya sama temannya.”
Rombongan calon anggota PMR itu pun duduk di bangku mereka masing-masing.
“Eh, elu ikut nggak, Ra?” bisik Wina.
“Ntar deh, gue pikir-pikir lagi. Kalo gue be-te, gue pasti dateng.”
“Sst! Jangan berisik! Nanti Bu Sinta marah, lho!” bisik Tina.
Rara dan Wina mengabaikan bisikannya.
“Abis gue males sih ikut acara gitu-gituan.” Rara masih asyik ngobrol.
“Ya... ikut, dong. Biar gue ada temennya.” Wina merajuk.
“Temen kan banyak!”
“Rara!” tegur Bu Sinta.
Rara dan Wina melotot. Kapan Bu Sinta ada di samping mereka?!
“Sudah mengerjakan soalnya?” tanya Bu Sinta sambil melihat ke buku Rara. “Masih kosong, tapi sempat ngobrol!” omel Beliau. Rara nyengir. “Ketawa lagi. Kerjakan di depan!”
Rara langsung menuruti perintah Bu Sinta, meski sedikit menggerutu. Wina geleng-geleng kepala. Tumben-tumbenan Rara tak memberontak. Bu Sinta juga agak terkejut. Padahal ia sudah bersiap diri kalau Rara memberontak.
“Rasa-rasanya... Rara emang udah berubah.” Jimmy berbisik.
“Kita manfaatin, yuk!” ajak Toby. Keduanya tersenyum licik.
“Mana gue bisa?!” Rara menggerutu. Ia bengong saja di depan kelas karena tak bisa mengerjakan soalnya.
“Nggak bisa kan?” Bu Sinta menyindir.
Rara tertunduk. “Maafkan saya, Bu!”
Seisi kelas terperangah. Seakan teringat kembali ketika Rara berseteru dengan Pak Tito, Guru Bahasa Inggris yang galak itu. Rara dan Pak Tito sama-sama mempertahankan ego mereka. Karena tak bisa mengerjakan soal, Rara dimaki-maki Pak Tito. Rara balas memaki. Tak seharusnya Pak Tito yang berlabel “guru” mengucapkan kata-kata makian. Mereka bermusuhan dan sejak itu Rara mendapatkan nilai merah untuk Bahasa Inggrisnya. Sekarang, ia meminta maaf pada Bu Sinta? Aneh. Bu Sinta saja ikut heran.
“Tapi... saya kan tidak bisa, wajar, Bu. Saya kan belum mendapat materinya karena rapat PMR.” Rara beralasan. Mau tidak mau, Bu Sinta goyah juga.
“Ya, sudah. Duduk di tempatmu. Jimmy! Tolong kamu gantikan tugas Rara!”
Jimmy menggerutu.
Rara tersenyum senang. Tidak semuanya harus diselesaikan dengan kekerasan, kan?
“Kapurnya habis, Bu!” kata Jimmy.
“Rara, mumpung kamu masih berdiri, sekalian deh ambil kapur di ruang guru!” suruh Bu Sinta.
Rara gondok juga, tapi ia berusaha menahan diri. “Iya, Bu,” ucapnya. Aneh. Padahal tadi kapurnya masih ada. Jimmy tertawa-tawa sendiri. Kena deh Rara dikerjain. Sementara itu, Wina masih tak percaya melihat perubahan Rara. Cinta telah menunjukkan kekuatannya.
***
Fitri termenung di atas meja belajarnya. Nasyid gagal mangung karena kalah bersaing dengan band kakaknya? Phiuh! Apa yang harus ia lakukan? Membujuk Doddy agar mau mengalah? Tidak mungkin. Doddy pasti tak mau mengalah. Lagipula, penggemarnya akan kecewa begitu tahu Bband Butterfly tak jadi tampil.
“Fitri? Kamu ada di dalam?” tanya Doddy, tiba-tiba.
“Ada apa, Kak?”
“Ini ada puding dari Ibu. Dari tadi kamu nggak keluar-keluar, sih? Kakak disuruh nganterin puding ini.”
“Masuk!”
Doddy membuka pintu. “Kamu nggak pa-pa?” ia heran melihat wajah Fitri yang kusut.
Fitri menggeleng.
“Kecapekan lagi, ya?” Doddy bertanyanya lagi.
Fitri menggeleng lagi.
“Terus kenapa?”
“Seperti saran Kakak dulu. Rohis mencoba berdakwah melalui hiburan,” Fitri langsung curhat.
“Terus?” Doddy menatap sepasang mata indah milik Fitri.
“Di ulang tahun sekolah nanti, kami telah mengajukan tim nasyid terbaik Rohis untuk tampil,”
“Wah, bagus tuh!”
“Sayangnya, proposal kami ditolak.”
Doddy bengong. “Di... tolak?”
“Acara hiburan terlalu banyak. Waktunya nggak cukup. Kecuali kalau ada salah satu yang batal tampil. Band Kakak kan sudah sering tampil. Maukah untuk kali ini mengalah?” tanya Fitri, pelan.
“Jadi itu masalahnya ?”
“Iya.”
“Kakak mungkin bisa mengalah demi Fitri. Masalahnya, Kakak bukan satu-satunya personil dalam band itu.”
“Makasih, Kak!” Fitri memeluk Doddy, erat.
“Eh, Fit! Masalahnya kan belum selesai?” Doddy kebingungan.
“Mendengar Kakak mau mengalah untuk nasyid saja Fitri udah senang!”
“Kakak akan bicarakan ini sama teman-teman.”
“Bener, Kak?!” tanya Fitri tak percaya.
Doddy mengangguk.
“Makasih! Kakak baik banget!”
“Kakak senang sekali Fitri mau memeluk Kakak seperti ini. Biasanya kan judes aja.”
“Kalo nasyid gol, Fitri mau meluk Kakak terus.”
***
“Wina, lu udah pikir mateng-mateng?” tanya Betty tak percaya. Tina si provokator, senyum-senyum saja.
“Sudah saatnya cewek maju duluan!” kata Wina, semangat.
“Gue nggak yakin akan berhasil.” Betty meragukan.
“Yee! Betty!” seru semuanya.
“Walaupun tidak berhasil, yang penting berusaha!” tekad Wina makin bulat.
“Ada apa, sih?” tanya Rara yang baru datang.
“Wina mau ngasih surat cinta ke Doddy,” jawab Betty.
“Heh! Biar gue aja yang ngasih tahu!” teriak Wina.
“Wina! Lu serius?!” Rara terkejut.
Wina tersipu malu. “Habis, gimana, ya? Kalo menunggu pangeran datang menjemput, rasanya lama sekali,” jawabnya, lucu. Semua tertawa ngakak.
“Hargai dong semangat Wina! Ini namanya emansipasi!” kata Tina yang tidak ikut tertawa.
“Iya, gue hargai. Cepetan lu kasih. Gue pengen tau reaksinya,” dukung Rara.
“Buat apa?”
“Buat pelajaran gue. Kalo lu berhasil, gue ikutin. Kalo gagal, yah, gue nggak ikutin.”
Wina mencibir.
Akhirnya, surat cinta Wina diletakkan di pos sekolah. Biasanya tertuju sendiri yang mengambil. Surat itu, surat merah jambu dengan kata-kata indah di dalamnya.
Beribu-ribu kumbang di taman.
Hanya satu yang bunga tunggu.
Beribu-ribu pangeran tampan.
Hanya satu yang Wina tuju.
Maukah Kakak menjadi teman dekat Wina?
Ttd,
Wina.
Kelas 1.3.
***
“Mekanismenya begini ya, adik-adik. Besok hari Sabtu jam tujuh pagi kalian sudah harus kumpul di lapangan sekolah. Kita akan berangkat sama-sama ke lokasi. Berikut ini barang-barang yang harus kalian bawa. Dicatat, ya.” Ranti, seperti biasa menjelaskan pada saat rapat PMR.
“Kak Ranti itu udah cantik, lembut, baik lagi,” puji Tina sambil mencatat.
“Nggak kelebihan tuh, pujiannya!” cetus Rara, sinis.
“Deu... Rara...!” goda Betty.
“Eh, katanya Kak Ranti itu pernah pacaran sama Doddy,” bisik Tina.
Wina terkejut. “Yang bener yang mana sih? Katanya Kak Eva?”
“Semua cewek yang cantik-cantik bekasnya Doddy kali! Cowok kayak gitu ditaksir!” tukas Rara.
Wina cemberut. “Gue malah berpikir Kak Ranti itu mungkin mantan pacar Aditya,” katanya, membalas. Rara, Tina, dan Betty langsung menatapnya, tajam. “Ini cuma tebakan gue aja, lho!” sahut Wina, cepat.
Rara menatap Ranti. Cantik… lembut… baik, lagi! Ya, mungkin saja!
“Kita tanya Runi!”
“Dia tuh nggak tau apa-apa! Dia kan cuma denger dari orang-orang!” sahut Tina.
“Udah, deh. Ngapain sih lu mikirin mantan pacarnya Aditya. Yang penting kan sekarang udah putus,” kata Betty.
“Yah… siapa tau mereka masih berhubungan.”
“Enggak, ah! Kata Runi, kan cewek itu udah ngedapetin cinta yang lain dan katanya cinta yang lain itu bener-bener kuat.” Tina menyahut. Semua menatapnya.
“Gue jadi penasaran. Cinta seperti apa yang bisa membuat cewek itu berpaling dari Aditya?” tanya Rara, pelan.
“Cinta yang kuat, Ra. Cinta memang mempunyai kekuatan untuk mengubah seseorang. Seperti yang sekarang terjadi sama elu. Demi Aditya, lu mau berubah, kan?” tanya Wina.
Rara menatap Wina, dalam. “Iya. Elu juga. Elu kan cewek pendiam yang selalu ragu mengambil keputusan. Tapi karena Doddy, elu jadi cewek pemberani bahkan lebih berani dari gue.”
Wina mengangguk. Cinta….
Penjelasan panjang-lebar Ranti ditutup dengan pembagian kelompok. Ternyata Rara satu kelompok dengan Wina, Tina, Citra, Dian, Lia, dan Dini. Kelompok satu itu langsung menunjuk Dian sebagai ketua. Sebenarnya Rara mendapat banyak suara, tapi ia nggak mau.
Akhirnya, rapat selesai juga. Semua kembali ke kelasnya masing-masing. Wina dan Tina tumben-tumbenan berjalan berdua meninggalkan Rara dan Betty di belakang. Soalnya, Wina memang sedang ingin curhat sama Tina.
“Dod! Lu dapet surat!” Suara di depan mereka, menghentikan langkah keduanya.
Di depan pos sekolah, Doddy dan Bimo sedang mengambil sepucuk surat merah jambu. Wina melotot.
“Dari penggemar. Bacain, dong!” Bimo ingin tahu. Doddy senyum-senyum. Wina dan Tina masih terpaku sambil lirik-lirikan.
“Woi! Ngapain kalian diam di sini?” tanya Rara dengan suaranya yang kencang.
“Ssst!” Tina menunjuk ke depan mereka.
Rara terkejut. “Suratnya dibaca,” gumamnya. Sayang, mereka tak tahu apa reaksi Doddy setelah membaca surat itu karena kedua cowok itu telah berlalu.
“Ya...!” Pembaca kecewa.
“Aduh... gimana ya tanggapannya?” Wina heboh.
“Win, kalo misalnya dia nggak nerima lu, gimana?” tanya Rara.
“Rara! Jangan bikin Wina patah hati dong!” omel Tina.
Rara cemberut. “Maaf, deh. Tapi Win, melihat kejadian tadi, gue jadi bersemangat mengikuti jejak lu.”
Wina dan kawan-kawan, bengong. “Maksud lu?” tanya Wina.
“Ya... seperti elu. Tapi bukan dalam bentuk surat cinta, melainkan gue pengen ngomong langsung sama Aditya supaya gue bisa langsung tau jawabannya.”
Semua saling berpandangan. “Elu serius, Ra?” mereka nggak percaya.
Rara mengangguk yakin. “Kekuatan cinta udah merasuk dalam diri gue!” sahutnya, pe-de.
Wina menggigit bibir. “Rara, sebenarnya udah lama gue pengen ngomongin ini ama elu.”
“Apa?”
“Udah beberapa hari ini gue ngeliat Aditya jalan bareng seorang cewek.”
Rara bengong, lalu tersenyum. “Ah... mungkin cuma temen....” Ia berusaha menghibur diri.
“Tapi kejadian ini sering, Ra. Gue takutnya mereka pacaran. Jadi, gue pikir, sebelum elu mengucapkan itu, lu cari tau dulu.”
“Sebenarnya gue juga pernah melihat mereka berdua. Cewek itu namanya Wita, anak Paskibra!” kata Tina, tiba-tiba.
Rara tertunduk.
***
BUK! BUK! BUK!
Rara memukul guling tinju yang biasa digunakannya untuk latihan. Berat. Seberat beban yang menggelayutinya. Susah payah ia berubah demi Aditya, cowok itu malah berlalu dengan cewek lain. Keringat deras mengaliri tubuhnya. Inikah sedih? Entah. Tapi yang pasti, Rara kecewa. Lalu, untuk apa ia berubah?
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....