Saturday, March 31, 2012
Tips Menulis: Menulis Berdasarkan Pengalaman
Beberapa waktu lalu, saya membeli sebuah buku nonfiksi yang mengupas tentang bagaimana caranya agar seorang ibu tetap tersenyum menghadapi permasalahan sehari-hari. Sekilas, idenya sama dengan buku saya, Catatan Hati Ibu Bahagia. Berhubung bukunya disegel, jadi saya hanya membaca synopsis dan endorsmentnya saja. Wuiih… endorsmentnya keren, dari orang terkenal dan psikolog. Jadilah saya beli buku itu.
Namun, di bab pertama saja, yang mengupas soal wanita, sudah membuat saya kecewa. Mengapa? Karena bahasannya sama persis dengan buku Ensiklopedia Wanita karangan penulis wanita dari timur tengah, yang saya lupa nama lengkapnya. Buku yang saya baca sejak zaman kuliah. Jadi, tinggal copas saja. Kejadian copas itu tidak hanya sekali. Memang ada sesekali bahasan dari si penulis, alias dari buah pemikirannya, tapi lebih banyak dari copas segala sumber, ya buku lain, ya internet. Dan begitu saya baca biodata penulisnya, oooh… pantas saja. Jangankan punya anak, menikah saja belum. Si penulis malah masih kuliah, tapi sudah menulis buku yang menganjurkan ibu-ibu agar tetap tersenyum menghadapi permasalahan sehari-hari, seperti urusan anak, rumah tangga, dan sebagainya. Dan bahasannya itu lebih banyak berasal dari kutipan-kutipan di buku lain atau internet.
Lho? Memang kenapa? Apa tidak boleh? Ya, boleh saja. Sah-sah saja kita mau menulis apa saja, tetapi jangan kaget kalau pembaca akan kecewa, seperti saya. Di bagian awal saja saya sudah bisa menebak dari mana dia mengcopas bahasannya. Tentu saya kecewa, karena saya sudah “tahu” apa yang dia tulis itu. Lalu, apa gunanya saya membeli bukunya? Buang-buang uang saja. Saya kan beli bukunya untuk mencari ilmu baru, ilmu yang belum saya ketahui. Sebagai ibu yang masih banyak kekurangan, saya ingin tahu juga bagaimana supaya bisa menghadapi masalah sehari-hari dengan senyum. Ternyata, saya tidak mendapatkan informasi itu dari buku yang saya beli, bahkan saya tidak percaya dengan apa yang ditulis si penulis karena si penulisnya sendiri belum menikah, apalagi punya anak.
“Ya jelaslah, dirimu masih single, masih enjoy ke mana-mana… hihihi…. Gampang saja yah nyuruh ibu-ibu lain untuk tersenyum di tengah kesulitan,” Begitu batin saya bicara. Nah, complain serupa juga datang dari seorang teman, tapi ini soal penulis dan buku yang berbeda. Jenis bukunya masih sama, nonfiksi. Mengupas tentang tokoh-tokoh yang sukses dalam bisnis. Yang membuat teman saya kecewa, penulisnya itu cukup terkenal, ternyata bukunya hasil copas-copas. “Cari di google juga dapat nih, gak usah beli bukunya.”
Yang lebih parah adalah kisah seorang penulis blog yang jago masak. Dia suka memposting hasil masakan dan resepnya ke blognya. Tidak sengaja dia temukan buku masak yang isinya sama persis dengan isi blognya. Bahkan foto-foto masakannya juga. Tidak mungkin, kan kalau penulis buku masak itu tidak mengcopas atau mencuri isi blognya? Resep dan foto masakan itu murni miliknya, difoto dari kameranya.
Kalau menulis fiksi, tidak mungkin copas. Yang ada juga plagiat. Sebab, karya fiksi berasal dari pikiran sendiri, khayalan dan imajinasi penulisnya. Tetapi, karya nonfiksi memang cenderung mudah mengcopas. Kita tinggal cari idenya saja, misalnya: Tokoh-Tokoh yang Sukses Berbisnis, lalu search di google. Muncul nama-nama, copas deh. Jadi wajar, saya sendiri kurang suka membaca karya nonfiksi, kecuali berbentuk memoar yang ditulis oleh penulisnya sendiri. Memoar artinya pengalaman hidup si penulis sendiri, misalnya memoar Pipiet Senja yang ditulis oleh Pipiet Senja sendiri, tidak mungkin copas, kan?
Atau, buku-buku antologi dengan tema tertentu, semisal, antologi saya, Gado-Gado Poligami dan A Sweet Candy for Teens. Atau, antologi yang memuat karya saya, Ketika Buah Hati Sakit, Aku dan Buku. Semua ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya, jadi tidak mungkin copas. Membacanya pun enak, kita tidak bisa menemukannya di google, kecuali sudah dishare oleh penulisnya di internet. Dan itu tidak mungkin kalau bukunya masih beredar.
Berdasarkan itulah, buku-buku nonfiksi yang saya tulis, tidak berdasarkan copas. Ada empat buku nonfiksi yang telah saya tulis; TAARUF, PRANIKAH HANDBOOK, RAHASIA PENGANTIN BARU, dan CATATAN HATI IBU BAHAGIA. Semua buku itu ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan orang-orang terdekat, yang saya ambil hikmahnya. Memang ada sedikit referensi yang saya ambil, tapi lebih banyak hanya ayat Al Quran dan Hadis untuk menguatkan. Atau, kisah-kisah sahabat Rasul. Untuk buku-buku panduan ibadah, tidak masalah mengcopas ayat Al Quran dan Hadis, sebagai penguat.
Itulah mengapa, saya tidak bisa cepat dalam menulis nonfiksi, juga fiksi. Semua harus dipikirkan benar-benar. Dan terutama, saya menulis berdasarkan pengalaman. Buku TAARUF ditulis setelah saya menjalani proses taaruf dengan calon suami. PRANIKAH HANDBOOK ditulis setelah saya menikah dengan suami. RAHASIA PENGANTIN BARU ditulis saat menjalani masa-masa pengantin baru. Dan CATATAN HATI IBU BAHAGIA ditulis saat menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Semua adalah kombinasi pengalaman saya dan orang lain yang saya tangkap dari cerita mereka. Lalu, saya bahas dan cari hikmahnya. Proses untuk menulisnya tidak cepat, tidak bisa sebulan, dua minggu, apalagi dua hari. Semuanya ditulis pada saat ada ide yang melintas, jadi berlangsung bertahun-tahun sampai semua ide terkumpul menjadi buku. Saya menikmatinya, sebab untuk itulah saya menulis. Bukan sekadar mengcopas, tetapi mengabadikan apa yang saya lihat dan rasakan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Blog Yang Menarik dan saya pengen sekali bisa menulis tapi memulai nya yang susah..kadang ada ide tapi sikon tak berpihak lagi di jalan atau di mana gitu..pas nyampe tempat atau rumah ide nya buyar entah kemana?...Bisa Bantu ndak solusi nya...Tks
ReplyDelete