Menjadi ibu rumah tangga tanpa pernah bekerja di kantor, agaknya lebih baik daripada menjadi ibu rumah tangga setelah sebelumnya memiliki karir yang bagus di kantor. Setidaknya, IRT yang belum pernah merasakan kerja di kantor, tidak merasakan perubahan drastis saat masih berkarir dan saat sudah tidak berkarir.
Karir saya sedang berada di puncak, ketika memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga full time dan penulis lepas. Bos saya saja menyayangkan keputusan saya untuk berhenti bekerja di sebuah kantor penerbitan yang cukup ternama di kawasan Depok. Tiga tahun sudah saya meretas karir sebagai editor dan penulis lepas. Hari-hari saya dipenuhi oleh kerja, kerja, dan kerja. Berhubung saya tinggal di kantor, ada kamar untuk karyawan, maka saya punya banyak waktu untuk bekerja. Tidak habis waktu di jalan. Kerja kantoran dimulai dari jam pagi sampai jam 5 sore. Pagi hari, usai salat Subuh, saya mengetik untuk tulisan pribadi. Jam sampai jam 5 sore, saya lakukan pekerjaan sebagai editor. Jam malam, setelah mandi, solat, makan, saya kembali mengetik untuk tulisan pribadi. Beban sebagai anak sulung yang harus ikut membantu ekonomi orang tua, membuat saya agak workaholic.
Namun, setelah empat bulan menikah, saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga full time. Bos saya sempat membujuk agar saya tidak berhenti bekerja, bahkan ditawari kenaikan gaji. Saya tetap pada pilihan untuk berhenti bekerja. Keputusan ini sudah lama saya pikirkan, sejak baru duduk di bangku SMA. Ketika teman-teman wanita membicarakan soal cita-cita di masa depan, banyak yang berkata dengan lantang, “aku ingin menjadi wanita karir.”
Wanita karir, artinya bekerja di kantor dan punya penghasilan sendiri. Sebagian menginginkan demikian, karena latar belakang keluarga yang kurang bagus. Ibunya “hanya” ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan, sementara penghasilan bapaknya pas-pasan. Jadi, mereka tidak mau mengulang kegagalan ekonomi keluarganya. Mereka ingin menjadi wanita yang sukses dalam karir, agar bisa ikut menopang ekonomi keluarga.
Hmmm… sementara keadaan saya sebaliknya. Ibu saya seorang wanita bekerja. Saya justru mendambakan Ibu yang menanti kepulangan saya dari sekolah, menemani makan siang, menemani belajar, dan sering mengusap kepala saya. Bukan meniadakan peran ibu saya dalam keberhasilan saya saat ini, tetapi memang saya agak kurang mendapatkan perhatian Ibu, karena Ibu seorang pekerja keras. Pagi ke kantor, malam masih membuka usaha jahitan. Kalau mengajari belajar, tidak fokus, karena sambil memotong-motong baju.
Jadi, saya sudah bercita-cita menjadi ibu rumah tangga full time sejak masih duduk di bangku SMA. Ketika menjalani proses taaruf, perkenalan dengan seorang laki-laki dalam rangka menikah, saya masukkan cita-cita itu ke dalam biodata. Saya sebutkan bahwa, meski sekarang saya sedang bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan, kelak saya akan menjadi ibu rumah tangga full time.
Dan apa yang saya dapat? Proposal saya ditolak. Padahal, kami belum bertemu muka. “Ikhwan” itu menolak saya, justru karena cita-cita saya itu. Rupanya dia menginginkan calon istri yang bekerja. Alasannya sih supaya istrinya kelak punya aktivitas yang berharga. Jiyaaah…. Saya pun langsung hilang rasa terhadap ikhwan itu. Bayangkan, bahkan seorang aktivis dakwah kampus, lebih memilih wanita pekerja daripada ibu rumah tangga. Karena alasan ekonomikah? Bukankah itu pertanda lelaki tersebut tidak mampu menanggung beban nafkah sendirian? Saya menyebut lelaki itu, pengecut.
Maju tak gentar. Cita-cita menjadi ibu rumah tangga tetap saya cantumkan di dalam CV. Akhirnya, saya ketemu juga dengan ikhwan yang selaras dengan cita-cita saya. Dia adalah suami saya saat ini. Dia justru menginginkan calon istrinya nanti menjadi ibu rumah tangga full time. Dia ingin istrinya hanya mengurus rumah dan anak-anak. Jodoh memang tak ke mana. Visi misi kami sudah sejalan. Kami sudah saling menerima. Alhamdulillah, kami pun menikah.
Empat bulan kemudian, terwujudlah cita-cita saya menjadi ibu rumah tangga. Sebuah keputusan yang khawatir mendapatkan protes dari ayah saya. Ayah ingin anak-anak perempuannya menjadi wanita karir. Memang, Ayah terlihat kecewa. Beliau sering menyesalkan keputusan saya untuk menjadi ibu rumah tangga. Yang paling mengiris hati adalah saat beliau melihat KTP baru saya. Di situ tertulis, pekerjaan saya sebagai ibu rumah tangga. Beliau kecewa dan berkata, “pekerjaan kok mengurus rumah tangga? Malu-maluin aja. Tulis aja, pekerjaanmu itu penulis.”
Dan sejak itu, dimulailah dilema-dilema ibu rumah tangga, yang pernah merasakan bekerja kantoran. Saat masih ngantor, saya mendapatkan gaji bulanan. Tiap bulan, saya bisa beli baju dan jilbab baru. Juga memberikan sedekah untuk orang tua dan adik-adik. Setelah berhenti kerja, otomatis berhenti juga semua pemasukan . Suami baru mulai bekerja lagi, setelah sebelumnya diPHK, jadi harus mulai dari awal lagi. Pemasukan dari royalty tidak setiap bulan. Saya harus menghemat pengeluaran rumah tangga dan pribadi. Saat itu, saya bahkan tidak bisa lagi memberikan uang ke orang tua dan adik-adik.
Jika sebelumnya saya bisa beli baju, jilbab, sepatu, bahkan ke salon, selanjutnya tidak pernah lagi. Mungkin hanya lebaran, saya bisa beli baju. Bahkan, pernah saya tidak beli baju saat lebaran. Tentu ada pergolakan-pergolakan batin mengalami perubahan itu. Sementara, istri dari adik-adik suami saya, yang wanita karir, dapat membeli apa saja dari uang mereka. Saya harus menunggu sampai suami punya uang lebih, baru bisa membeli sesuatu yang saya inginkan.
Selain itu, dunia kerja juga memberikan koneksi yang luas dan teman-teman baru. Semua itu hilang ketika saya memutuskan menjadi IRT Full. Bayangkan, saya bahkan kesulitan membeli pulsa, jadi boro-boro bisa mengobrol di telepon dengan teman-teman. Paling-paling sms, itupun tidak sering. Saya juga belum mendapatkan koneksi internet. Rasanya harga modem kala itu belum terjangkau, sementara belanja rumah tangga saja masih sering saya bantu melalui royalty buku saya.
Bergaul dengan tetangga? Entah kenapa, sulit rasanya membaur dengan tetangga. Tetangga sebelah rumah, istrinya baru meninggal dunia. Masa saya ngobrol dengan suaminya? Mereka juga nonmuslim. Kanan kiri rumah saya, rumah kosong. Ada tetangga di lain gang. Ketika masih punya bayi, saya sering keluar sambil menyuapi bayi dan mengobrol. Tapi, lama-lama tidak sreg. Sepertinya saya agak kurang nyambung dengan ibu-ibu tetangga, karena fokus pembicaraan yang berbeda. Mereka sering membicarakan keburukan tetangga lain, bahkan urusan kasur. Rasanya tidak enak didengar, sehingga saya kembali ke rumah saja.
Jadi, saya suka berandai-andai, seandainya saya bekerja lagi, tentu tidak akan menderita begini. Tawaran untuk bekerja lagi, benar-benar menggoda. Selama itu, saya sudah mendapatkan tiga kali tawaran untuk bekerja lagi, dari majalah dan penerbit. Tawaran itu selalu datang ketika saya sedang hamil 5 bulan. Syukurlah, mungkin itu memang scenario Allah mengenai pilihan terbaik dalam hidup saya.
Kegiatan menulis sempat terhenti saat punya hamil dan punya anak. Hamil saya bukan hamil kebo. Sebaliknya, saya mengalami ngidam yang cukup parah. Anemia parah, mual, dan muntah sepanjang hari bukan lagi morning sickness, dan sering terkapar di tempat tidur. Jika membuka komputer, yang ada kepala pening dan berputar-putar. Baiklah. Saya pun berhenti sejenak dari segala yang namanya karir, meskipun karir sebagai penulis. Karir saya tepatnya adalah menjadi ibu rumah tangga full time. Saya berusaha menikmati menjalani fitrah sebagai istri dan ibu. Totalitas saya berikan untuk suami dan calon bayi. Bahkan, setelah bayi lahir, saya masih istirahat menulis, meski godaan-godaan itu datang.
Sering kali pikiran saya melayang ke mana-mana, menjalin kisah-kisah yang kelak akan menjadi novel. Sayang, saya harus mengalah pada keadaan. Keinginan untuk menyalakan komputer, harus dikalahkan dengan tangisan bayi. Belum lima bulan usia si sulung, saya divonis hamil lagi. Sudah tentu, saya kembali membiarkan ide-ide novel berkeliaran kea lam bebas. Kadang saya catat di buku atau hape, kadang hilang begitu saja karena tidak langsung saya tangkap.
Dilematis? Ya, tentu. Terkadang saya ingin kembali ke kantor, lebih sering saya ingin punya waktu sendiri demi menuntaskan cerita-cerita novel yang hanya memenuhi kepala saya. Tentu beda rasanya bila saya belum pernah merasakan kerja di kantor dan menghabiskan waktu untuk kerja. Saya tidak akan punya kecanduan kerja. Masalahnya, saya memang sudah kecanduan kerja. Dan pekerjaan saya yang semula di belakang meja, beralih menjadi pekerjaan dapur dan sumur. Ironisnya, jika kerja di kantor, saya bisa mendapatkan kenaikan gaji dan jabatan. Bekerja di rumah, sebagai ibu rumah tangga, hasilnya begitu-begitu saja. Tidak ada gaji. Tidak ada kenaikan pangkat.
Itulah, ketika kita memandang keberhasilan itu hanya dari materi dan pangkat. Padahal, nikmatnya menjadi ibu rumah tangga, melebihi itu semua, yang baru saya rasakan ketika anak-anak lahir. Saya bisa mengasuh dan memantau perkembangan mereka dari detik ke detik, dengan mata kepala sendiri. Saya bangga menjadi fokus perhatian anak-anak. Dengan kehadiran saya selama dua puluh empat jam di sisi mereka, tak ada orang lain yang spesial di mata anak-anak, selain saya. Ketika orang lain—bahkan ayah anak-anak—mencoba menggendong bayi saya, bayi saya memberontak dan menangis tak mau. Ia hanya mau dengan saya. Itu membuat saya terharu. Kehadiran saya amat berarti bagi anak-anak. Bahkan sampai sekarang, bagi anak-anak, saya adalah nomor satu. Ya, ini bukan narsis. Kenyataannya memang demikian.
Kalau tidur, kedua anak saya mengambil posisi di ketiak kiri dan kanan, mengapit saya. Saat menangis dalam tidur, mereka baru diam ketika tangan saya menepuk-nepuk bagian tubuh mereka. Beda jika ayahnya yang melakukan, belum tentu langsung diam. Kalau ayahnya pergi, mereka biasa saja tuh. Tapi, kalau saya yang pergi, mereka akan menangis minta ikut. Ke mana pun saya pergi, anak-anak bersama saya, karena memang tak punya pengasuh. Ketika mereka pipis atau pup, hanya mau dibersihkan oleh saya. Tidak mau oleh pembantu atau ayahnya. Ketika makan dan mandi pun, mereka memilih dimandikan dan disuapi oleh saya. Saya bangga menjadi pusat kehidupan anak-anak. Saya yakin, kelak pun, anak-anak tetap menjadikan saya sebagai pusat kehidupan ketika mereka dewasa.
Bercermin dari ibu mertua saya yang juga seorang ibu rumah tangga full time. Sampai hari ini, saya harus menahan kecemburuan terhadap ibu mertua, karena suami saya lebih intens berkomunikasi dengan ibu mertua, daripada dengan saya. Ketika di kantor, suami sering menelepon ibunya. Ketika ibunya butuh sesuatu, suami langsung membelikan. Ya, jelas saja, kan saya sudah ketemu suami setiap hari… Oooh.. tentu tidak. Saya sering menginap di rumah mertua dan orang tua, berpisah dari suami. Tetapi, suami jarang menelepon saya tuh. Kalau ada apa-apa, hampir pasti akan dikonsultasikan ke ibunya. Cemburu saya bukan kepada wanita penggoda, melainkan kepada ibu mertua. Dan kami sering sekali pulang kampung ke rumah mertua, kalau ibu mertua sudah bilang kangen ke cucunya. Ah, sekalipun tak ada uang, suami memaksakan diri untuk pulang kampung. Begitu kuat pengaruh ibu mertua terhadap diri suami dan adik-adiknya, sekuat perhatian ibu mertua dulu sewaktu suami saya masih kecil.
Ibu mertua saya benar-benar ibu rumah yang full time, tanpa penghasilan. Ibu mertua saya sering tak punya uang, tapi itu tak pernah menjadi masalah bagi anak-anaknya. Bagi anak-anak, yang penting adalah perhatian Ibu. Suami saya pernah bicara, “Ibu itu gak punya uang….” Lalu, dilanjutkannya, “Soalnya Bapak ngasih uangnya terbatas.” Intinya, Ibu tidak punya uang, ya tidak apa-apa. Toh, tidak punyanya uang itu karena dikasihnya terbatas oleh Bapak. Suami saya jarang dibelikan mainan semasa kecilnya, dan itu tidak membuatnya trauma. Biasa saja. Justru sikap sederhana itu sampai sekarang masih menempel dalam diri suami saya. Suami saya sangat menghargai uang dan semua yang dibeli dengan uang; artinya, tidak boros. Sebab, sejak kecil diajarkan hidup sederhana oleh orang tuanya, dengan Bapak yang memberikan uang secukupnya, dan Ibu yang tidak punya uang. Justru, dengan keadaan seperti itu, anak-anak mertua saya terlatih mencari uang. Bukan ingin takabur, di bawah usia tiga puluh tahun, ketiga anak lelaki mertua saya, sudah memiliki rumah dan investasi kebun serta kendaraan. Semua adalah berkat didikan mertua untuk bersikap sederhana dan tidak boros.
Namun, tidak saya pungkiri, bahwa akhirnya saya sempat terkena stress selama menjadi ibu rumah tangga full time. Seperti ada kebutuhan batin yang tak terpenuhi, karena berhenti menulis dan memiliki waktu untuk pribadi. Hingga terpenuhilah keinginan saya mendapatkan modem. Saya mulai kembali ke public. Ketika menulis, itulah waktu pribadi saya. Tak jarang saya menulis sambil menyusui si bungsu. Jika dikatakan saya mendapatkan materi dari menulis, ya memang benar. Tetapi, materi bukan fokus utama saya. Sampai hari ini, urusan rumah tangga dan anak-anak tetap mengambil sebagian besar waktu saya. Menulis sebagai sampingan. Kalau saya menjadikan menulis sebagai tugas utama, tentu sudah saya ambil tawaran-tawaran yang menggiurkan, seperti diminta menjadi editor lepas sebuah penerbit.
Saya hanya berpikir, kalau saya terikat pekerjaan dengan seseorang, bisa-bisa nanti saya menelantarkan anak-anak. Selama ini saya menulis tanpa tekanan, suka-suka saja. Sedangkan pekerjaan editor, meskipun lepas, tidak bisa dilakukan sesukanya. Kalau ada naskah yang harus segera diselesaikan, sama saja saya dikejar-kejar deadline. Ada banyak deadline menulis. Kalau sanggup, saya kerjakan. Kalau lewat, ya sudah. Tidak saya sesali. Ada dua lomba novel yang prestisius di akhir tahun kemarin, keduanya lepas begitu saja karena novel saya tidak ada yang selesai. Ya, sudah. Tidak menyesal sama sekali.
Komunikasi dengan orang banyak pun terbuka melalui fesbuk. Saya dipertemukan dengan ibu-ibu senasib. Bisa berbagi permasalahan dan saling memberi solusi. Saya jadi mempunyai teman bicara, meskipun hanya lewat satelit. Kadang-kadang ada acara kopi darat. Wah, senangnya bukan main. Dulu saya merasa sendirian, tidak punya teman. Kini, teman saya ribuan.
Sampai saat ini, menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang saya senangi. Tidak terbayang bila pagi-pagi saya ikut mengejar kereta untuk berangkat ke kantor, meninggalkan kedua anak yang masih kecil-kecil di belantara Citayam, mungkin dengan pengasuh yang selalu membuat saya was-was sebab saya tidak bisa percaya kepada orang lain dalam mengasuh anak-anak saya. Pulang malam, anak-anak sudah tidur.
Dan tentu saja, dengan menjadi ibu rumah tangga full time, saya jadi bisa menulis buku ini. Ini baru kovernya saja, bukunya belum terbit. Kelak bila saya sedang galau lagi, saya tinggal baca kembali buku ini. Sebab, di sinilah, saya menuliskan semua kegalauan dan menemukan solusinya sendiri.
alhamdulillah saya juga ibu rumah tangga..
ReplyDeletealhamdulillah sejak awal sudah seperti itu, tidak pernah mencicipi 'nikmatnya' sibuk menjadi wanita karir.
alhamdulillah, masalah perasaan tertekan terutama akibat pengaruh lingkungan thd pandangan IRT juga sering saya alami ...
sukses ya mba dengan bukunya :)
tetap semangat, Mba Marisa.
ReplyDeletesebab, ketika ada mantan ibu kantoran, mengeluhkan dilemanya. Ada ibu yg belum pernah mencicipi kerja kantoran, berkata, "saya gak tahu rasanya dilema itu, krn gak pernah ngantor."
Jadi, permasalahan ibu rumah tangga tetap ada, hanya berbeda kasusnya ya.
Yuk, saling menguatkan. Alhamdulillah, di lingkungan saya lebih banyak ibu rumah tangga, jadi saya fine-fine saja.
Hanya masalah dgn diri sendiri dan orang tua, yg masih berharap saya ngantor.
wah... senangnya bisa berjumpa lagi dengan mbak leyla :)
ReplyDeleteorang yang dulu menginspirasi saya buat menulis, meskipun sampai detik ini saya masih belum punya satu karya pun.
ternyata dilema wanita karir nggak cuma di alami sama ibu-ibu rumah tangga lho..
saya sendiri yang belum manikah juga mengalami dilema, bedanya saya malah ketagihan buat belajar, nggak pengen kerja, tapi keadaan yang memaksa saya buat terus mencari kerja, dan sampai saat ini pekerjaan yang saya inginkan belum saya dapatkan.
kalau dibilang setres iya, tapi saya selalu berhusnudhon pada Allah, kalau Allah mempersiapkan sesuatu yang terbaik buat saya.
jadi nggak samapai gila lah saya mikirin kerja... hee hee hee
~nah lho.. kok jadi curcol gini? hee hee hee~
nggak apa-apa yaa mbak... meskipun mbak leyla udah punya dua baby, tapi kayaknya jiwanya masih jiwa2 anak muda.. hee hee hee
terima kasih mbak, udah sempetin baca komen saya :)
assalamu'alaikum... n_n
Sama-sama, senang juga ketemu dengan Laila. Ketagihan belajar??? Hebat, dunk... hidup memang harus selalu belajar, kan? Gak harus di universitas lho. Sampe sekarangn saya juga masih belajar jadi ibu yang baik bagi anak-anak, dan penulis yang baik untuk para pembaca, hehehe...
ReplyDeleteYuk, tetap semangat belajar. Bekerja juga ibadah. Mungkin biar enak, bekerjanya yang ada sangkut pautnya dengan pelajaran yg Laila minati.
Belum dapat kerja? Itu juga pernah jadi dilema buat saya, waktu baru lulus kuliah. Nganggurnya bulan lho, memang pusing yah cari kerja. Gimana kalau bikin kerjaan sendiri? Hehehe... Kalau suka menulis, dimaksimalkan aja potensinya.
Alhamdulillah, kalau masih awet muda. Tapi nulis novel remaja, masih jalan kok.
Salam bwt keluarga ya...
Duuh... nih ilang angkanya. Saya nganggur sembilan bulan, Laila. Sempat stres juga, hihihi....
ReplyDeletewih... aku masih dua bulan setengah, tapi udah semrawut pikirannya mbak... hee hee hee
ReplyDeletetp tetep semangat kok :)
nih aku yang dulu sering muncul di fb mbak, Ismiy Isnaynie, masih inget nggak mbak?
hee hee hee (jangan-jangan ntar SKSD nii? gubrak)
mbak kalo' ada tulisan baru mbak leyla di tag yaa...
sekalian kalo ada info lomba juga, kayaknya mo menggali potensi kemampuan nulis nii, siapa tau aja bisa kayak mbak leyla, amiiiin... hii hii hii (ngarep n_n)
Ya Allah... Ismiyyy... ya jelas aku inget laaaaah.... Sekalian aku add ke grup nulisku ya. Banyak info lomba dan audisi menulis di sana, insya Allah. Yuk, semangaaaat....
ReplyDeletehoreeeee... ternyata diriku tak terlupakan... hee hee hee
ReplyDeleteiyya iyya maksih mbak...
pasti pasti sekarang tambah semangat nulisnya :)
Assalamualaikum,mba leyla.luar biasa yah pengalaman mba leyla.kenalin mba saya fury, saya tengah dalam dilema yang pernah mba alami. parahnya saya gak punya keahlian menulis kayak mba,jadi saya ada kekhawatiran dalam diri saya untuk memulai menjadi irt.dilema gitu lho mba....
ReplyDeleteMba Fury, insya Allah ada potensi dalam diri Mba yang bisa dikembangkan, kalau mau bekerja dari rumah. Apa saja bisa, tidak harus menulis. Menulis pun bisa mulai belajar dari sekarang. Banyak ibu-ibu rumah tangga yang baru belajar menulis. Ada yg bikin kue, merajut, jualan online, dan sebagainya. Semangat, mba...
Deletemba leyla... saat ini saya sedang mengalami dilema yg pernah mba alami nih... saya masih kerja fulltime saat anak saya sekarang berusia 10 bulan... saya mau mundur, tapi ortu saya sangat tdk setuju... mereka malu anaknya yg lulusan FEUI harus nganggur dirumah... bahkan ibu saya sampe sakit setelah tau saya mau mengundurkan diri dari pekerjaan saya... ada saran untuk saya mba?
ReplyDeleteMba Rhea, coba dihitung-hitung, lebih banyak kebaikannya atau keburukannya bila mba resign dari kantor? Gak masalah jg kalau mba bisa balance dalam mengurus karir di kantor dan keluarga. Tetapi jika sudah ada ketimpangan, di mana misalnya urusan keluarga jadi keteteran krn karir di kantor sangat menekan, dan suami menyuruh mba utk resign, maka taat kepada suami itu yg lebih utama.
DeleteSebagian besar ortu memang gak setuju bila anak yg sudah disekolahkannya tinggi-tinggi itu harus jd ibu rumahan saja. Tapi, bila mba bisa membuktikan bahwa berkarir dari rumah pun bisa menghasilkan, insya Allah lambat laun mereka akan menerima. Ada baiknya skrg mba persiapkan dulu kemungkinan utk resign itu dengan membuka usaha dari rumah. Coba kembangkan hobi yg mba sukai, misalnya membuat kue, merajut, menulis, dsb, sambil tetap ngantor. Beberapa teman saya berproses spt itu jg, sampe benar-benar siap utk resign.
Mba Rhea
DeleteKeputusan menjadi IRT juga baik, demikian juga dengan tetap bekerja. Semua ada plus-minusnya
Menurut saya ya jadi IRT itu positifnya ada di depan, untuk dibelakangnya belum diketahui kecuali udah sampai masanya. Sedangkan jika tetap bekerja positifnya dibelakang (masa mendatang) walaupun ini belum mengalami tetapi sudah bisa doprediksi
Selain itu mengenai orang tua anda khususnya ibu sampai jatuh sakit karena anda ingin berhenti bekerja ya saya kira wajarlah karena dulunya orang tua anda susah payah mencari biaya kuliah anda dengan harapan (mungkin semua orang tua juga begitu) anak-anaknya bisa lebih baik dari dirinya. Kitapun kelak (jika sudah usia 50 tahunan) kemungkinan akan berpikir sama. Jadi menurut saya jika kita bisa bagi waktu antara tugas kantor dan perhatian rumah, demikian juga bisa bagi tugas dengan suami ya sebaiknya tetap bekerja dulu (bisa jangka waktu 10 tahunan). Paling tidak menghargai jerih payah ortu kita membiayai kuliah.
Dan juga perlu dipelajari juga bahwa manusia tidak akan pernah mengetahui dari mana Alloh memberi rejeki ke kita. Bisa saja dari 2 arah (suami+istri). Jika memang ini jalannya terus istri memutuskan berhenti bekerja bisa berarti menolak rejeki yang kemungkinan akan terjadi kesulitan di masa mendatang. (Coba buka QS Al Baqoroh 195 dan QS An Nisa 9)
Maaf ya jika berbeda pendapat
Salam kenal, Mbak Leyla.. Memang benar, seperti yang Mbak katakan, anak dari seorang wanita karier, justru ketika punya anak, mereka ingin menjadi ibu rumah tangga fulltime. Ada satu teman saya juga menceritakan terus terang tentang pengalaman masa kecilnya yang kecewa karena ditinggal ibunya sibuk bekerja kantoran. Saya juga berniat mendukung ibu-ibu rumah tangga fulltime, melalui blog : www.iburmhtangga.blogspot.com Semoga kita semua bisa saling dukung ya... :)
ReplyDeleteKebalikan ya Mbak. Kalau suami saya menginginkan istrinya bekerja karena dulu ibunya IRT. Dan memang status saya saat ini masih bekerja
Deletegan ane ikut nongkrong...
ReplyDeletehttp://www.divametalinterior.com/
Salam Kenal Mbak Layle
ReplyDeleteSaya dengan Sri, dari Bandung..saat ini sy sedang merasakan kegalauan dan merasakan hal diatas, sungguh merasa sendiri. Saya rindu kerja, rindu ingin membantu suami saat beliau kesulitan. senadainya ada peluang dan bisa belajar jadi penulis sy sangat berminat. setidaknya sy punya kegiatan sambil bisa melihat sikecil tumbuh dan berkembang...Ya Rabb beri saya Kekuatan dan Keshalehan dalam menjalani peran yang mulia ini...amin..ini e-mail sy mbak leyla : my_srie@yahoo.com...ingin sekali bisa share dengan mbak,,
makasih.
subhanalloh, warna warni kehidupan ibu. Semoga dikuat-tegarkan dengan pilihan yang telah digariskan Alloh. Ana uhibbukifillah mba ela ^^
ReplyDeleteInspiratif mbak Ela, thanks for sharing
ReplyDeletehaaa mbak saya dulu pas bekerja juga ngga pernah beli baju dan ini itu karena gajinya habis utk keluarga termasuk sedikit utk Mama...sekarang pas ngga kerja saya kudu lbh pinter nyari duit dari ngekuis dan nulis hihihihi.
salam kenal ya mba Leyla, pagi-pagi saya nyasar ke blog mba ini. terimakasih sharingnya. saya sedang menuju ke sana nih. semoga nanti saya bisa menyesuaikan diri. aminnn
ReplyDeleteMba saya senang dgn tulisan mba,,soalnya saya baru aja kena phk dan skarang menjadi ibu rumah tangga biasa...
ReplyDeleteMba saya merasa punya teman senasib,saya satu setengah tahun sudah resign,tapi msh mengalami pergolakan batin dgn diri sendiri dan orang tua..saya resign saat hamil anak kedua,
ReplyDeleteSalam kenal Bunda,
ReplyDeleteSangat bangga bisa membaca tulisan bunda, saya seperti menemukan teman berbagi dengan apa yang saya rasakan selama ini., seperti juga bunda, sy juga merasakan kerja kantoran, walau hanya sebentar :) saya menyukai pekerjaan-pekerjaan itu tapi saya tahu pasti apa yang saya korbankan, yaitu tidak adanya waktu untuk berkumpul bersama anak semata wayang, dan akhirnya ketika anak mendapatkan peristiwa buruk yang menjadi trauma baginya (ini adalh penyesalan terdalam saya), sy akhirnya melepaskan semua karir gemilang itu dengan konsekuensi tidak lagi memiliki penghasilan sendiri, suami kecewa, orang tua juga sedikit kecewa, tapi buat saya anak adalah titipan Allah yg harusnya saya jaga sebaik-baiknya, sekarang sebagai seorang Ibu Rumah Tangga dengan sedikit penghasilan yang didapatkan sebagai PTC Clicker, sy bersyukur bisa dekat dengan anak, semoga kedepannya saya bisa lebih berhasil lagi menjadi Ibu Rumah Tangga yg lebih baik , aamiin
Assalamu'alaikum mbak....tulisannya menginspirasi sekaliiiii...
ReplyDeleteSaya juga merasakan hal yang sama. Wanita kantoran yang akan resign karena menikah dengan yang sekantor hahaha. Saya belum resign sih,karena InsyaAllah menikah tahun depan. Tapi hati saya juga dilema. Bismillah, semoga keputusan menjadi ibu rumah tangga adalah yang terbaik :)
Salam kenal mba Leyla, tulisannya natural banget dan meng inspirasi. semoga aku bisa segera menetapkan hati untuk menjadi full time mother dan berhenti jadi part time mother. Amin...
ReplyDeleteAamiin semoga dimudahkan jalannya ya Bu :-)
DeleteAaaaaa pengen baca bukunya, ini aku bzngeeeet msk, spemikiran
ReplyDeleteHalo...jalan hidup saya jg hampir mirip2 dg mb Hana...saya harus melepaskan karir saya di sebuah Bank milik pemerintah pd saat posisi karir puncak saya. Sejak lulus saya mmg bercita2 ign menjadi wanita karir...Tetapi sgl kondisi di kantor lah yg akhirnya yg membuat saya memutuskan utk resign dg berat hati tentunya setelah 10 tahun membangun karir dr bawah. Alasan resign dilatarbelakangi hal2 yg berbeda2...dan utk saya, krn hal2 yg bertentangan dg bathin saya shg saya sdh tdk merasakan ketenangan dan kebahagian bathin ketika bekerja. Dunia tdk selama nya tentang materi, bekerja pun butuh kecintaan,rasa bahagia, diappresiasi...
ReplyDeleteAlhamdulillah suami tdk menuntut saya utk menjadi wanita karir ataupun memaksa saya utk menjadi Ibu rumah tangga. Ini baru 1 bulan sejak masa resign saya, skrg saya dlm proses penyesuaian diri yg saya anggap sgt tdk mudah. Sering merasa stress, down,minder dan hal2 lain....
Tp saya yakin Alloh adalah satu2 nya penolong ku...
Sgt menginspirasi tulisan mb Hana...bhw menjadi IRT bukanlah sesuatu yg hina atau kecil artinya...justru sebaliknya...
Aamiin semoga terus diberi kemudahan atas pilihan yang sudah diambil ya mba :-)
DeleteSalam kenal mbak Leyla,
ReplyDeletesenangnya ya mbak bisa full di rumah dan mengurus anak-anak, saya ingin resign tetapi masih ragu karena banyak hal,,,semoga Allah membukakan jalan untuk saya.
Sukses dengan bukunya ya mbak :)
Aamiin semoga dimudahkan jalannya ;-)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteassalamualaikum wr.wb.sangat menginspirasi sekali cerita mb leyla yang bertepatan dengan kegalauan yang saya alami saat ini. salam kenal y mb dari saya lila.saya ibu pekerja dengan anak 1 umur hampir 4 th an. kl boleh dan diijinkan saya juga kepengen sharing2 sama mb leyla.boleh minta alamat fb nya g mb??terimakasih sebelumnya. wassalamualaikum wr.wb
DeleteWaalaikumsalam, FB saya: www.facebook.com/leyla.hana
Deleteterimakasih y mb.sudah saya tambahkan ke fb saya.
DeleteAku udha punya bukunya, khas isi curhata ibu rumah tangga :)
ReplyDeleteselamat siang mb.....
ReplyDeletebaru baca tulisannya, bisa jadi mb bisa bantu kasik solusi masalah saya.
saya bkerja sudah hampir tiga tahun, menikah belum 1 tahun, alhamdulillah sudah mau dikarunia anak (uk. 8 bulan).
ada permintaan suami setelah melahirkan, agar saya berhenti bekerja.
sebenarnya saya suka mb jadi IRT, didukung kondisi kantor sy yg tidak sy suka. sy ingin menjadi guru, tpi karena tidak ada lowongan, maka tawaran yg ada saat itu, sy ambil sj (read: pegawai bank)
Latar belakang keluarga saya (ayah ibu saya) tidak bekerja, karena ayah saya kena imbas PHK Leces. ibu saya hanya IRT. adik saya yg satu kuliah semester 7, yg satu sekolah kelas 3 SMP.
sebenarnya itu yg membuat sy bingung harus memilih, tetap bekerja demi membantu keluarga sy, atau berhenti bekerja demi patuh suami. karena sy tahu mb, prioritas memang suami, tp sy jg tdk sampai hati melihat kondisi ekonomi keluarga sy.
terima kasih masukkannya mb :'(
Mbak Gilang yang baik, saya memahami posisi Mbak karena saya juga mengalami hal yang mirip di mana ibu yang dulu ikut bekerja sudah meninggal dunia & ayah sudah pensiun sedangkan saya masih punya adik yang masih sekolah. Memang orangtua masih ada penghasilan dari uang pensiun tapi sedikit. Tapi tetap saja beliau berharap saya membantu ekonomi keluarga, sedangkan suami melarang. Saya pilih menaati suami sambil mencari jalan rejeki tanpa harus keluar rumah sehingga bisa tetap memberi uang ke orangtua. Sebenarnya dalam Islam, justru anak perempuan berada dalam tanggungan ayahnya selama belum menikah (atau bila ditinggal suaminya) & tidak harus bekerja. Tapi keadaan di dunia nyata kadang tidak selalu bisa mengikuti aturan Islam. Kalau saya mengambil jalan dengan mencari pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Dan alhamdulillah lama2 ayah bisa mengerti walaupun saya hanya bisa memberi uang sedikit-sedikit. Mungkin juga ayah mbak Gilang bisa dibantu untuk berwirausaha dari rumah seperti membuka toko kelontong dsb. Dan kalaupun mba tetap ingin bekerja sebagai pegawai bank, berusaha terus agar suami meridoi ya. Semoga mendapat solusi terbaik.
DeleteMbak leyla. Benar2 menginspirasi. Saya pengen beli bukunya kira2 dijual dimana ya mbak?
ReplyDeleteSilakan email ke leyla_hana@yahoo.com ya, mba :-)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletehaloo mbaa Leyla..
ReplyDeleteSaya juga wanita bekerja yang kebetulan berprofesi sama seperti mba leyla, penulisa dan editor di salah satu penerbitan ternama. Sudah empat tahun saya bekerja dan sudah merasa nyaman dengan pekerjaan ini. Saya skrg masih lajang dan akan menikah dalam beberapa bulan ke depan. Ada keinginan berhenti bekerja untuk menjadi ibu rumah tangga full. Akan tetapi, Saya juga masih merasa berat karena Saya merupakan satu-satunya anak dari orang tua saya yang bekerja dan bisa membantu sedikit finansial orang tua, sedangkan kedua saudari saya yg lain tidak bekerja. Terasa masih ada perang batin antara keinginan pribadi (menjadi irt) dengan membantu orang tua saya. Walaupun orang tua saya tidak pernah menuntut saya membantu mereka dan tidak menuntut saya terus bekerja. Hanya saya yang merasa takut mengecewakan orang tua jika berhenti bekerja.
Halo semua..
ReplyDeleteSaya juga sedang beradaptasi dengan status saya menjadi irt.
Sekarang saya sedang hamil 2bulan.
Saya resign sudah 3 bulan.
Saya memang sudah siap dengan status ini.
Dari pihak orang tua saya juga sudah sangat mendukung karena lebih menginginkan mengurus anak dan suami dibanding melulu cari duit.
Tapi dari mertua menginginkan saya tetap berkarir dan membangun kehidupan mapan lebih cepat.
Suami kadang terbawa namun kadang netral.
Saya sedang menjalani dikema karena tekanan mertua ini.
Saya sadari memang background mertua saya dari nol dlm menbangun kehidupannya.
Berbeda dengan keluarga saya yang sudah berada semenjak kecil.
Hal itulah yang membuat oenahaman akan kehidupan berbeda, lebih tepatnta tentang uang.
Org tua saya sangat percaya rejeki itu ada msg msg yg ptg usaha dan bersyukur dan lbh hrus bertakwa.
Kalo dr sudut pandang mertua, kerja keras dikedepankan sampai tua pun juga, agama jalan juga si tapi tidak terlalu ditegaskan.
Dilematik rumah tangga ada saja.