Friday, January 13, 2012

Resensi Buku: Republik Genthonesia

Judul: Republik Genthonesia: Maju Perut Pantat Mundur

Penulis: Mbah Dipo
Penerbit: Pro You (Pro U Media)
Harga: Rp 30.000



Dari judul dan kovernya saja, kita sudah bisa menebak bahwa ini buku humor. Terlebih setelah membaca sinopsisnya. Serupa dengan buku-buku humor lainnya (dari yang tokohnya pocong atau kuntilanak, sampai yang menggunakan julukan “stupid”), buku ini pun diambil dari blog sang penulis, yang menamai dirinya Mba Dipo. Weleh-weleh… apakah penulisnya sudah mbah-mbah? Belum, kok. Kalau melihat biodatanya di akhir buku, sepertinya masih muda. Gara-gara menyebut dirinya “Mbah,” si penulis sering disangka dukun. Padahal, aslinya seorang dokter umum. Dokter beneran lho, bukan dukun.

Belakangan ini, yang komedi-komedi memang sedang laris manis, dari opera sabun sampai buku. Lihat saja rating OVJ (Opera Van Java) yang tinggi. Anak kecil saja tahu. Buku-buku komedi pun berjajar rapi di rak terdepan toko-toko buku. Dengan hanya modal ngocol, para pelawak dan penulis komedi, meraup untung besar. Tanya kenapa? Mungkin rakyat Indonesia memang sedang stress saking harga-harga naik terus, tapi pendapatan tidak naik. Atau, memang rakyat Indonesia suka melucu juga, tidak serius, dan suka menertawakan orang. Bahkan, tokoh-tokoh politik pun hampir sama dengan Tukul dan Sule. Suka melakukan manuver-manuver yang membuat rakyat melongo, lalu tertawa, sambil bertanya, “ah, yang bener lo???” Begitu tahu benar, rakyat pun menangis. Menangis bisa karena sedih, bisa karena tertawa tak habis-habis.

Ya sudahlah. Mending kita mulai saja membahas buku berjudul “Republik Genthonesia.” Lho, bukannya sudah mulai dari tadi??? Gentho apaan, sih? Kata penulisnya, gentho itu artinya preman, alias maling kecil. Nah, alkisah, si tokoh utama buku ini, Mbah Dipo, hidup di Republik Genthonesia, republic preman. Sebelum mulai membuka halaman pertama, kita baca dulu petikan sinopsisnya.

Salah satu petikan sinopsisnya, demikian:
Pantangan dan Anjuran:
- Hindarkan buku ini dari Api, Air, Angin, dan Maling.
- Jangan beli buku ini dengan uang korupsi atau uang haram.
- Bila bukunya cocok berlanjut, harap laporkan ke KPK (Kawan, Pertemanan, Ke semua orang)
Kocok Dahulu Sebelum Dibaca (siapa tahu ada doorprize atau kecoaknya…)
Berbeda dengan buku-buku humor kebanyakan yang menggunakan bahasa Betawi atau bahasa anak gaul Jakarta (elo-gue), Mbah Dipo justru bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa Solo Yogya, plus Indonesia . Kalau gak ada bahasa Indonesianya, dijamin cuman laku di Jawa Tengah.

Berbeda juga dengan buku-buku humor lainnya, yang mungkin bertutur sekarepnya dewe (seenaknya saja), lebih sering hanya berniat memancing tawa, tetapi tak ada pesan-pesan yang terkandung. Buku humor yang satu ini justru sarat pesan. Bisa dikatakan, inilah humor yang cerdas. Humor satire yang nendang bablas.

Mulanya, saya malas membacanya. Berpikir tak akan ada manfaat yang bisa saya petik. Begitu sudah membacanya, saya malah sangat menyayangi buku ini. Ini bukan buku sekali baca, lalu lewat. Menghibur sejenak, lalu hilang tak berbekas. Sejujurnya, saya memang kurang suka buku-buku komedi, sebagaimana saya tidak suka menonton acara komedi. Entah kenapa, mungkin saya terlalu serius (jiyaaah….).

Di dalam buku berkover seekor monyet yang sedang tertawa terbahak-bahak ini, Mbah Dipo menceritakan Republik Genthonesia dari kelakuan rakyatnya, sampai pejabatnya. Dimulai dari cerita mengenai Londo Gosong. Anda tahu “Londo” kan? Di zaman penjajahan dulu, para penjajah Belanda disebut “Londo.” Londo Gosong artinya orang Belanda, tapi kulitnya gosong. Eh, bukan. Maksudnya, orang Indonesia yang berperilaku seperti penjajah (Belanda). Kalau dulu, si Londo Gosong ini adalah para pengkhianat bangsa yang menangkap para pejuang untuk diserahkan ke penjajah Belanda, sekarang si Londo Gosong membaur di segala bidang. Dari bidang politik sampai budaya, bisa dipastikan si Londo ini bersemayam (hei yaa.. kayak hantu ajaa….). Apakah Anda termasuk Londo Gosong? Baca saja buku ini.

Lalu, ada wawancara imajiner dengan Cak Mat Aphi, seorang tokoh pluralis dari Jawa Timur, dengan seorang reporter Solo Balapan TV.

Setelah dipreambuli dengan tindakan FPI di Monas, dan dengan iringan backsound yang mencekam ala pilem G30 S PKI, mulailah acara dialog tokoh yang ditayangkan oleh Stasiun TV Solo Balapan.
Sudipomo : Gimana menurut Anda, Cak, tindakan FPI yang barusan ditayangkan?
Cak Mat : “Wah, gak bener FPI itu. Itu memaksakan kehendak. Saya tidak setuju dengan segala macam kekerasan.
Reporter : “Lalu, tentang tuntutan mereka terhadap pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah, apakah Anda juga sepakat?
Cak Mat : Biarkan keyakinan apa pun berkembang di negeri ini. Jangan ada pelarangan dan pembubaran satu keyakinan. Itu melanggar hak asasi manusia. Pemerintah seharusnya melindungi semua keyakinan. Gak boleh ada pembubaran.
Reporter : Menurut Anda, sebaiknya tindakan apa yang perlu dilakukan terhadap FPI?
Cak Mat : Sebaiknya FPI dibubarkan saja.
Reporter : Anda barusan mengatakan bahwa gak boleh ada pembubaran satu keyakinan apa pun, tapi Anda lantas mengatakan bahwa FPI harus dibubarkan. Bukankah apa yang dilakukan FPI itu juga bentuk dari pelaksanaan keyakinan mereka, Cak?”
Cak Mat : Wah.. bukan begitu cara berpikirnya….
Reporter : Baru-baru ini, wartawan kami menerima kabar bahwa massa Anda menjadi beringas, lalu mereka mengepung dan hendak menangkapi anggota FPI yang ada di daerah. Menurut Anda?
Cak Mat : Ya biarkan saja. Wajar saja.
Reporter : Jadi Anda tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan FPI dan setuju kalau massa Anda melakukan kekerasan terhadap FPI?
Cak Mat : Lho.. bukan begitu. Itu kan baru katanya… Wah, kelihatannya sampeyan ini pro sama FPI ya. Kok malah menyudutkan saya. Say a kasih tahu ya, pokoke Cuma ada satu jalan, agar kehidupan beragama mau rukun, yakni FPI harus bubar.
Reporter : Bagaimana kalau FPI berkeyakinan bahwa kerukunan beragama baru akan terwujud kalau Ahmadiyah dilarang dan dibubarkan?
Cak Mat : Itu keyakinan mereka. Biarkan saja.
Reporter : Jadi menurut Anda, FPI dibiarkan saja atau dibubarkan?
Cak Mat : Anda memelintir omongan saya.
(Reporter menghentikan wawancara sejenak, karena Cak Mat Aphi mulai tersengal-sengal napasnya).
Dan curcol si Mbah terus berlanjut, dari mulai larangan merokok, kebiasaan ibu-ibu setiap menjelang Ramadan yang berlawanan dengan makna Ramadan, pornografi yang mengatasnamakan seni (kebebasan berekspresi atau kebebasan berereksi?), racun hedonis, gejala ikut-ikutan di masyarakat, makanan-makanan yang merusak,korupsi kecil-kecilan yang berujung pada kebiasaan korupsi, pokoke wis jan buku ini komplit pliiiit…..

Perenungan-perenungan yang terkumpul di dalamnya, dibalut dengan humor-humor segar di Mbah, yang dituturkan dengan bahasa Jawa sehari-hari. Memang banyak selipan-selipan bahasa Jawanya, tapi ada footnote di bawahnya. Dan tidak sulit untuk memahaminya. Saya kutipkan lagi, sebagian dialognya.

Sore itu, Mbokde Limbuk dan Yu Cangik kedatangan tamu wedok (perempuan) yang sedang nangis membik-membik (sesegukan). Setelah ditanya, ternyata tamunya itu seorang artis dan sutradara terkenal yang bernama Roro Bodhongwati, dan biasa dipanggil Rowati.
Cangik : Ada apa tho Nduk, kok pakai acara nangis segala?
Rowati : Oalah Mbokdhe, pilem saya disensor dan dipotongi abis-abisan sama Basopil (Badan Sensor Pilem). Padahal itu karya masterpis saya lho…
Limbuk : Ha mbok sing sabar…
Rowati : Sabar gimana…? Ini namanya pemasungan kebebasan berekspresi. Mbikin pilem yang kayak punya saya itu susah lho. Apalagi itu pilem yang saya bintangi sekaligus saya sutradarai sendiri….
Cangik : Lha memangnya kenapa kok banyak dipotong adegannya?
Rowati : Ha embuh tuh si Basopil itu… Ada adegan bagus yang jarang ditemui di dunia sinematografi dipotongi abis-abisan. Itu adegan di mana saya lagi meking lop sama lawan main saya.
Limb : Sik… sik.. sik.. ha kok adegan making lop itu gimana maksudnya? Saya gak mudeng boso Londo lho Yu…
Rowati : Itu adegan sangat artistic, menentukan keseluruhan isi pilem. Saya sudah susah payah mengekspresikan gimana tho wajah orang orgasme itu.. Lha sudah saya bela-belain main setengah telanjang lho… malah dipotong… halah.
CangIK : Yu, sampeyan kenal sama si Dyah Ayu Nyah Nyohwati?
Rowati : Sapa tho itu?
Cangik : Itu lho, pekerja seks yang bekerja di Sanggar Bakenthon. Lha dia itu jelas-jelas pekerja seks, propesinya dianggap memalukan, tapi setahu mbokdhe, dia itu kalo lagi mau nglayani tamunya pasti nyari tempat yang tersembunyi. Entah pesan kamar, atau ndelik di bawah pohon sawo kecik itu. Lha sampeyan yang katanya propesinya terhormat kok malah meking lop pengin dipenthelengi wong sak jagad abuh (dipelototi orang sedunia). Mbokdhe gak habis pikir….”
Dan banyak lagi sindiran-sindiran di Mbah kepada rakyat Genthonesia. Bisa jadi buku ini akan membuat Anda tertawa terbahak-bahak, atau hanya senyum-senyum sambil mikir. Syukur-syukur yang merasa tersindir jadi nyadar. Meski ada saja beberapa humor yang tidak humoris, alias justru bikin kita merenung dalam dan susah tertawa saking nendangnya. Kasus-kasus yang diangkat memang sudah lama terjadi, tetapi sampai sekarang pun masih terulang kasus yang sama, sebelum rakyat republic genthonesia itu benar-benar sadar, buku ini rasanya masih up to date.

Curcol si Mbah juga bisa langsung dinikmati di blognya, www.pitutur.net, tetapi belum tentu apa yang diceritakan di buku ini masih ada di blognya. Biasanya kan kalau sudah jadi buku, yang di blog pun dihapus. Mari merenung sambil tertawa, alih-alih menangis, bersama Mbah Dipo yang sehari-hari dokter umum ini… (kayak apa ya pasiennya kalau dokternya konyol begini? Yang pasti, gak bakal bisa minta kwitansi bohong-bohongan dengan niat korupsi kecil-kecilan, karena kentut sekedik (sedikit) saja namanya sudah kentut).

2 comments:

  1. waa kayaknya aku harus bacaaa... :O

    ReplyDelete
  2. dlu pernah baca bukunya baca blognya, gentian pas lagi butuh nyari blognya lupa apa alamatnya,, akhirnya nemu di sini.. makasih infonya mb..

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....