Wednesday, January 11, 2012

Renungan: Cinta Sejati Tak Menuntut

Suatu hari, si bibi tidak masuk kerja. Kami belum bertukar nomor handphone, jadi dia tidak bisa memberitahuku alasan tidak masuk kerjanya, aku pun tidak dapat meneleponnya untuk mencaritahu. Sejak tiga bulan yang lalu, aku memang memakai pembantu rumah tangga yang pulang pergi, karena susahnya mencari pembantu yang menginap. Pembantu yang pulang pergi ini juga system kerjanya seselesainya. Jadi, kalau semua pekerjaannya sudah selesai, ya dia pulang. Biasanya, tengah hari sudah pulang. Meskipun begitu, aku cukup terbantu. Daripada semua pekerjaan kupegang sendiri. Mengasuh dua batitaku yang sedang aktif2nya saja sudah mati-matian.



Esok harinya, si bibi bekerja seperti biasanya. Alhamdulillah… sehari saja dia tidak datang, rasanya geemanaa.. gitu. Maklum, anak2ku tidak bisa lihat mamanya sibuk sedikit. Pasti digangguin. Mamanya hanya boleh menemani bermain saja, tidak boleh sibuk yang lain. Si bibi pun meminta maaf, karena kemarin tidak masuk. Suaminya sakit dari tengah malam, tidak bangun2. Entah apa penyebabnya. Sebagai orang kampung, dia percaya suaminya sakit akibat kemasukan setan setelah seharian mencari rumput.

“Yang namanya orang sudah pernah ditinggal suami, jadinya saya deg-deggan. Takut suami saya diambil lagi. Saya nggak ninggalin dia sedikit pun. Pas udah ada yang gantian jagain, baru deh saya nyari orang pinter buat nyembuhin….” Begitu cerita si bibi. Jadi, semalaman itu si bibi tidak tidur dan hanya menemani suaminya. Pagi harinya, dia mencari orang pintar untuk menyembuhkan suaminya. Syukur, siang hari, suaminya sudah bisa bangun. Terlepas benar atau tidaknya pengobatan si orang pinter, saya mau bercerita dari sisi yang lain.

Si bibi layaknya perempuan kampung lain, menikah di usia muda, 18 tahun. Usia pernikahannya hanya berjalan setahun, lalu dia menikah lagi. Suami keduanya seorang duda anak empat. Jadi, setelah menikah, dia langsung punya 4 anak. Sekarang, usia si bibi baru 35 tahun. Sebenarnya masih muda, tapi wajahnya terlihat lebih tua. Mungkin karena selalu bekerja keras dari mudanya sebagai pembantu rumah tangga. Si bibi dikaruniai 3 anak dari suami pertamanya. Dua tahun yang lalu, suaminya meninggal karena sakit. Dan empat bulan sebelum bekerja di rumah saya, si bibi menikah lagi dengan seorang duda anak empat.

Suami ketiganya ini ternyata adik iparnya sendiri. Tapi si adik ipar lebih dulu menduda karena istrinya (yang tidak lain adik si bibi) meninggal. Saya pikir karena adik ipar, suaminya yang sekarang tentu lebih muda usianya dari si bibi. Ternyata sebaliknya. Suaminya jauh lebih tua, bahkan bisa dibilang sudah kakek2 karena sudah punya beberapa cucu. Pekerjaan suaminya menggembalakan domba dan serabutan, misalnya menggali sumur, menggarap kebun, membersihkan pekarangan rumah orang, dll. Pekerjaan seperti itu, penghasilannya tidak menentu. Kadang ada, kadang tidak.

Si bibi dan suaminya menikah untuk menghindari fitnah. Karena rumah mereka berdekatan dan sama-sama sudah menjanda dan menduda, tetangga2 sering menyuruh mereka untuk menikah saja. Itulah alasan paling sederhana untuk menikah, tetapi penting.

Saya terharu ketika mendengar ucapan tulus si bibi yang menyiratkan perasaan cintanya yang mendalam terhadap suaminya. Ya, dia begitu takut kehilangan suaminya. Ketika suaminya sakit, dia setia menjaga suaminya. Padahal, apalah suaminya itu, secara suaminya sudah kakek2 dan tidak punya penghasilan tetap. Saya jadi malu sendiri. Belum tentu saya bisa seperti itu kalau suami saya tidak punya sesuatu y ang bisa dibanggakan. Saya sering menuntut banyak hal kepada suami saya.

Rasulullah pun pernah bersabda, bahwa salah satu penyebab seorang istri tidak dapat masuk surga adalah tidak bersyukur terhadap suaminya. Tidak pernah mengingat kebaikan suaminya. Tetapi manakala suaminya berbuat salah, sang istri akan berkata, “kamu memang tidak pernah berbuat baik terhadapku!”

Begitu juga, tidak jarang suami2 yang tidak mensyukuri istrinya. Kekurangan istrinya dicari-cari dan disbanding-bandingkan dg wanita2 lain di luar rumah. Bahkan kita secara tidak sadar telah menuntut banyak hal dari calon suami atau istri kita jauh sebelum kita menikah dengannya. Apakah itu? Ya, kita menetapkan kriteria setinggi langit dan bintang terhadap calon pasangan hidup kita, bahkan hal2 sepele pun kita permasalahkan. Hal2 yang umum misalnya, pekerjaan tetap (kalau bisa harus PNS atau pegawai BUMN biar masa tua terjamin), fisik menarik (kalau bisa mirip artis kesayangan), keturunan baik-baik dan terhormat (apalagi kalau darah biru), pendidikan tinggi (professor lebih diutamakan), dsb. Sedangkan kriteria yang aneh-aneh, tidak luput jadi perhatian. Pernah ada seorang laki-laki yang menginginkan calon istrinya berambut keriting. So what kalo rambut keriting? Memangnya penting?
Itu baru mau nikah, setelah nikah, tidak sedikit tuntutan yang kita ajukan kepada pasangan hidup kita. Tidak jarang, sikap saling menuntut itu membuat hubungan pernikahan menjadi renggang dan akhirnya berpisah. Memang, Rasulullah menyunahkan 4 hal yang menjadi syarat pemilihan calon suami atau istri: fisik, keturunan, kekayaan, dan kesalihan. Tapi, yang paling utama adalah kesalihannya. Itu saja sebenarnya sudah cukup untuk menjadi ukuran pemilihan calon suami atau istri.

Ketika suami atau istri kita tidak cantik lagi…cinta kita diuji…. Ketika suami atau istri kita yang semula kaya (atau keturunan orang kaya), tiba2 jatuh miskin, cinta kita diuji… ketika suami atau istri kita yang semula anak pejabat, tiba2 orang tuanya dipenjara karena korupsi, cinta kita diuji…. Apakah kita akan bertahan dengan suami atau istri kita ketika musibah mengambil semua kelebihannya yang semula menjadi ukuran kita dalam memilihnya?
Saya jadi teringat seorang saudara jauh yang sudah lama menikah dan tidak dikaruniai anak. Lalu, suaminya terkena stroke dan tidak bisa melakukan apa pun tanpa bantuan istrinya. Suaminya kembali menjadi seperti bayi, tapi bayi tua…. Berjalan tidak bisa, bicara tidak bisa, seperti mayat hidup saja. Tapi, istrinya tetap setia merawat sang suami (bahkan tidak bisa pergi ke mana2 karena harus menjaga suaminya), sampai suaminya meninggal dunia. Mampukah saya seperti dia ketika musibah melanda rumah tangga saya? Insya Allah….

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....