Wednesday, January 11, 2012

Renungan: Bahagianya Menjadi Ibu

Beruntung aku menemukan buku ini di hari menjelang hari ibu. Inilah buku inspiratif mengenai perjuangan seorang wanita untuk menjadi ibu. Membuatku mensyukuri karunia Allah yang telah mempercayakanku untuk menyandang gelar terhormat itu. Ya, menjadi ibu adalah anugerah yang terindah bagi wanita mana pun. Sebab, kata Rasulullah, posisi ibu bagi seorang anak, tiga tingkat lebih tinggi daripada ayah. Siapa yang lebih dulu dipenuhi panggilannya di antara kedua orang tuamu? IBU. Lalu, siapa lagi? IBU. Kemudian, siapa lagi? IBU. Terakhir, baru AYAH.


Peggy, nama wanita itu, adalah seorang wanita karier yang sukses sebagai seorang penulis dan jurnalis. Pemikirannya cenderung feminis, sampai-sampai dia berniat tidak akan mau mempunyai anak. Anak-anak baginya hanya akan menjadi beban. Dia menikah dengan seorang sineas film Hollywood, berusia 10 tahun lebih tua darinya yang juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Pasangan itu sepakat untuk tidak memiliki anak. Peggy meminum pil KB agar tidak punya anak.

Lalu, di usia 33, tiba-tiba dia berpikir untuk memiliki anak. Itu karena dia melihat semua teman-temannya telah memiliki anak dan keluar dari pekerjaan mereka. Padahal, teman-temannya juga wanita-wanita karier yang sukses. Peggy tidak habis pikir. Mengapa wanita-wanita yang cerdas dan sukses dalam karier itu mau mengorbankan kariernya demi anak-anak dan menjadi ibu? Bahkan, setiap kali dia berbicara dengan teman-temannya, tema pembicaraan mereka pun telah berbeda. Ibu-ibu itu hanya membicarakan soal anak-anak, antar jemput anak ke sekolah, tugas sekolah anak-anak, mau masak apa hari ini, dan semua tema pembicaraan remeh temeh yang menurut Peggy; TIDAK ADA ISINYA.

Di mana pikiran cerdas merekaaa??? Mengapa semua isi pembicaran itu hanya soal anak, anak, anak? Tapi, justru karena hal itulah Peggy jadi ingin memiliki anak, meski hatinya masih ragu. Dia takut karier menulisnya akan terhambat kalau ada anak. Meskipun begitu, dia sepakat untuk berhenti minum pil KB dan mulai merencanakan untuk mempunyai anak.

Tak disangka, ternyata dia divonis menderita kanker payudara. Yap, kanker itu mungkin akibat konsumsi pil KB berlebihan. Dia pun harus menunda punya anak sampai dua tahun ke depan, guna penyembuhan penyakit kankernya. Pengobatan kanker membuatnya harus merelakan satu indung telurnya diangkat. Jadi, kini, dia hanya punya satu indung telur.

Di sinilah perjuangan Peggy untuk mempunyai anak dimulai. Mula-mula, dia harus menunggu sampai penyakitnya sembuh. Lalu, dia harus berusaha mati-matian untuk punya anak dengan hanya satu indung telur. Terlebih lagi, dia baru boleh hamil di usia 35 tahun, usia yang amat rawan bagi seorang wanita. Dia melakukan segenap cara untuk punya anak. Tes kesuburan, minum obat penyubur, dan sebagainya yang memakan biaya tidak sedikit dan tentunya ekstra pikiran dan tenaga.

Dia pun menyesali, mengapa tidak dari dulu saja dia mempunyai anak? Dia bertemu dengan mantan pacarnya waktu SMA yang telah memiliki 15 anak! Dia tinggal beberapa hari di rumah mantan pacarnya dan berinteraksi lebih dekat dengan istri mantan pacarnya, Beth. Dia melihat Beth begitu bahagia menjalani perannya sebagai ibu dengan 15 anak. Tidak ada keluhan dari mulut Beth. Justru Beth mengatakan: “Kelihatannya aku ini repot, tapi sebenarnya tidak. Semua anak mendapat tugas masing-masing. Anak-anak yang besar, mengasuh anak-anak yang kecil.”
Peggy iri dengan Beth, karena Beth telah menjadi wanita yang sempurna. Beth memiliki banyak anak, tapi juga memiliki karier, meskipun hanya sebagai kepala sekolah sebuah TK yang gajinya justru lebih kecil daripada gaji pembantu rumah tangga Beth. Tapi paling tidak, Beth telah memiliki segalanya. Suami yang baik, anak-anak, dan karier. Beth dapat mengatur semuanya dengan baik.

Peggy juga melihat, Larry tidak terbebani dengan jumlah anak-anaknya yang banyak. Bahkan agar mudah memanggil nama anak-anaknya dan urutan ke berapa anak-anak itu, setiap anak memakai kaus bertulisan nama dan urutan kelahirannya. Larry bahkan tidak canggung melakukan tugas rumah tangga, tidak bergantung kepada Beth dalam urusan makan, cuci pakaian, dan segalanya. Kalau libur dari tugasnya sebagai Dokter di sebuah rumah sakit, Larry-lah yang membersihkan rumah beserta enam kamar mandi di rumah itu.

Dan inilah kata Larry mengenai hidupnya, “Orang yang tak punya anak mengira ini sebuah kekacauan. Tapi ini lebih teratur dari yang kaukira. Memberi pakaian atau makanan untuk dua atau tiga anak itu berat, tidak pernah berhenti. Namun, di satu sisi kami lebih memiliki kebebasan, sebab anak-anak yang lebih besar dapat membantu mengganti popok dan menggendong bayi. Kami mendapatkan lebih banyak bantuan daripada orang lain.”

Peggy mengalami kegugurannya yang pertama. Lalu, dia pindah dokter kandungan. Sampai dia harus mengalami 3 kali keguguran. Di usia yang ke-38, dokter kandungannya menyatakan kemungkinannya untuk punya anak hanya 10%. Dia juga sudah mencoba program bayi tabung yang luar biasa mahal, tapi tidak juga berhasil. Dan akhirnya, di usia yang ke-41, dia mendapatkan seorang bayi perempuan dari rahimnya. Betapa perjuangannya untuk mendapatkan anak begitu berat, mengajarkannya arti dari sebuah karunia Tuhan. Betapa menjadi ibu adalah anugerah yang tidak terkira nilainya.

Setelah membaca buku itu (meskipun belum selesai benar), aku menatap kedua buah hatiku. Alhamdulillah… Allah memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu. Semoga aku tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Subhanallah… indahnya menjadi seorang ibu…. Selamat hari Ibu… Mom….

From the book: Six Years in Waiting (KIsah Nyata Seorang Perempuan Demi Menjadi Ibu), Peggy Orenstein, Hikmah, 2008.


Ditulis menjelang hari ibu, setahun lalu.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....