Fesbuk mempertemukan saya dengan banyak sahabat, salah satunya adalah Aimam Faisal. Ternyata dia sudah banyak melahap novel-novel saya, pantas saja dia sering mengomentari status dan notes saya. Aimam mengaku ingin menjadi penulis juga, bahkan ingin berkarier secara professional di dunia menulis. Dia banyak bertanya segala hal tentang menulis, termasuk royalty.
Dua kali sudah dia melaporkan novel saya yang dijual murah di beberapa toko buku, dengan judul novel yang berbeda. Judul-judul novel yang dia laporkan itu sejujurnya sudah lama tidak memberikan royalti penjualan kepada saya, karena sudah di write off. Alias, sudah dikembalikan kontrak penerbitannya kepada saya. Pertanyaannya, kenapa masih dijual?
Dunia menulis rupanya sudah banyak menarik perhatian banyak orang, tidak hanya orang muda seperti Aimam, tetapi juga ibu rumah tangga, bahkan nenek-nenek. Mereka punya banyak alasan untuk menjadi penulis, tetapi alasan paling memikat adalah mendapatkan honor dan royalti yang fantastic. Mereka ingin kaya dari menulis. Apakah benar menjadi penulis bisa kaya? Jawabannya: BENAR.
Novel pertama saya memenangkan sayembara menulis novel di sebuah penerbit dengan hadiah lomba Rp 4.000.000. Sebagai penulis pemula, saya masih belum mengerti mengenai perbedaan antara hak cipta dan hak terbit. Setelah menang, barulah saya tahu bahwa saya telah terkena jebakan lomba. Novel saya diterbitkan tanpa royalti (hadiah lomba sudah mencakup royalti) dengan jumlah eksemplar tidak terbatas dan hal terbit dimiliki selamanya oleh penerbit. Novel itu menembus angka 10 ribu eksemplar (menurut laporan seorang teman yang “mengintip” laporan penjualan novel itu) dan tidak ada sepeser pun yang masuk ke rekening saya. Hanya sejumlah 4 juta itu. Ketika cetak ulang pertama, saya hanya mendapatkan tambahan 2 eksemplar bukunya. Sampai hari ini, novel itu masih dijual, tapi tidak ada sepeser pun royalti yang masuk ke rekening. Dihitung-hitung sudah 8 tahun berjalan. Cetak ulang berikutnya, saya tidak pernah mendapatkan eksemplar buku lagi. Hilang tanpa kabar.
Dua novel saya di sebuah penerbit, juga menggantung tak jelas royaltinya. Saya hanya menerima Rp 1.000.000 per buku di tahun pertama, selanjutnya tidak ada kabarnya. Tahu-tahu penerbitnya sudah bangkrut. Anehnya, salah satu novel saya itu sempat cetak ulang, tapi royalti yang menurut surat kontrak, diberikan dua kali dalam setahun, nyatanya tidak ada.
Beberapa novel yang telah diwrite off, alias dikembalikan hak terbitnya kepada saya, nyatanya masih dijual di beberapa toko buku. Seharusnya, novel-novel itu ditarik dan diberikan kepada saya, karena saya tidak mendapatkan royaltinya. Kurang jelas juga apakah novel-novel itu sudah dibayar lunas di depan, sehingga royaltinya sudah masuk kepada saya. Saya coba berpikir positif saja.
Ah, rasanya rekan-rekan penulis lain pun memahami adanya “royalti macet.” Tidak sesuai dengan perjanjian di surat kontrak. Seharusnya diberikan 3 bulan sekali, eh ternyata jadi 6 bulan sekali. Bisa jadi, novelnya memang kurang laris, sehingga royaltinya minimum. Ada royalti yang hanya Rp 4.000 (pengalaman kerja di penerbit). Biaya transfernya pun lebih.
Apakah hanya penulis novel yang best seller yang bisa kaya raya dari novelnya? Sejujurnya, jika dikatakan “kaya secara materi,” insya Allah, saya belum merasakannya. Tapi, jika kaya dalam hal lain, insya Allah sudah sebagian. Setidaknya, dengan menulis, saya banyak membaca dan menambah wawasan. Itu juga kaya. Ketika ada pembaca novel saya yang terinspirasi dan tercerahkan usai membaca novel saya, itu juga kaya. Dan… jika tak ada royalti yang masuk ke rekening saya, setidaknya saya sudah bersedekah tulisan. Sebab, saya menulis tanpa dibayar. Bukankah dengan bersedekah, maka akan bertambah pula kekayaan kita? Tentu Allah akan membalasnya, sekalipun bukan dalam bentuk materi.
Itulah mengapa saya tetap ikut lomba-lomba menulis, sekalipun hadiahnya kurang menggiurkan. Atau, ada yang bilang, “peraturan lombanya menguntungkan penyelenggara.” Ah, biar saja. Yang penting saya bisa “berbagi” melalui tulisan saya. Memang, kalau sudah masuk ranah bisnis, semua serba diperhitungkan. Jangan begitu, sebab Allah juga tidak menghitung-hitung ketika memberikan nikmat kepada kita.
So, menulislah, maka engkau KAYA.
NB: Catatan tahun lalu, dipublish di fesbuk.
Setuju...
ReplyDeletesemoga bisa memperbaiki minat baca bangsa ini.
Aamin
DeleteAssalamualaikum mba.... Sekarang mungkin timing nya ada di saya . Yang sedang galau untuk memutuskan teruskan pekerjaan or menjadi full time mother untuk anak saya. Entah sampai kapan saya bisa memantapkan diri untuk mengambil keputusan itu. Semoga allah SWT memberikan kemantapan hati dan keberkahan nya buat saya dan keluarga amin ya rabbal alamin .....😊
ReplyDeleteAssalamualaikum mba.... Sekarang mungkin timing nya ada di saya . Yang sedang galau untuk memutuskan teruskan pekerjaan or menjadi full time mother untuk anak saya. Entah sampai kapan saya bisa memantapkan diri untuk mengambil keputusan itu. Semoga allah SWT memberikan kemantapan hati dan keberkahan nya buat saya dan keluarga amin ya rabbal alamin .....😊
ReplyDeleteWaalaikumsalam, Mbak Diana. Ditimbang-timbang saja manfaat & mudharatnya. Kalau lebih banyak manfaatnya mba Diana terus bekerja, ya bekerja saja. Semoga Allah berikan jalan keluar & ketenangan. Aamiin.
Delete