Wednesday, January 11, 2012

Motivasi Menulis: Menulis Membuatku Mampu Berbicara

Menurut cerita tante-tanteku., sebenarnya waktu kecil aku termasuk anak perempuan yang cerewet. Semua orang suka mendengar ocehanku, karena orang-orang dewasa memang senang dengan balita yang banyak bicara. Lucuuu…. Aku kecil juga suka bernyanyi di atas meja, dan semua orang bertepuk tangan mendengarnya. Ya, itulah aku… mungkin ketika umurku di bawah lima tahun.



Entah kenapa, sekarang aku menjadi pribadi yang berbeda. Meskipun sudah lebih baik ketimbang belasan tahun yang lalu, aku masih seorang yang tidak banyak bicara di hadapan orang banyak. Kalau di antara teman ngerumpi sih… tetap saja cerewet. Tapi kalau diundang jadi pembicara talkshow kepenulisan atau pernikahan, aku tidak sepiawai public figure lainnya, jiaaah… berasa public figure…. Maksudnya, aku masih sering dilanda kegugupan dan kegagapan dalam berbicara di hadapan orang banyak. Sehingga apa yang sebenarnya ingin kusampaikan, malah hanya tersangkut di tenggorokan. Mengapa aku tidak seberani sewaktu masih balita????
Kupikir-pikir, mungkin akibatnya adalah trauma masa kecil. Ya, aku punya pengalaman buruk waktu duduk di bangku SD. Ketika melihat video curhat Marshanda yang mengecam teman-teman SD-nya, aku sempat merasa… wah… aku juga punya dendam kepada teman-teman SD-ku. Bukan itu saja, aku juga dendam kepada guru-guru SD-ku.

Saat kelas 1 SD, aku masih pandai berbicara, sehingga aku ditunjuk menjadi ketua kelas. Bayangkan, ketua kelas perempuan! Tapi, itu tidak berlangsung lama. Tidak tahu kenapa, wali kelasku begitu bencinya kepadaku. Padahal, dia seorang perempuan dan seorang ibu pula. Usia anak sulungnya pun seusiaku dan satu kelas denganku. Aneh bin ajaib, dia suka menghukumku. Katanya, aku nakal dan suka berbuat onar. Yaah… kelas anak kelas satu SD, mana ngerti ya??? Katanya juga, aku bodoh. Wajarlah aku bodoh. Aku tidak pernah duduk di bangku TK. Jadi, waktu masuk SD benar-benar blank. Banyak anak yang sudah pandai membaca, aku harus belajar dari awal.

Aku sering dicubit di paha. Almarhumah mamaku terkejut melihat pahaku biru-biru ketika memakaikan bajuku. Namanya juga baru kelas satu, jadi aku masih dimandikan dan dipakaikan baju sama Mama. Mama marah, tapi sepertinya tidak marah ke ibu guru itu. Maklum, mamahku itu orang yang sangat lemah lembut, jadi kemarahannya hanya disimpan. Mama justru bilang ke ibu guru itu, kalau aku memang bodoh, aku tidak usah dinaikkan ke kelas dua. Daripada bikin susah. Eh, ibu guru itu malah meyakinkan Mamah, bahwa aku bisa naik kelas dan menyesuaikan diri. Walah… walah….

Itulah dendam pertamaku kepada seorang guru. Semoga bisa jadi introspeksi buat guru-guru yang membaca notesku ini. Aku juga dendam pada wali kelas 6 SD-ku. Kali ini guru laki-laki. Dia pernah menghukumku berdiri di depan kelas dengan satu kaki dan sambil menjewer telinga. Lalu, dia mempersilakan teman-teman sekelas untuk mengejek dan menyorakiku. Pedihnya hatiku… tapi aku tidak menangis. Meskipun setelah hukuman itu selesai, dia belum puas juga. Dia menampar, mencubit, dan menjambakku. Busyet dahh… anak orang juga lo seenaknya aja….

Dan begitulah. Aku pun mendendam kepada semua teman SD-ku, karena mereka sok pintar dan sok kaya. Mereka tidak mau berteman denganku. Aku selalu dijadikan anak buncit di kelas. Padahal, meskipun tidak masuk TK dan harus mengejar ketertinggalan, aku bisa meraih lima besar di kelas. Tadinya aku rangking 32 dari 33 anak, hahahaha….. Itu terjadi sejak kelas 3 SD. Tapi, tetap saja tidak ada yang mau berteman denganku. Syukurlah, aku masih punya satu orang yang mau berteman denganku. Dia juga ada di facebook ini. Namanya Imma Hijriyani. Dialah satu-satunya teman SD-ku. Ke mana-mana kami selalu berdua. Meskipun terkadang bertengkar, namanya juga anak-anak. Tapi sampai kelas 6 SD, kami selalu bersama. Thanks, Imm…..

Semua kekerasan yang kualami di masa kecil, mengubah kepribadianku yang semula banyak bicara menjadi pendiam. Semua berjalan begitu saja. Aku pun tidak menyadarinya. Hanya saja Mama sering memergokiku berbicara sendiri di dalam kamar. Kadang di tempat tidur, kadang di depan cermin. Itu terjadi sampai di bangku kuliah. Kata suamiku, kadang-kadang aku suka bicara sendirian, tapi kok aku gak merasa ya? Kayaknya penyakit itu sudah hilang, heheheh….. Mungkin itu akibat mulutku terkunci selama di luar rumah.

Lalu, kelas 1 SMP, lagi-lagi aku hanya punya satu sahabat, namanya Anita. Nah, dia inilah yang memperkenalkanku dengan buku harian alias diary. Dia suka menulis diary. Aku mengikutinya. Eh, ternyata malah aku yang rajin menulis diary. Ternyata asyik juga curhat di buku harian. Tentunya saat ini lebih mudah lagi untuk curhat. Tinggal tulis aja di FB, nanti banyak yang komentar. Seruu kaaan….

Anita juga yang menginspirasiku untuk menulis cerita. Dia menulis di buku tulis, aku mengikutinya. Lagi-lagi, justru aku yang paling banyak menulis cerita. Sehingga, harap maklum, kalau banyak cerpen atau novelku yang based on the true story. Alias, pengalamanku sendiri atau orang-orang di sekitarku. Karena dengan menulis itulah, aku sedang berbicara. Menulis membuatku mampu berbicara dengan lancar dan cerewet, seperti ketika masih kecil dulu. Adikku saja sampai terkagum-kagum melihat kecepatan mengetikku, yah… secepat mulut orang cerewet yang sedang berbicara, hehehehe….

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....