Judul: Republik Genthonesia: Maju Perut Pantat Mundur
Penulis: Mbah Dipo
Penerbit: Pro You (Pro U Media)
Harga: Rp 30.000
Friday, January 13, 2012
Wednesday, January 11, 2012
Resensi Buku: JEAN SOFIA (4)
Terinspirasi dengan maraknya pernikahan beda agama para selebritis tanah air?????
Mmmm….jangan buru-buru kawan, kamu kudu baca yang satu ini;
Judul buku : JEAN SOFIA
Penulis : Leyla hana
Cetakan : September 2011
Penerbit : Laksana (Diva Press)
Membacanya, tidak lantas membuat stok air mataku berkurang, tidak sama sekali TIDAK….
Renungan: Peringatan Untuk Para Ibu
Sebenarnya tidak mudah bagi saya untuk menuliskan ini. Rasanya berat dan perih. Namun, saya memberanikan diri untuk menulisnya, sebagai pelajaran bagi saya dan ibu-ibu lain. Baru saja saya mendengar cerita mengenaskan dari suami saya. Seorang tukang ojek di sekitar perumahan tempat kami tinggal, memperkosa seorang gadis kelas 3 SD! Astaghfirullahaladzim….
Motivasi Menulis: Menulis Membuatku Mampu Berbicara
Menurut cerita tante-tanteku., sebenarnya waktu kecil aku termasuk anak perempuan yang cerewet. Semua orang suka mendengar ocehanku, karena orang-orang dewasa memang senang dengan balita yang banyak bicara. Lucuuu…. Aku kecil juga suka bernyanyi di atas meja, dan semua orang bertepuk tangan mendengarnya. Ya, itulah aku… mungkin ketika umurku di bawah lima tahun.
Motivasi Menulis: Royalti-Royaltiku
Penasaran berapa jumlah honor dan royalty yang diterima penulis? Aku kasih bocorannya, deh…. Memang, bukuku belum ada yang bisa menghasilkan royalty miliaran rupiah seperti Ayat-Ayat Cinta, tapi lumayanlah buat seorang penulis pemula.
Renungan: Cinta Sejati Tak Menuntut
Suatu hari, si bibi tidak masuk kerja. Kami belum bertukar nomor handphone, jadi dia tidak bisa memberitahuku alasan tidak masuk kerjanya, aku pun tidak dapat meneleponnya untuk mencaritahu. Sejak tiga bulan yang lalu, aku memang memakai pembantu rumah tangga yang pulang pergi, karena susahnya mencari pembantu yang menginap. Pembantu yang pulang pergi ini juga system kerjanya seselesainya. Jadi, kalau semua pekerjaannya sudah selesai, ya dia pulang. Biasanya, tengah hari sudah pulang. Meskipun begitu, aku cukup terbantu. Daripada semua pekerjaan kupegang sendiri. Mengasuh dua batitaku yang sedang aktif2nya saja sudah mati-matian.
Renungan: Bahagianya Menjadi Ibu
Beruntung aku menemukan buku ini di hari menjelang hari ibu. Inilah buku inspiratif mengenai perjuangan seorang wanita untuk menjadi ibu. Membuatku mensyukuri karunia Allah yang telah mempercayakanku untuk menyandang gelar terhormat itu. Ya, menjadi ibu adalah anugerah yang terindah bagi wanita mana pun. Sebab, kata Rasulullah, posisi ibu bagi seorang anak, tiga tingkat lebih tinggi daripada ayah. Siapa yang lebih dulu dipenuhi panggilannya di antara kedua orang tuamu? IBU. Lalu, siapa lagi? IBU. Kemudian, siapa lagi? IBU. Terakhir, baru AYAH.
Peggy, nama wanita itu, adalah seorang wanita karier yang sukses sebagai seorang penulis dan jurnalis. Pemikirannya cenderung feminis, sampai-sampai dia berniat tidak akan mau mempunyai anak. Anak-anak baginya hanya akan menjadi beban. Dia menikah dengan seorang sineas film Hollywood, berusia 10 tahun lebih tua darinya yang juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Pasangan itu sepakat untuk tidak memiliki anak. Peggy meminum pil KB agar tidak punya anak.
Lalu, di usia 33, tiba-tiba dia berpikir untuk memiliki anak. Itu karena dia melihat semua teman-temannya telah memiliki anak dan keluar dari pekerjaan mereka. Padahal, teman-temannya juga wanita-wanita karier yang sukses. Peggy tidak habis pikir. Mengapa wanita-wanita yang cerdas dan sukses dalam karier itu mau mengorbankan kariernya demi anak-anak dan menjadi ibu? Bahkan, setiap kali dia berbicara dengan teman-temannya, tema pembicaraan mereka pun telah berbeda. Ibu-ibu itu hanya membicarakan soal anak-anak, antar jemput anak ke sekolah, tugas sekolah anak-anak, mau masak apa hari ini, dan semua tema pembicaraan remeh temeh yang menurut Peggy; TIDAK ADA ISINYA.
Di mana pikiran cerdas merekaaa??? Mengapa semua isi pembicaran itu hanya soal anak, anak, anak? Tapi, justru karena hal itulah Peggy jadi ingin memiliki anak, meski hatinya masih ragu. Dia takut karier menulisnya akan terhambat kalau ada anak. Meskipun begitu, dia sepakat untuk berhenti minum pil KB dan mulai merencanakan untuk mempunyai anak.
Tak disangka, ternyata dia divonis menderita kanker payudara. Yap, kanker itu mungkin akibat konsumsi pil KB berlebihan. Dia pun harus menunda punya anak sampai dua tahun ke depan, guna penyembuhan penyakit kankernya. Pengobatan kanker membuatnya harus merelakan satu indung telurnya diangkat. Jadi, kini, dia hanya punya satu indung telur.
Di sinilah perjuangan Peggy untuk mempunyai anak dimulai. Mula-mula, dia harus menunggu sampai penyakitnya sembuh. Lalu, dia harus berusaha mati-matian untuk punya anak dengan hanya satu indung telur. Terlebih lagi, dia baru boleh hamil di usia 35 tahun, usia yang amat rawan bagi seorang wanita. Dia melakukan segenap cara untuk punya anak. Tes kesuburan, minum obat penyubur, dan sebagainya yang memakan biaya tidak sedikit dan tentunya ekstra pikiran dan tenaga.
Dia pun menyesali, mengapa tidak dari dulu saja dia mempunyai anak? Dia bertemu dengan mantan pacarnya waktu SMA yang telah memiliki 15 anak! Dia tinggal beberapa hari di rumah mantan pacarnya dan berinteraksi lebih dekat dengan istri mantan pacarnya, Beth. Dia melihat Beth begitu bahagia menjalani perannya sebagai ibu dengan 15 anak. Tidak ada keluhan dari mulut Beth. Justru Beth mengatakan: “Kelihatannya aku ini repot, tapi sebenarnya tidak. Semua anak mendapat tugas masing-masing. Anak-anak yang besar, mengasuh anak-anak yang kecil.”
Peggy iri dengan Beth, karena Beth telah menjadi wanita yang sempurna. Beth memiliki banyak anak, tapi juga memiliki karier, meskipun hanya sebagai kepala sekolah sebuah TK yang gajinya justru lebih kecil daripada gaji pembantu rumah tangga Beth. Tapi paling tidak, Beth telah memiliki segalanya. Suami yang baik, anak-anak, dan karier. Beth dapat mengatur semuanya dengan baik.
Peggy juga melihat, Larry tidak terbebani dengan jumlah anak-anaknya yang banyak. Bahkan agar mudah memanggil nama anak-anaknya dan urutan ke berapa anak-anak itu, setiap anak memakai kaus bertulisan nama dan urutan kelahirannya. Larry bahkan tidak canggung melakukan tugas rumah tangga, tidak bergantung kepada Beth dalam urusan makan, cuci pakaian, dan segalanya. Kalau libur dari tugasnya sebagai Dokter di sebuah rumah sakit, Larry-lah yang membersihkan rumah beserta enam kamar mandi di rumah itu.
Dan inilah kata Larry mengenai hidupnya, “Orang yang tak punya anak mengira ini sebuah kekacauan. Tapi ini lebih teratur dari yang kaukira. Memberi pakaian atau makanan untuk dua atau tiga anak itu berat, tidak pernah berhenti. Namun, di satu sisi kami lebih memiliki kebebasan, sebab anak-anak yang lebih besar dapat membantu mengganti popok dan menggendong bayi. Kami mendapatkan lebih banyak bantuan daripada orang lain.”
Peggy mengalami kegugurannya yang pertama. Lalu, dia pindah dokter kandungan. Sampai dia harus mengalami 3 kali keguguran. Di usia yang ke-38, dokter kandungannya menyatakan kemungkinannya untuk punya anak hanya 10%. Dia juga sudah mencoba program bayi tabung yang luar biasa mahal, tapi tidak juga berhasil. Dan akhirnya, di usia yang ke-41, dia mendapatkan seorang bayi perempuan dari rahimnya. Betapa perjuangannya untuk mendapatkan anak begitu berat, mengajarkannya arti dari sebuah karunia Tuhan. Betapa menjadi ibu adalah anugerah yang tidak terkira nilainya.
Setelah membaca buku itu (meskipun belum selesai benar), aku menatap kedua buah hatiku. Alhamdulillah… Allah memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu. Semoga aku tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Subhanallah… indahnya menjadi seorang ibu…. Selamat hari Ibu… Mom….
From the book: Six Years in Waiting (KIsah Nyata Seorang Perempuan Demi Menjadi Ibu), Peggy Orenstein, Hikmah, 2008.
Ditulis menjelang hari ibu, setahun lalu.
Peggy, nama wanita itu, adalah seorang wanita karier yang sukses sebagai seorang penulis dan jurnalis. Pemikirannya cenderung feminis, sampai-sampai dia berniat tidak akan mau mempunyai anak. Anak-anak baginya hanya akan menjadi beban. Dia menikah dengan seorang sineas film Hollywood, berusia 10 tahun lebih tua darinya yang juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Pasangan itu sepakat untuk tidak memiliki anak. Peggy meminum pil KB agar tidak punya anak.
Lalu, di usia 33, tiba-tiba dia berpikir untuk memiliki anak. Itu karena dia melihat semua teman-temannya telah memiliki anak dan keluar dari pekerjaan mereka. Padahal, teman-temannya juga wanita-wanita karier yang sukses. Peggy tidak habis pikir. Mengapa wanita-wanita yang cerdas dan sukses dalam karier itu mau mengorbankan kariernya demi anak-anak dan menjadi ibu? Bahkan, setiap kali dia berbicara dengan teman-temannya, tema pembicaraan mereka pun telah berbeda. Ibu-ibu itu hanya membicarakan soal anak-anak, antar jemput anak ke sekolah, tugas sekolah anak-anak, mau masak apa hari ini, dan semua tema pembicaraan remeh temeh yang menurut Peggy; TIDAK ADA ISINYA.
Di mana pikiran cerdas merekaaa??? Mengapa semua isi pembicaran itu hanya soal anak, anak, anak? Tapi, justru karena hal itulah Peggy jadi ingin memiliki anak, meski hatinya masih ragu. Dia takut karier menulisnya akan terhambat kalau ada anak. Meskipun begitu, dia sepakat untuk berhenti minum pil KB dan mulai merencanakan untuk mempunyai anak.
Tak disangka, ternyata dia divonis menderita kanker payudara. Yap, kanker itu mungkin akibat konsumsi pil KB berlebihan. Dia pun harus menunda punya anak sampai dua tahun ke depan, guna penyembuhan penyakit kankernya. Pengobatan kanker membuatnya harus merelakan satu indung telurnya diangkat. Jadi, kini, dia hanya punya satu indung telur.
Di sinilah perjuangan Peggy untuk mempunyai anak dimulai. Mula-mula, dia harus menunggu sampai penyakitnya sembuh. Lalu, dia harus berusaha mati-matian untuk punya anak dengan hanya satu indung telur. Terlebih lagi, dia baru boleh hamil di usia 35 tahun, usia yang amat rawan bagi seorang wanita. Dia melakukan segenap cara untuk punya anak. Tes kesuburan, minum obat penyubur, dan sebagainya yang memakan biaya tidak sedikit dan tentunya ekstra pikiran dan tenaga.
Dia pun menyesali, mengapa tidak dari dulu saja dia mempunyai anak? Dia bertemu dengan mantan pacarnya waktu SMA yang telah memiliki 15 anak! Dia tinggal beberapa hari di rumah mantan pacarnya dan berinteraksi lebih dekat dengan istri mantan pacarnya, Beth. Dia melihat Beth begitu bahagia menjalani perannya sebagai ibu dengan 15 anak. Tidak ada keluhan dari mulut Beth. Justru Beth mengatakan: “Kelihatannya aku ini repot, tapi sebenarnya tidak. Semua anak mendapat tugas masing-masing. Anak-anak yang besar, mengasuh anak-anak yang kecil.”
Peggy iri dengan Beth, karena Beth telah menjadi wanita yang sempurna. Beth memiliki banyak anak, tapi juga memiliki karier, meskipun hanya sebagai kepala sekolah sebuah TK yang gajinya justru lebih kecil daripada gaji pembantu rumah tangga Beth. Tapi paling tidak, Beth telah memiliki segalanya. Suami yang baik, anak-anak, dan karier. Beth dapat mengatur semuanya dengan baik.
Peggy juga melihat, Larry tidak terbebani dengan jumlah anak-anaknya yang banyak. Bahkan agar mudah memanggil nama anak-anaknya dan urutan ke berapa anak-anak itu, setiap anak memakai kaus bertulisan nama dan urutan kelahirannya. Larry bahkan tidak canggung melakukan tugas rumah tangga, tidak bergantung kepada Beth dalam urusan makan, cuci pakaian, dan segalanya. Kalau libur dari tugasnya sebagai Dokter di sebuah rumah sakit, Larry-lah yang membersihkan rumah beserta enam kamar mandi di rumah itu.
Dan inilah kata Larry mengenai hidupnya, “Orang yang tak punya anak mengira ini sebuah kekacauan. Tapi ini lebih teratur dari yang kaukira. Memberi pakaian atau makanan untuk dua atau tiga anak itu berat, tidak pernah berhenti. Namun, di satu sisi kami lebih memiliki kebebasan, sebab anak-anak yang lebih besar dapat membantu mengganti popok dan menggendong bayi. Kami mendapatkan lebih banyak bantuan daripada orang lain.”
Peggy mengalami kegugurannya yang pertama. Lalu, dia pindah dokter kandungan. Sampai dia harus mengalami 3 kali keguguran. Di usia yang ke-38, dokter kandungannya menyatakan kemungkinannya untuk punya anak hanya 10%. Dia juga sudah mencoba program bayi tabung yang luar biasa mahal, tapi tidak juga berhasil. Dan akhirnya, di usia yang ke-41, dia mendapatkan seorang bayi perempuan dari rahimnya. Betapa perjuangannya untuk mendapatkan anak begitu berat, mengajarkannya arti dari sebuah karunia Tuhan. Betapa menjadi ibu adalah anugerah yang tidak terkira nilainya.
Setelah membaca buku itu (meskipun belum selesai benar), aku menatap kedua buah hatiku. Alhamdulillah… Allah memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu. Semoga aku tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Subhanallah… indahnya menjadi seorang ibu…. Selamat hari Ibu… Mom….
From the book: Six Years in Waiting (KIsah Nyata Seorang Perempuan Demi Menjadi Ibu), Peggy Orenstein, Hikmah, 2008.
Ditulis menjelang hari ibu, setahun lalu.
Tips Menulis: Membaca Dulu, Baru Menulis
Bakat menulisku tidak serta merta ada. Tapi yang kuingat, semua dimulai ketika aku suka membaca. Saat SD, Mamah berlangganan dua majalah anak-anak sekaligus, Bobo dan Ananda. Keduanya terbit setiap minggu. Dan keduanya aku baca hanya dalam waktu satu hari.
Aku suka membaca semua yang tertulis, bahkan kertas Koran pembungkus nasi uduk pun suka kubaca. Sampai-sampai Ayah marah karena aku makannya lama. Buku pelajaran yang paling kusukai adalah buku Bahasa Indonesia. Karena di buku itu ada beberapa cerita rakyat. Aku telah membaca isi buku Bahasa Indonesia, sebelum Bu Guru mengajarkannya di depan kelas. Ck… ck… ck….
Renungan: Ketika Pernikahan "merampas" Hidupku
Setelah baca novel Pavillion of Women, karangan Pearl S., Buck, aku jadi tersadarkan sesuatu yang selama ini membebaniku. Ceritanya tentang seorang wanita Cina bernama Madame Wu yang pada ulangtahun ke-40, memutuskan untuk berhenti menjadi istri sepenuhnya bagi suaminya. Dia mencarikan istri baru untuk suaminya, yang akan menggantikan tugas2nya sebagai istri. Madame Wu yang cerdas menginginkan sisa usianya untuk dirinya sendiri, membaca buku, mencari ilmu, dan memuaskan hal2 yang tidak didapatinya sewaktu muda dulu. Dipikirnya, sudah cukup membaktikan diri untuk suami dan anak2nya, sekarang saatnya untuk diri sendiri.
Waah...rupanya pemikiran Madame Wu hampir mirip denganku dan juga mungkin wanita2 lainnya di luar sana. Setelah menikah, memang banyak waktu yang tersita untuk orang lain. Mulanya, untuk suami. Tadinya, pagi2 habis solat subuh, aku bisa malas2an, baca buku, eh sekarang harus bikin sarapan untuk suami dan melakukan semua tugas rumah tangga.Lalu, setelah punya anak, nyaris aku gak punya waktu untuk diri sendiri. Boro2 menulis, membaca buku pun tak sempat. Suwer... aku jadi kangen masa lajangku yang bebas plus masa2 indah ketika berkarier dan punya uang sendiri.
Kembali lagi ke Madame Wu. Setelah dia membebaskan diri dari suaminya dan juga anak2nya, ternyata masalah datang bertubi2 yang mau tidak mau harus turun tangan menanganinya karena cuma dia yang mampu. Dia pun kembali berpikir apakah keputusan untuk mengasingkan diri itu benar? Lalu, dia bertemu dengan Andre, seorang rohaniawan yang menyadarkannya, Bahwa hidup kita sebenarnya untuk orang lain. Andre sendiri membaktikan dirinya untuk orang lain, mengangkat anak2 terlantar menjadi anaknya dan menghidupi mereka. Jadi, sampai kapan pun, MadameWu tidak bisa melepaskan diri dari tugasnya sebagai istri dan ibu, sebab itulah esensi dia sebagai seorang wanita. Intinya, Orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Subhanalllah... padahal Pearl S. Buck bukan muslim, tapi kalimatnya itu seperti bunyi salah satu hadis rasulullah.
Jadi, bagi para istri dan ibu, nikmatilah peran kita, sebab untuk itu kita ada. Jalanilah tugas kita dengan ikhlas dan jangan merasa kehilangan potensi kita.
(maaf ya, aku gak bisa panjang2 nulisnya, soalnya diganggu anak2 :))
Waah...rupanya pemikiran Madame Wu hampir mirip denganku dan juga mungkin wanita2 lainnya di luar sana. Setelah menikah, memang banyak waktu yang tersita untuk orang lain. Mulanya, untuk suami. Tadinya, pagi2 habis solat subuh, aku bisa malas2an, baca buku, eh sekarang harus bikin sarapan untuk suami dan melakukan semua tugas rumah tangga.Lalu, setelah punya anak, nyaris aku gak punya waktu untuk diri sendiri. Boro2 menulis, membaca buku pun tak sempat. Suwer... aku jadi kangen masa lajangku yang bebas plus masa2 indah ketika berkarier dan punya uang sendiri.
Kembali lagi ke Madame Wu. Setelah dia membebaskan diri dari suaminya dan juga anak2nya, ternyata masalah datang bertubi2 yang mau tidak mau harus turun tangan menanganinya karena cuma dia yang mampu. Dia pun kembali berpikir apakah keputusan untuk mengasingkan diri itu benar? Lalu, dia bertemu dengan Andre, seorang rohaniawan yang menyadarkannya, Bahwa hidup kita sebenarnya untuk orang lain. Andre sendiri membaktikan dirinya untuk orang lain, mengangkat anak2 terlantar menjadi anaknya dan menghidupi mereka. Jadi, sampai kapan pun, MadameWu tidak bisa melepaskan diri dari tugasnya sebagai istri dan ibu, sebab itulah esensi dia sebagai seorang wanita. Intinya, Orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Subhanalllah... padahal Pearl S. Buck bukan muslim, tapi kalimatnya itu seperti bunyi salah satu hadis rasulullah.
Jadi, bagi para istri dan ibu, nikmatilah peran kita, sebab untuk itu kita ada. Jalanilah tugas kita dengan ikhlas dan jangan merasa kehilangan potensi kita.
(maaf ya, aku gak bisa panjang2 nulisnya, soalnya diganggu anak2 :))
Info Penerbit: Grasindo
Syarat Pengajuan Naskah
Jangan ragu untuk mengirimkan naskahmu ke Grasindo. Siapa pun yang mempunyai minat menulis akan didukung! Sebelum mengirimkan naskah ke Grasindo, baca dulu persyaratannya.
Berikut adalah dua kategori naskah yang bisa dikirimkan.
1. Fiksi
Syarat umum:
- Panjang naskah 70-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12
- Kirimkan dalam bentuk print out (yang sudah dijilid rapi), sertakan sinopsis lengkap, ke:
REDAKSI GRASINDO
Gd. Kompas Gramedia, Unit I Lt.3
Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
- Setiap naskah akan diproses langsung oleh redaksi. Waktu yang diperlukan sekitar 4 bulan, mengingat banyaknya naskah masuk setiap harinya. Harap maklum.
2. Non Fiksi
Syarat umum:
- Panjang naskah 70-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12. Kirimkan dalam bentuk print out (dijilid rapi) ke:
REDAKSI GRASINDO
Gd. Kompas Gramedia, Unit I Lt.3
Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
- Atau, kirimkan proposal naskah via e-mail. Bila naskahmu menarik, redaksi akan menghubungimu untuk pembahasan lebih lanjut.
- Setiap naskah akan diproses langsung oleh redaksi. Waktu yang diperlukan sekitar 4 bulan, mengingat banyaknya naskah masuk setiap harinya. Harap maklum.
Kategori nonfiksi yang dicari:
-Teknologi Informasi
- Pengembangan diri
- How to
- Cerita inspiratif
- Lifestyle
- Traveling
- Pengetahuan populer
Nah, jika kamu sudah mengirimkan naskah, jangan lupa untuk konfirmasi!
Telp: 021-53650110, ext. 3301
Jangan ragu untuk mengirimkan naskahmu ke Grasindo. Siapa pun yang mempunyai minat menulis akan didukung! Sebelum mengirimkan naskah ke Grasindo, baca dulu persyaratannya.
Berikut adalah dua kategori naskah yang bisa dikirimkan.
1. Fiksi
Syarat umum:
- Panjang naskah 70-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12
- Kirimkan dalam bentuk print out (yang sudah dijilid rapi), sertakan sinopsis lengkap, ke:
REDAKSI GRASINDO
Gd. Kompas Gramedia, Unit I Lt.3
Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
- Setiap naskah akan diproses langsung oleh redaksi. Waktu yang diperlukan sekitar 4 bulan, mengingat banyaknya naskah masuk setiap harinya. Harap maklum.
2. Non Fiksi
Syarat umum:
- Panjang naskah 70-150 halaman A4, spasi 1, Times News Roman 12. Kirimkan dalam bentuk print out (dijilid rapi) ke:
REDAKSI GRASINDO
Gd. Kompas Gramedia, Unit I Lt.3
Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
- Atau, kirimkan proposal naskah via e-mail. Bila naskahmu menarik, redaksi akan menghubungimu untuk pembahasan lebih lanjut.
- Setiap naskah akan diproses langsung oleh redaksi. Waktu yang diperlukan sekitar 4 bulan, mengingat banyaknya naskah masuk setiap harinya. Harap maklum.
Kategori nonfiksi yang dicari:
-Teknologi Informasi
- Pengembangan diri
- How to
- Cerita inspiratif
- Lifestyle
- Traveling
- Pengetahuan populer
Nah, jika kamu sudah mengirimkan naskah, jangan lupa untuk konfirmasi!
Telp: 021-53650110, ext. 3301
Renungan: Ketika Roda Kehidupan Berada di Bawah
Kata seseorang, kehidupan ini ibarat sebuah roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Maka, ketika sedang berada di atas, bersyukurlah. Dan ketika sedang berada di bawah, bersabarlah. Jangan sesekali takabur dengan kenikmatan hidup yang tengah kita dapatkan. Seringkali, ujian berupa kenikmatan itu justru membuat seseorang lupa akan Tuhannya dan orang lain. Sedangkan, jika kita ditimpa kesusahan, kita justru lebih dekat dengan Tuhan dan orang lain (ceramah dari banyak ustaz).
Motivasi Menulis: Menulislah, Maka Engkau Kaya
Fesbuk mempertemukan saya dengan banyak sahabat, salah satunya adalah Aimam Faisal. Ternyata dia sudah banyak melahap novel-novel saya, pantas saja dia sering mengomentari status dan notes saya. Aimam mengaku ingin menjadi penulis juga, bahkan ingin berkarier secara professional di dunia menulis. Dia banyak bertanya segala hal tentang menulis, termasuk royalty.
Dua kali sudah dia melaporkan novel saya yang dijual murah di beberapa toko buku, dengan judul novel yang berbeda. Judul-judul novel yang dia laporkan itu sejujurnya sudah lama tidak memberikan royalti penjualan kepada saya, karena sudah di write off. Alias, sudah dikembalikan kontrak penerbitannya kepada saya. Pertanyaannya, kenapa masih dijual?
Dunia menulis rupanya sudah banyak menarik perhatian banyak orang, tidak hanya orang muda seperti Aimam, tetapi juga ibu rumah tangga, bahkan nenek-nenek. Mereka punya banyak alasan untuk menjadi penulis, tetapi alasan paling memikat adalah mendapatkan honor dan royalti yang fantastic. Mereka ingin kaya dari menulis. Apakah benar menjadi penulis bisa kaya? Jawabannya: BENAR.
Novel pertama saya memenangkan sayembara menulis novel di sebuah penerbit dengan hadiah lomba Rp 4.000.000. Sebagai penulis pemula, saya masih belum mengerti mengenai perbedaan antara hak cipta dan hak terbit. Setelah menang, barulah saya tahu bahwa saya telah terkena jebakan lomba. Novel saya diterbitkan tanpa royalti (hadiah lomba sudah mencakup royalti) dengan jumlah eksemplar tidak terbatas dan hal terbit dimiliki selamanya oleh penerbit. Novel itu menembus angka 10 ribu eksemplar (menurut laporan seorang teman yang “mengintip” laporan penjualan novel itu) dan tidak ada sepeser pun yang masuk ke rekening saya. Hanya sejumlah 4 juta itu. Ketika cetak ulang pertama, saya hanya mendapatkan tambahan 2 eksemplar bukunya. Sampai hari ini, novel itu masih dijual, tapi tidak ada sepeser pun royalti yang masuk ke rekening. Dihitung-hitung sudah 8 tahun berjalan. Cetak ulang berikutnya, saya tidak pernah mendapatkan eksemplar buku lagi. Hilang tanpa kabar.
Dua novel saya di sebuah penerbit, juga menggantung tak jelas royaltinya. Saya hanya menerima Rp 1.000.000 per buku di tahun pertama, selanjutnya tidak ada kabarnya. Tahu-tahu penerbitnya sudah bangkrut. Anehnya, salah satu novel saya itu sempat cetak ulang, tapi royalti yang menurut surat kontrak, diberikan dua kali dalam setahun, nyatanya tidak ada.
Beberapa novel yang telah diwrite off, alias dikembalikan hak terbitnya kepada saya, nyatanya masih dijual di beberapa toko buku. Seharusnya, novel-novel itu ditarik dan diberikan kepada saya, karena saya tidak mendapatkan royaltinya. Kurang jelas juga apakah novel-novel itu sudah dibayar lunas di depan, sehingga royaltinya sudah masuk kepada saya. Saya coba berpikir positif saja.
Ah, rasanya rekan-rekan penulis lain pun memahami adanya “royalti macet.” Tidak sesuai dengan perjanjian di surat kontrak. Seharusnya diberikan 3 bulan sekali, eh ternyata jadi 6 bulan sekali. Bisa jadi, novelnya memang kurang laris, sehingga royaltinya minimum. Ada royalti yang hanya Rp 4.000 (pengalaman kerja di penerbit). Biaya transfernya pun lebih.
Apakah hanya penulis novel yang best seller yang bisa kaya raya dari novelnya? Sejujurnya, jika dikatakan “kaya secara materi,” insya Allah, saya belum merasakannya. Tapi, jika kaya dalam hal lain, insya Allah sudah sebagian. Setidaknya, dengan menulis, saya banyak membaca dan menambah wawasan. Itu juga kaya. Ketika ada pembaca novel saya yang terinspirasi dan tercerahkan usai membaca novel saya, itu juga kaya. Dan… jika tak ada royalti yang masuk ke rekening saya, setidaknya saya sudah bersedekah tulisan. Sebab, saya menulis tanpa dibayar. Bukankah dengan bersedekah, maka akan bertambah pula kekayaan kita? Tentu Allah akan membalasnya, sekalipun bukan dalam bentuk materi.
Itulah mengapa saya tetap ikut lomba-lomba menulis, sekalipun hadiahnya kurang menggiurkan. Atau, ada yang bilang, “peraturan lombanya menguntungkan penyelenggara.” Ah, biar saja. Yang penting saya bisa “berbagi” melalui tulisan saya. Memang, kalau sudah masuk ranah bisnis, semua serba diperhitungkan. Jangan begitu, sebab Allah juga tidak menghitung-hitung ketika memberikan nikmat kepada kita.
So, menulislah, maka engkau KAYA.
NB: Catatan tahun lalu, dipublish di fesbuk.
Dua kali sudah dia melaporkan novel saya yang dijual murah di beberapa toko buku, dengan judul novel yang berbeda. Judul-judul novel yang dia laporkan itu sejujurnya sudah lama tidak memberikan royalti penjualan kepada saya, karena sudah di write off. Alias, sudah dikembalikan kontrak penerbitannya kepada saya. Pertanyaannya, kenapa masih dijual?
Dunia menulis rupanya sudah banyak menarik perhatian banyak orang, tidak hanya orang muda seperti Aimam, tetapi juga ibu rumah tangga, bahkan nenek-nenek. Mereka punya banyak alasan untuk menjadi penulis, tetapi alasan paling memikat adalah mendapatkan honor dan royalti yang fantastic. Mereka ingin kaya dari menulis. Apakah benar menjadi penulis bisa kaya? Jawabannya: BENAR.
Novel pertama saya memenangkan sayembara menulis novel di sebuah penerbit dengan hadiah lomba Rp 4.000.000. Sebagai penulis pemula, saya masih belum mengerti mengenai perbedaan antara hak cipta dan hak terbit. Setelah menang, barulah saya tahu bahwa saya telah terkena jebakan lomba. Novel saya diterbitkan tanpa royalti (hadiah lomba sudah mencakup royalti) dengan jumlah eksemplar tidak terbatas dan hal terbit dimiliki selamanya oleh penerbit. Novel itu menembus angka 10 ribu eksemplar (menurut laporan seorang teman yang “mengintip” laporan penjualan novel itu) dan tidak ada sepeser pun yang masuk ke rekening saya. Hanya sejumlah 4 juta itu. Ketika cetak ulang pertama, saya hanya mendapatkan tambahan 2 eksemplar bukunya. Sampai hari ini, novel itu masih dijual, tapi tidak ada sepeser pun royalti yang masuk ke rekening. Dihitung-hitung sudah 8 tahun berjalan. Cetak ulang berikutnya, saya tidak pernah mendapatkan eksemplar buku lagi. Hilang tanpa kabar.
Dua novel saya di sebuah penerbit, juga menggantung tak jelas royaltinya. Saya hanya menerima Rp 1.000.000 per buku di tahun pertama, selanjutnya tidak ada kabarnya. Tahu-tahu penerbitnya sudah bangkrut. Anehnya, salah satu novel saya itu sempat cetak ulang, tapi royalti yang menurut surat kontrak, diberikan dua kali dalam setahun, nyatanya tidak ada.
Beberapa novel yang telah diwrite off, alias dikembalikan hak terbitnya kepada saya, nyatanya masih dijual di beberapa toko buku. Seharusnya, novel-novel itu ditarik dan diberikan kepada saya, karena saya tidak mendapatkan royaltinya. Kurang jelas juga apakah novel-novel itu sudah dibayar lunas di depan, sehingga royaltinya sudah masuk kepada saya. Saya coba berpikir positif saja.
Ah, rasanya rekan-rekan penulis lain pun memahami adanya “royalti macet.” Tidak sesuai dengan perjanjian di surat kontrak. Seharusnya diberikan 3 bulan sekali, eh ternyata jadi 6 bulan sekali. Bisa jadi, novelnya memang kurang laris, sehingga royaltinya minimum. Ada royalti yang hanya Rp 4.000 (pengalaman kerja di penerbit). Biaya transfernya pun lebih.
Apakah hanya penulis novel yang best seller yang bisa kaya raya dari novelnya? Sejujurnya, jika dikatakan “kaya secara materi,” insya Allah, saya belum merasakannya. Tapi, jika kaya dalam hal lain, insya Allah sudah sebagian. Setidaknya, dengan menulis, saya banyak membaca dan menambah wawasan. Itu juga kaya. Ketika ada pembaca novel saya yang terinspirasi dan tercerahkan usai membaca novel saya, itu juga kaya. Dan… jika tak ada royalti yang masuk ke rekening saya, setidaknya saya sudah bersedekah tulisan. Sebab, saya menulis tanpa dibayar. Bukankah dengan bersedekah, maka akan bertambah pula kekayaan kita? Tentu Allah akan membalasnya, sekalipun bukan dalam bentuk materi.
Itulah mengapa saya tetap ikut lomba-lomba menulis, sekalipun hadiahnya kurang menggiurkan. Atau, ada yang bilang, “peraturan lombanya menguntungkan penyelenggara.” Ah, biar saja. Yang penting saya bisa “berbagi” melalui tulisan saya. Memang, kalau sudah masuk ranah bisnis, semua serba diperhitungkan. Jangan begitu, sebab Allah juga tidak menghitung-hitung ketika memberikan nikmat kepada kita.
So, menulislah, maka engkau KAYA.
NB: Catatan tahun lalu, dipublish di fesbuk.
Tuesday, January 10, 2012
Saya Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Menjadi ibu rumah tangga tanpa pernah bekerja di kantor, agaknya lebih baik daripada menjadi ibu rumah tangga setelah sebelumnya memiliki karir yang bagus di kantor. Setidaknya, IRT yang belum pernah merasakan kerja di kantor, tidak merasakan perubahan drastis saat masih berkarir dan saat sudah tidak berkarir.
Monday, January 9, 2012
Ketika Seorang Ibu Membunuh Anak-Anaknya
Kantor Rusty hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya. Dia berlari menyeberangi areal parkir karyawan dan menuju mobil SUV miliknya. Dari balik kemudi, dia menelepon Andrea. Syukurlah, Andrea menjawab.