Tahun 2009 bisa dikatakan sebagai tahun penuh kerempongan. Ya, di bulan Desember 2008, saya melahirkan anak kedua yang usianya hanya terpaut setahun dengan si kakak. Tanggal 11 Desember 2008, Ismail berumur satu tahun. Dan di tanggal 31 Desember 2008, adiknya yang kami beri nama Ahmad Sidiq Aghniya, terlahir ke dunia.
Saat itu belum terbayang kerempongan macam apa yang akan saya hadapi. Ismail masih di rumah ibu mertua. Tetapi, saya sudah bertekad untuk menunda kehamilan lagi, dengan serius menunda sampai benar-benar siap. Bahkan, tante dan ibu mertua pun menyuruh agar saya cukup memiliki dua anak saja. Meskipun setuju untuk menunda kehamilan, saya tidak setuju jika hanya punya dua anak. Saya masih ingin punya anak lagi, tetapi nanti insya Allah jika kerempongan sudah teratasi.
Ismail dan Sidiq |
Bersama Nenek |
Satu minggu setelah melahirkan Sidiq, ibu mertua datang menengok sambil membawa Ismail. Inilah saatnya Ismail dikembalikan kepada saya. Mata saya berkaca-kaca. Dua bulan sudah saya tidak bertemu Ismail, hati ibu mana yang tak sedih? Lebih sedih lagi saat Ismail menolak untuk saya gendong. Duh! Saya hanya dua bulan meninggalkannya dan dia sudah melupakan saya? Anak-anak memang jujur. Perasaan mereka tak bisa dibohongi. Ya, memang Ismail sudah melupakan saya, tapi saya tak menyerah. Toh, saya akan kembali mengurus Ismail.
Untunglah, Ismail bukan anak yang susah digendong oleh “orang lain.” Saat itu, saya memang menjadi orang lain baginya. Meskipun dia pernah bersama saya selama sembilan bulan, ia tetap tak ingat dengan ibunya. Saya dekati Ismail dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali memperhatikannya. Malam pertama, ia tidur dengan saya, bukan dengan neneknya. Saya tidur di tengah, di antara Ismail dan Sidiq. Ismail saat itu sedang pilek. Saya cium-ciumi hingga saya ketularan pileknya. Alhamdulillah, Sidiq tidak ikut ketularan. Tengah malam, Ismail bangun dan mencari-cari neneknya. Saya menggendongnya, mengajaknya ke luar, dia menunjuk-nunjuk mencari neneknya. Hiks, sedih rasanya hati saya. Tapi, Alhamdulillah, dia mau diajak tidur lagi setelah diberi susu dan diajak ngobrol sebentar.
Neneknya hanya dua hari menginap, dan dimulailah petualangan saya bersama dua bayi yang kelak akan sering disangka anak kembar. Ismail belum bisa berjalan, karena jarang diajari dan sering digendong-gendong selama bersama dengan neneknya. Otomatis, saya juga yang mengajarinya berjalan. Subhanallah.. pesat sekali proses belajar berjalannya. Saya mengajarinya berjalan sambil menyuapi makan di pagi, siang, dan sore. Tentu saja saya masih belum keteteran, karena masih di rumah orang tua saya.
Sidiq dijaga oleh tante-tantenya selama saya mengasuh Ismail. Kalau Sidiq menangis minta susu, baru saya pulang ke rumah.
Ismail saya bawa jalan-jalan ke lapangan dekat rumah. Saya titah dengan dua tangan, satu tangan, dan kadang-kadang saya lepas. Dia senang sekali diajari berjalan. Saat sedang jalan-jalan itulah, saya bertemu dengan seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya. Ibu itu terlihat kagum dengan Ismail. “Anaknya lincah ya, Bu… anak saya ini maunya duduk saja, gak mau diajari jalan.” Ibu itu bercerita soal anaknya. Saya hanya mengucap hamdalah. Ya, saya begitu bersemangat ingin membayar hari-hari yang hilang bersama Ismail.
Memang, proses menyuapi makan dan mengajari jalan si sulung sering terpotong dengan tangisan adiknya yang ingin menyusui. Agar Sidiq tenang dan tidak bau tangan, Sidiq ditaruh di ayunan yang selalu diayun oleh tante-tante dan kakeknya. Sambil mereka lewat, sambil diayun. Tapi, kalau Sidiq sudah menangis keras dan tidak diam-diam meski sudah diayun, tandanya dia lapar. Saya pun harus menyudahi proses mengajari Ismail. Mungkin itu yang membuat tubuh Ismail tidak gemuk. Selain sulit makan, proses menyuapinya pun tidak tuntas.
Saya memang bertekad untuk memberikan ASI Eksklusif kepada Sidiq. Tidak ingin kegagalan dengan Ismail terulang. Serempong apa pun, saya akan menyusui Sidiq. Adik-adik saya belum bisa diminta membantu mengurus bayi, sekalipun hanya menyuapi. Ismail yang aktif, sering sekali menumpahkan makanan. Pada akhirnya, ya hanya saya yang mengasuh keduanya. Masih untung saya banyak dibantu pekerjaan lainnya, seperti mencuci popok, memasak, dan menyetrika pakaian bayi. Coba nanti kalau saya sudah di rumah sendiri, siapa yang akan membantu?
Saya juga tidak cukup beruntung melahirkan dan mengasuh anak dengan bantuan ibu kandung. Ibu kandung saya sudah meninggal dunia, tiga bulan sebelum saya menikah. Ibu mertua tinggal jauh di kampung. Hanya memberikan instruksi dan arahan melalui telepon dan sms. Ibu mertua bersedia mengambil alih pengasuhan salah satu anak saya—dalam hal ini, Ismail—tapi saya yang keberatan. Dua bulan saja sudah membuat saya merindu setengah mati. Ismail pun sering sakit-sakitan, yang menurut ibu mertua, karena selalu saya pikirkan. Maka, serempong apa pun, saya tetap mengasuh kedua anak saya, sendirian.
Itu pula yang menguatkan tekad saya untuk menunda punya momongan lagi. Kasihan dengan kakak-kakaknya, kalau saya kembali diamanahi bayi. Ismail dan Sidiq saja sudah harus berbagi. Ismail yang selalu tidak tuntas disuapi dan Sidiq yang selalu cepat-cepat disusui. Subhanallah…. Saya jadi suka nyengir sendiri kalau ada orang yang memandang takjub kepada kedua anak saya, kelak ketika tubuh mereka sudah sama besar.
“Wah, anak kembar, ya? Enak ya punya anak kembar…?”
Hiyaaah…. Enak bangeeet….. Tak terbayang jika benar-benar anak kembar, yang berarti mereka harus berbagi sejak bayi. Saat keduanya mau menyusu bersama-sama, bagaimana pula jadinya? Tetangga saya yang punya anak kembar, akhirnya toh harus berbagi dengan susu formula. Sering sekali bayinya menangis bersama-sama minta disusui, jadi salah satunya harus mengalah disusui oleh susu formula. Tetangga saya sih cukup beruntung, karena ada dua adik iparnya yang membantu. Saya?
Yang paling rempong adalah saat keduanya sakit. Namanya selalu bersama-sama, tidur pun bersama, kalau anak yang satu sakit, anak yang lain juga pasti sakit. Meski sudah dicegah, tetap terkena. Nah, itulah saat di mana kesabaran saya diuji. Keduanya minta digendong dan susah berbagi. Sidiq masih bayi, jadi menggendongnya pun harus dua tangan. Untunglah, Ismail mudah beradaptasi dengan orang lain. Dia mau digendong oleh siapa pun, mungkin karena pernah terpisah dari saya.
Dua bulan kemudian, saya kembali ke rumah sendiri. Bagaimanapun, saya harus berada di rumah suami saya dan kembali mengurus rumah tangga kami. Saya tahu akan berat keadaannya tanpa bantuan siapa pun. Suami saya memang bisa membantu, tapi tidak akan total, karena harus bekerja juga. Bayangkan jika kedua bayi menangis dan tidak ada yang membantu menggendong. Sementara jam kerja suami sangat padat, berangkat jam tujuh, pulang jam delapan malam. Belum lagi saya harus mengerjakan semua urusan rumah tangga. Maka, saya memang membutuhkan bantuan pembantu rumah tangga. Dan selagi menunggu dapat pembantu, saya harus kembali menitipkan Ismail. Alhamdulillah, tidak lama-lama. Hanya dua minggu. Lagipula, Ismail pun sudah lengket dengan saya dan sudah tahu bahwa saya adalah mamanya. Setelah saya tinggalkan, dia sering memanggil-manggil nama saya.
Meskipun saya sudah memiliki seorang pembantu rumah tangga, kerepongan-kerempongan itu tetap mewarnai hidup saya. Tahun itu adalah tahun di mana saya benar-benar mencurahkan seluruh hidup saya untuk mengurus anak-anak. Jangan dikatakan bagaimana perhatian terhadap suami. Ya, suami pun harus banyak mengalah dengan anak-anak. Bahkan, saya harus melupakan keinginan untuk menulis, sebuah hobi yang telah menjadi profesi. Saya benar-benar tidak punya waktu untuk menulis. Yang lebih parah, saya bahkan tidak sempat merawat diri. Pernah saya potong rambut di sebuah salon, petugasnya terkejut melihat rambut saya yang gimbal akibat jarang disisir.
“Haduh, Bu.. ini bagaimana rambutnya kusut banget. Langsung dipotong saja ya yang kusutnya,” katanya.
“Iya, Bu, gak sempat nyisir rambut sejak punya bayi.”
“Masa gak sempat sih, Bu? Jangan begitu.. kan harus kelihatan cantik di depan suami.”
Huuh… dia tidak tahu saja bagaimana kerempongan saya di rumah. Mandi pun harus cepat-cepat karena Sidiq minta ASI terus. Menyusunya sangat kuat. Belum lagi Ismail yang juga butuh perhatian. Namun, saya berpikir ada benarnya juga kampanye pemerintah untuk KB (Keluarga Berencana). Setidaknya, ada jeda yang cukup antara kelahiran anak yang satu dengan yang lain, untuk memberi waktu bagi ibu dalam meningkatkan kualitas dirinya. Bukan saja anak yang tidak terawat dengan baik, kondisi ibu pun jadi tidak karuan kalau anak-anak lahir tanpa jarak yang cukup. Saya tidak setuju jika hanya cukup dua anak, tetapi setuju dengan program memberi jarak pada kelahiran. Jadi, sebulan setelah melahirkan, saya langsung KB Suntik per bulan, karena tidak mempengaruhi ASI. Setidaknya, itu dulu usaha saya, karena belum tahu cara lain yang lebih jitu. Saya yakin Allah pun tahu kapan saya siap untuk diberi momongan lagi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....