Suami adalah orang yang paling getol menyuruh saya memberikan ASI untuk Ismail. Sebagai calon ayah, dia juga ikut sibuk mencari informasi mengenai ASI dan sebagainya yangberhubungan dengan bayi, sebelum Ismail lahir. Jasanya yang paling besar adalah membelikan saya susu ibu hamil dan menyusui, sekalipun harganya mahal. Lebih baik ibunya yang minum susu formula, daripada bayinya. Mengapa? Karena kalau ibunya yang minum sufor, paling-paling hanya 2-3 kali sehari. Tapi, kalau bayinya? Huuuaaaah…..
Setelah melahirkan Ismail yang penuh perjuangan dan bahkan berharap mati saja karena tak kuat menahan sakit diinfus mulas (astaghfirullah!), saya tidak bisa langsung menyusui Ismail. Bidan yang membantu melahirkan rupanya belum tahu info mengenai Inisiasi Menyusui Dini (hiks!). Bahkan, tatkala payudara saya telah mengeras seperti balon yang hendak meledak, saya tetap tidak diperbolehkan menyusui Ismail. Katanya, “jangan, kan masih sakit itu jahitannya. Masih susah menyusui.” Maksudnya, saya belum bisa duduk dengan benar untuk menyusui. Dia menyuruh saya menunggu tiga hari lagi.
Haduuh… padahal saya mengerti sekali mengenai kolostrum yang sudah ke luar dari payudara saya. Cairan awal ASI berwarna kekuningan yang diyakinkan sebagai imunitas untuk bayi. Entahlah. Sepertinya Ismail tidak mendapatkan kolostrum itu. Ismail malah dapat sufor, mana diminumkannya dengan disangga bantal! Alhamdulillah, Ismail tidak sampai tersedak. Saya dengar, sekarang para bidan muda sudah mendapatkan materi IMD. Syukurlah. Ya, seharusnya setelah melahirkan, bayi langsung diberikan putting ibu, meskipun belum ada ASI-nya.
Heeeiii… jangan hanya menyalahkan bidan, dong. Kalau saya sudah paham mengenai IMD, mengapa saya tidak bersikeras meminta bayi saya untuk menyusu ASI? Sudah. Sudah saya lakukan. Tapi, memang saya tidak terlalu kuat memegang keyakinan karena merasa “awam.” Lah, kan dia yang bidan, jadi dia pasti lebih tahu daripada saya. Belakangan, hal itu saya sesali. Rupanya tidak selalu para bidan dan paramedic itu lebih tahu. Kelak, jika saya melahirkan lagi, saya akan melakukan IMD!
Ismail total menyusu, lagi-lagi karena usaha getol suami. Bayangkan, sepulang dari bidan, bidan memberikan saya oleh-oleh satu paket perlengkapan bayi, plus satu kardus ukuran 150 gr, susu formula untuk bayi! Oow… saya tahu ini pasti bertujuan promosi. Alhamdulillah, suami saya sangat getol mendorong ASI Eksklusif. Susu formula itu hanya sekali dipakai, akibat dorongan ibu mertua, lalu dibuang karena tidak pernah diberikan lagi ke bayi saya. Suami saya bertahan dengan prinsipnya bahwa bayi kami harus mendapatkan ASI Eksklusif.
Ibu mertua, sebagaimana ibu-ibu zaman dulu, menyarankan agar saya memberikan ASI dan sufor secara bergantian. Katanya, “supaya nanti gak repot kalau kamu mau pergi-pergi. Bayinya bisa dititipin ke siapa gitu, kan susunya bisa diganti dot.” Tapi, suami saya bertahan, sekalipun ibunya yang menyarankan. Ajaib. Padahal, suami saya sangat patuh kepada ibunya. Apa pun perintah ibunya, dituruti. Untuk ASI, no! Sekali ASI, tetap ASI. Selain percaya bahwa ASI jauh lebih baik daripada sufor, lagi-lagi tentu saja suami saya berpikir lebih baik ibunya yang minum sufor, daripada anaknya. Khawatir kalau nanti kelepasan memberikan sufor terus, anak kami kecanduan dan lebih milih sufor.
Memberikan ASI, memang luar biasa. Yap. Benar kata ibu saya. Bila saya bertahan hanya memberikan ASI, berarti saya harus siap menjadi induk kanguru. Hfff…. Setiap dua jam, Ismail menyusu. Otomatis, saya tidak bisa pergi lama-lama. Harus selalu siap sedia kantung susu. Suami membelikan pompa ASI, untuk memeras ASI yang menderas. Bisa juga ASI-nya disimpan di botol, supaya Ismail juga belajar mengisap dari botol. Tapi, saya yang kapok. Ternyata sakit lho memerah ASI pakai pompa manual. Tidak terpikir membeli pompa yang mahal, karena kurang informasi.
Jika saya ingin pergi, maka saya harus membawa-bawa Ismail. Khawatir sewaktu-waktu dia minta menyusu. Alhamdulillah, saya pakai jilbab yang menutupi dada. Jadi, saya bisa menyembunyikan payudara saya sewaktu Ismail minta ASI di tempat umum. Saya ikut risih dan malu melihat ibu-ibu yang begitu enaknya menyusui bayinya dengan memperlihatkan payudaranya di tempat umum. Sekalipun tidak memakai jilbab, bisa kan payudara itu ditutupi oleh kain gendongan?
Kala itu saya berpikir, haduuh… repot juga yah ngasih ASI. Ke mana-mana harus bawa Ismail. Ke mana-mana digelendoti Ismail. Coba kalau pakai sufor. Kalau mau pergi, Ismail bisa dititipi ke orang, kan menyusunya dari botol. Pasti lebih enak deh kalau pakai sufor. Tidak repot seperti kalau memberikan ASI. Dan sekarang, saya menyesali gerutuan itu. Di usia 5 bulan, Ismail harus berhenti minum ASI gara-gara saya hamil lagi!
Ah, ya, tentu saja itu bukan salah bayi di dalam kandungan. Memang, saya dan suami yang kurang informasi. Saya tinggal di pelosok kampung, belum terkoneksi dengan internet, dan suami jarang membelikan majalah atau tabloid (meski sudah sering dipesankan), yang bisa memberikan informasi. Sumber informasi saya hanya dari para bidan dan orang-orang tua (salah satunya ibu mertua). Tahu apa yang mereka sarankan? STOP ASI!
Bayangkan, saya memeriksakan kandungan ke dua orang bidan dan dua-duanya berpendapat bahwa saya harus menghentikan pemberian ASI kepada Ismail.
Nanti anaknya jadi hiperaktif
Nanti anaknya jadi idiot
ASI-nya sudah gak bagus
Bla, bla, bla.
Yang belakangan saya ketahui bahwa informasi-informasi itu MEMBODOHKAN. Wah, bagaimana ya itu para bidan yang memberikan informasi? Mereka belajar gak, sih? Pengen ngomel-ngomel setelah beberapa bulan kemudian, saya tahu bahwa Tandem Nursing dibolehkan selama fisik ibu dan janin di kandungannya baik-baik saja. Tandem nursing, ibu hamil yang menyusui.
Tapi, sudah terlanjur! Ismail sudah beralih ke sufor, karena saya tahu informasi itu setelah beberapa bulan kemudian. Saya hanya bisa ngomel-ngomel dengan suami. Makanya, kalau istri minta dibelikan majalah atau tabloid itu ya dibelikan (karena kami tahu informasi tandem nursing dari majalah). Kalau minta koneksi internet ya dikasih, bila suami tidak mau mencari sendiri di internet. Suami juga tidak bisa disalahkan sih, karena dia yakin dengan keterangan ibu mertua dan DUA BIDAN!
Baiklah. Memang sudah takdir Ismail harus minum sufor. Sejak itu, saya merasakan pontang-panting memberikan sufor. Ya, yang semula saya pikir mudah, ternyata lebih susah. Bayangkan. Bayi seusia Ismail, masih lahap minum susunya. Dan karena masih di bawah 6 bulan, susunya harus sekali minum, tidak boleh disimpan. Jadi, bikinnya pun sedikit-sedikit. Ismail bisa dua jam sekali minum sufor, otomatis saya harus pontang-panting membuatkan sufor. Tentu relative lebih repot daripada ASI. Kalau memberikan ASI, saya tinggal buka kancing baju. Nah ini, saya harus memanaskan air, mencuci botol (botolnya pun harus direbus dulu), dan mengukur suhu sufor supaya Ismail tidak kepanasan.
Malam hari, saya tidak bisa tidur nyenyak. Kalau dulu saat masih ASI, saya bisa kasih ASI sambil tetap tidur. Begitu memberikan sufor, ya saya harus beranjak ke dapur, dan melakukan rutinitas membuat sufor. Akhirnya, saya bawa termos ke kamar, yang hanya berumur singkat karena dibanting oleh Ismail.
Waaah.. ternyata memberikan sufor jauh lebih repot daripada memberikan ASI. Dan tentu saja, jauh lebih mahal. Suami harus membelikan dua susu; susu untuk ibu hamil dan susu untuk Ismail. Susu untuk Ismail yang jauh lebih boros. Apalagi suami termasuk korban iklan juga. Maunya sufor yang agak mahal, karena lebih banyak gizinya. Masa-masa itu adalah masa yang prihatin buat kami. Banyak sekali pengeluaran untuk bayi, terutama untuk sufor dan diapers. Kami bertekad, bayi kedua nanti harus hemat! Caranya? ASI Eksklusif dua tahun!
Promosi sufor yang gencar memang harus diminimalkan. Banyak ibu yang sebenarnya sanggup memberikan ASI, memilih memberikan sufor agar lebih praktis. Mereka juga berpikir bahwa anak sufor lebih cerdas dan sehat. Lihat saja iklan sufor yang jelas-jelas mempromokan bahwa anak yang minum sufor, jauh lebih cerdas dan kreatif. Nah, daripada ngasih ASI yang rempong plus bikin payudara kendor, mending kan ngasih sufor. Belum yang ngasih sufor karena sibuk kerja dan sakit digigit bayinya.
ASI adalah nutrisi terbaik dari Allah, fitrah seorang ibu kepada bayinya. Mengembalikan fungsi ASI sebagaimana mestinya, telah menggerakkan sebagian ibu-ibu yang Pro ASI untuk mempromosikan ASI. Tindakan yang bagus, untuk menekan pemakaian sufor. Saya gemas juga dengan promosi gila-gilan produsen sufor, bahkan sebal karena sering ditelepon sales sufor. Tapi, lama-lama, ibu-ibu yang Pro ASI itu “keterlaluan” juga, yah. Naga-naganya jadi sama aja dengan sales sufor, bahkan cenderung menyudutkan ibu-ibu yang memberikan sufor. Sebalnya, ada yang memberikan julukan “anak sapi” kepada bayi-bayi yang minum sufor.
Bagaimana kalau kasusnya seperti saya, yang terpaksa memberikan sufor karena ketiadaan informasi mengenai tandem nursing? Suami saya sudah berusaha mendukung pemberian ASI, tetapi takdir berkata lain. Banyak juga lho ibu-ibu yang benar-benar tidak bisa memberikan ASI, misalnya ASI tidak keluar, mengalami koma/ depresi berat setelah melahirkan, dan sebagainya. Padahal, mereka sudah berniat memberikan ASI, hanya takdir berkata lain. Pasti mereka sedih juga kalau disudutkan dengan komentar-komentar negatif mengenai sufor.
Menurut saya, sufor tetap bisa menjadi alternative makanan untuk bayi, jika memang ASI ibu bermasalah. Masih agak sulit untuk menerapkan donor ASI, karena pendonor pun harus dipilih-pilih. ASI yang didonorkan harus berasal dari ibu yang baik, memakan makanan yang baik, dan kelak bayi susuannya tidak boleh menikah dengan bayi pendonor. So, tidak perlulah saling menyudutkan antara ASI dan Sufor. Ibu hanya mengusahakan, selanjutnya adalah takdir Allah. Saya juga sedih kalau Ismail disebut anak sapi, memangnya sapi yang melahirkan Ismail???
Wah memang ya kita harus mengusahakan semaksimal mungkin agar bayi kita langsung IMD dan mendapat ASI ekslusif ><
ReplyDelete