Sutradara: Hanung Bramantyo
Pemain: Revalina S. Temat, Reza Rahadian, Oka Antara, Francine Rosendah
Diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy
Jika hanya membaca opini-opini mengenai film ini, pemikiran kita akan subyektif, mengikuti pemikiran si pembuat opini. Mulanya, saya pikir film ini menyesatkan, sebagaimana opini yang saya baca di internet. Banyak yang mengatakan bahwa film ini menjelek-jelekkan pesantren dan para kyai di dalamnya.
Alkisah, Annisa (Reva S Temat) adalah putri dari seorang pemilik pesantren salafi Al Huda, Kyai Hanan. Didikan pesantren yang konservatif dan cenderung “membela” laki-laki, menimbulkan pemberontakan pada diri Annisa. Gadis yang cerdas dan berpendirian kuat itu, diam-diam menolak sebagian ajaran pesantren, terutama yang hanya memuliakan laki-laki. Annisa punya cita-cita melanjutkan kuliah di Yogyakarta, tetapi ayahnya melarang karena ia belum menikah. Wanita hanya boleh bepergian jika bersama dengan mahramnya.
Selain itu, diam-diam Annisa jatuh cinta kepada saudara jauh ayahnya, Khudori (Oka Antara). Namun, Khudori menyadari bahwa dirinya dan Annisa tidak bisa bersatu. Khudori merasa tidak enak menjalin cinta dengan Annisa. Dia memilih melanjutkan sekolah di Kairo. Annisa merasa terpuruk sepeninggal Khudori.
Annisa lebih terpuruk lagi, ketika dijodohkan dengan Samsudin, anak sesama pemilik pesantren. Lelaki yang awalnya terlihat alim dan baik itu, ternyata ringan tangan dan hiperseks. Di sini, banyak yang protes, mengapa anak kyai digambarkan sejahat itu? Saya rasa, ini wajar saja. Anak kyai juga manusia. Mungkin ada didikan yang salah, sehingga Samsudin tidak mewakili anggapan orang sebagai anak kyai yang soleh dan baik.
Annisa menyetujui pernikahan itu, asalkan kelak ia boleh sekolah lagi. Kenyataannya, Sam tidak juga memberikan ijin itu. Buat apa wanita sekolah lagi? Surga bagi seorang istri ada di sisi suaminya. Jiwa Annisa memberontak. Dia ingin mewujudkan cita-citanya untuk menuntut ilmu setinggi langit dan bintang. Pertanyaan saya, apakah salah jika seorang wanita ingin sekolah lagi? Rasulullah pun menyuruh kita untuk menuntut ilmu, sekalipun sampai ke negeri Cina. Dan itu tidak terbatas pada kaum laki-laki. Bahkan, Aisyah, kecerdasan dan ilmunya melampaui kaum laki-laki di zamannya, sepeninggal Rasulullah. Jadi, wajar saja jika Annisa ingin melanjutkan sekolah.
Annisa juga ingin memajukan pesantrennya, dan terutama memberikan ilmu-ilmu baru bagi para santri di sana. Sebab, pesantrennya hanya membolehkan para santri membaca Al Quran dan Hadist. Buku-buku lain diharamkan, apalagi novel. Beberapa kali diperlihatkan Annisa memegang novel Pramoedya Ananta Toer. Di sini, saya juga setuju dengan pemikiran Annisa. Memang, pegangan kita adalah Al Quran dan Hadis, tetapi hikmah dapat ditemukan di mana saja, bahkan di dalam kitab suci agama lain.
Annisa yang tak kunjung memberikan anak bagi Sam, dan selalu dingin setiap diajak berhubungan suami istri—lebih karena sikap Sam yang kasar dalam mengajak berhubungan, seperti seorang pemerkosa—membuat Sam berselingkuh. Dengan dalih poligami adalah sunah nabi, Sam membawa pulang istri keduanya yang telah hamil tua. Annisa, lagi-lagi, harus menerima kenyataan pahit itu tanpa bisa protes. Lagi-lagi ia harus takluk di bawah budaya patrilineal, menerima semuanya demi “surga.”
Ibunya hanya menyuruhnya diam dan ikhlas, sekalipun hati Annisa sama sekali tidak bisa ikhlas. Ia harus menulikan telinganya kala mendengar rintihan-rintihan seks yang terdengar dari kamar di sebelahnya. Tidak lain dan tidak bukan, Sam dan istri mudanya yang sedang berhubungan suami istri. Itu terus berlanjut sampai istri mudanya melahirkan. Bahkan, Annisa harus rela mengemong bayi madunya, tatkala sang madu sedang melayani suaminya.
Annisa memberontak. Ia menyatakan sikapnya untuk bercerai. Terlebih setelah Khudori pulang dari Kairo dan mengabdikan ilmunya di Pesantren Al Huda. Bukan, bukan karena cinta, Annisa meminta bercerai. Ia hanya ingin meraih cita-citanya menuntut ilmu, yang terpotong karena menikah. Di sebuah kandang kuda, Annisa dan Khudori membuat janji bertemu. Sisi emosional Annisa muncul. Perasaan cintanya kepada Khudori masih meluap-luap, ditambah dengan amarah yang meledak karena ditinggalkan oleh Khudori. Annisa merasa dirinya sudah hancur, sehingga meminta Khudori untuk menghancurkannya sekalian (baca: memperkosanya). Annisa merasa tak ada gunanya lagi. Hidupnya sudah tak ada harapan. Ia harus menikah paksa, mematikan potensinya, dan kini harus rela dipoligami. Dalam adegan itulah, keberadaan mereka terendus oleh Sam (yang curiga karena Annisa sering pamit pulang ke pesantrennya). Mereka dituduh berzina dan hampir dihukum rajam.
Ibunda Annisa yang sejak awal hanya diam, kali ini bersuara. Ketika Annisa dan Khudori hampir dirajam (padahal mereka belum berzina), Ibunda Annisa menantang. Siapa yang tidak punya dosa, boleh merajam. Tidak ada yang berani maju, karena siapa sih orang yang tidak punya dosa? Ayah Annisa terserang penyakit jantung demi melihat kejadian itu, dan tak lama meninggal dunia. Annisa merasa bersalah. Sam pun menceraikannya dengan tidak lupa menyebut-nyebut Annisa sebagai istri pezina dan durhaka.
Annisa meninggalkan pesantrennya dan menuntut ilmu di Jogja. Di sana, ia melihat kemirisan. Ia tinggal di rumah sahabatnya yang dulu berjilbab, tapi sudah dilepas. Ternyata sahabatnya kumpul kebo. Annisa melihat sesuatu yang jauh berbeda dengan keadaan di pesantren. Susah payah ia nasihati sahabatnya, tapi sahabatnya tak mau mendengar. Ternyata, kebebasan dan keterkekangan sama saja, tetap saja ujung-ujungnya menyenangkan laki-laki. Annisa pun meninggalkan rumah sahabatnya.
Khudori rupanya juga meninggalkan pesantren, karena malu disangka berbuat zina, dan menyusul Annisa ke Jogja. Di sanalah, Annisa dan Khudori bertemu. Khudori melamar Annisa dan mau menerima Annisa apa-adanya meskipun Annisa telah menjanda. Saat pernikahan, Annisa melihat bayangan bapaknya tersenyum kepadanya. Annisa yakin almarhum bapaknya meridoi langkahnya menikah dengan Khudori.
Akibat trauma pelecehan seksual dari Sam, Annisa tidak langsung mau melayani Khudori selayaknya seorang istri terhadap suaminya. Khudori pun tak memaksa. Hingga waktu menjawab, Annisa melihat kesabaran suaminya dalam menghadapinya. Dengan sukarela, Annisa menyerahkan dirinya kepada Khudori. Di sini, hendaknya para suami menyadari bahwa dalam berhubungan seksual suami istri, seorang istri harus diperlakukan dengan baik dan lemah lembut. Abidah El Khalieqy rasanya memang memahami agama dengan baik.
Ternyata Annisa tidak mandul. Ia dapat memberikan seorang anak kepada Khudori. Rumah tangga mereka berjalan baik dan bahagia, berbeda dengan rumah tangga Sam dan istri mudanya. Istri mudanya berkali-kali mendatangi Annisa, mencurahkan isi hatinya yang sudah tak tahan dengan perlakuan Sam yang hiperseks. Tidak tahu istri sedang capek, kalau lagi mau ya harus. Annisa menyuruh mantan madunya untuk bercerai saja, tapi wanita itu tidak mau karena khawatir dengan rejekinya dan anaknya. Istilahnya, kalau cerai, siapa yang kasih makan aku dan anakku? Inilah salah satu syirik kecil seorang istri, yang menggantungkan hidupnya kepada suami.
Namun, Annisa kembali dihadapkan pada goncangan dalam hidupnya. Rumah tangga yang indah itu, terkena musibah. Ending yang tragis, tetapi lagi-lagi mampu menunjukkan kekuatan dan ketegaran seorang wanita. Ia justru berhasil memajukan pesantrennya, mendorong para santriwati di pesantrennya yang ingin menjadi penulis, dan membuka perpustakaan besar di pesantrennya, yang tidak hanya berisi buku-buku agama.
Ide novelnya sendiri menurut saya sangat bagus—minus adegan-adegan seks yang katanya dijelaskan dengan gamblang. Film ini ingin mengkritisi kebijakan patrilineal yang banyak berlaku di kalangan pesantren. Ajaran-ajaran yang salah kaprah mengenai relasi hubungan suami-istri. Selama ini, para ulama, penceramah, kyai, lebih sering menyoroti kewajiban istri terhadap suami, tapi jarang menyoroti kewajiban suami terhadap istri. Misalnya, bila suami mengajak istri berhubungan seksual, istri tidak boleh membantah meskipun sedang memasak. Tetapi, kalau istri sedang tidak mood atau sakit, bagaimana? Sementara Rasulullah mengajarkan berkasih sayang, bahkan Al Quran menyuruh para suami untuk menggauli istri secara baik. So, bila istri sedang tidak mood, para suami harus pintar-pintar membujuk bagaimana supaya istrinya jadi mood, gitu lho…. Bukan dengan cara memperkosa, seperti yang dilakukan Sam.
Begitu juga dengan pendidikan istri. Tugas suami salah satunya adalah mendidik istrinya. Terlebih bila istrinya punya potensi untuik cerdas. Bukan malah mengekang sang istri dari ilmu. Apabila suami tidak mampu mendidik istri, maka wajib baginya untuk mengijinkan istrinya mencari ilmu atyau mendatangkan guru bagi istrinya.
Dan soal poligami. Bakal panjang urusannya kalau membicarakan poligami. Selain menonton film ini, saya anjurkan untuk membaca buku Gado-Gado Poligami saja yaah… J
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....