Sabtu sore, saya dan keluarga berkunjung ke toko buku Gramedia Depok. Niatnya hanya ingin jalan-jalan dan memantau kabar buku-buku saya di toko buku. Kalau beli? Stok buku yang belum dibaca masih banyak, bo. Jadi jangan beli-beli buku dululah. Pada akhirnya, beli buku juga. Buku anak-anak buat anak-anak saya.
Memasuki toko buku Gramedia Depok, saya langsung disambut dengan poster gede Merry Riana. Sedikit yang saya baca dari posternya, agaknya dia seorang pebisnis wanita yang sukses (kalau tidak salah). Nah, buku itu mengisahkan perjalanan hidupnya, gitu deh. Gak jelas juga, karena saya lebih tertarik dengan buku-buku yang terpajang di depan tangga escalator menuju lantai dua. Ada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Mata langsung biru, alias pengen beli. Tapi ingat tumpukan buku di rumah yang belum baca, dan tidak adanya diskon di tokbuk ini, hehe….. Melihat-lihat novel itu sekilas, yang bergambarkan dua orang pemain filmnya.
Lalu, saya naik ke escalator menuju lantai dua, di mana buku-buku baru dipajang. Sebelumnya, di lantai bawah, ada obral buku, tapi saya hanya beli DVD untuk anak-anak, yang setelah diputar di rumah, tidak nyala! Huhu… harusnya dicoba dulu ya pas di Gramedia. Ya, sudahlah.
Di lantai dua, saya langsung disambut deretan buku-buku terbitan Gagas dan Bukune. Buku apa yang langsung tertangkap pandangan mata saya? POCONGGG. Hadeeeu… maruk bener deh tuh buku. Gak puas di samping kiri, rupanya dia juga ada di depan. Dan begitu saya ke belakang, dia ada juga! Stoknya berapa banyak ya di tokbuk itu???
Ya, sudahlah. Begitulah kalau buku best seller. Promosi penerbitnya juga oke dan gila-gilaan. Sewaktu bekerja di penerbitan dulu, saya mendengar bahwa untuk bisa memajang buku gila-gilaan seperti itu, penerbit membeli rak khusus, yang harganya bisa puluhan juta. Dibandingkan dengan keuntungan yang kemudian didapat (kabarnya hingga miliaran), tentu bisa membayar biaya yang dikeluarkan. Tapi tidak semua buku mendapatkan perlakuan seperti itu. Penerbit punya hitung-hitungan dan riset pasar untuk menentukan buku mana yang berhak mendapatkan rak khusus tersebut. Kalau rak aslinya sih, semua buku kan sudah ditentukan tempatnya masing-masing. Novel di rak fiksi.
Saya pun memutari lantai dua, berniat mencari buku-buku saya. Saya cari di rak buku pernikahan, lho kok gak ada ya buku Rahasia Pengantin Baru? Saya lanjutkan perjalanan ke rak novel. Alhamdulillah, Jean Sofia langsung tertangkap pandangan mata, karena ditaruh di tengah-tengah. Tapi… di mana ya buku Rahasia Pengantin Baru? Terpaksa deh menggunakan mesin pencari di Gramedia, yang langsung menjelaskan posisinya. Ternyata memang ada di rak pernikahan, tapi di atas sekali, jadi kalau pandangan mata kita cuma setengahnya, ya gak kelihatan, haha….
Lalu, saya memandangi seluruh lantai dua yang dipenuhi oleh buku-buku. Buku dengan tema kehamilan memenuhi satu rak yang panjang. Ternyata banyak yang punya ide serupa, menulis buku tentang kehamilan. Persaingannya berat, bo. Judulnya pun serupa. Kehamilan bla bla bla. Kalau buku pernikahan masih mending ya, judulnya tidak mirip gitu.
Dua buku saya… ya, meskipun saya sudah punya dua buku, ternyata stoknya di tokbuk Gramedia masih kalah jauh dengan Poconggg. Jadi? Ayo tulis buku lagi supaya tokbuk Gramedia dipenuhi oleh buku-buku saya! Hahaha…
Ya, berpikir positif sajalah. Wajar, jika kita punya keinginan buku kita diapresiasi oleh orang banyak. Tetapi, persaingannya memang berat. Tidak selalu tema dan tulisan yang bagus, mendapatkan apresiasi setimpal. Contohnya, Ronggeng Dukuh Paruk dan Poconggg. Bila dibandingkan, Poconggg lebih menguasai Gramedia, karena jumlahnya kelihatannya lebih banyak. Tetapi, secara kualitas?
Lagipula, RDP bukan baru sekarang diterbitkan. Novel itu sudah ada puluhan tahun lalu, mungkin sebelum saya lahir. Bagaimana keadaaannya dulu sewaktu baru pertama kali diterbitkan? Mengingat zaman dulu gairah membaca belum sedrastis sekarang, pasti hanya segelintir orang yang mengapresiasikannya. Memang, novel RDP itu terkenal, tapi di kalangan siapa? Di kalangan peminat buku sastra. Apakah remaja kita mengenal RDP? Saya dulu tidak kenal. Remaja sekarang? Pasti kenalnya Poconggg. Apakah apresiasi yang sedikit itu lantas menyurutkan Ahmad Tohari untuk menulis?
Haaaaii… saya sudah lama melihat novel RDP terbitan lama dan Belantik, sama-sama karya Ahmad Tohari, di rak buku mantan bos saya. Di raknya memang hanya ada novel-novel sastra. Tapi, sekarang saya menyesal KARENA TIDAK MEMBACA BUKU-BUKU ITU. Ya, saya langsung terbayang beratnya diksi sastra dan tidak mau berpusing-pusing membacanya. Apakah jika setelah Ahmad Tohari mendapati apresiasi pembacanya tidak terlalu antusias, lalu ia berhenti menulis, dia dapat melihat RDP difilmkan dan dipajang besar-besaran di Gramedia seperti sekarang?
Boleh saja kita berharap karya kita bisa seperti Poconggg. Tak perlu menulis yang ribet-ribet. Sering kali buku-buku semacam itu BERHASIL karena promosi besar-besaran. Tapi, lihatlah. Banyak buku-buku yang jauh lebih berkualitas, teronggok di rak belakang, masih untung kalau ada pengunjung toko buku yang sudi berjalan ke belakang. Tetapi, waktu akan bicara. Setiap asahan pena kita, insya Allah akan menunjukkan hasilnya. Coba mana ya Rahmania Arunita yang dulu beken dengan Eiffel I’m in Love? Mana di mana dia?
So, mengutip kata-kata seorang penulis pemula yang pernah menyinggung saya, “Yang penting nulis aja dulu!” Hmm.. ternyata dia benar juga. Tidak ada salahnya punya pikiran karya ingin diapresiasi orang banyak, best seller. Bagaimana bisa best seller kalau tidak menulis? Masih mending ada satu orang yang membaca karya kita, daripada tidak. Iya, kan? Iya, kan? :D
Iya bener, menulis saja dulu, buat yang lain2 itu nanti... mimpi jangan sampai memporakporandakan percaya diri kita dalam menulis... hahahha sudahlahaa.. akuu,... jangan berfikir macam2, cukup dengan 3 kata ' Tidak Berhenti Menulis '
ReplyDeleteMakasih kakak sayang :"D
like thissss.....:D :D
ReplyDelete