Alhamdulillah, tak disangka, tahun ini empat buku saya terbit, salah satunya buku antologi. Berturut-turut dari bulan September-Desember. Padahal, saya baru keluar dari goa, setahun yang lalu. Tepatnya, bulan November 2010, saya kembali menyentuh internet. Saya langsung aktif di fesbuk, mencari informasi-informasi menulis dan menerbitkan buku, dan kini hasilnya sudah dapat saya raih.
Ya, tiga tahun sebelumnya, saya seperti masuk ke dalam goa. Sejak dikaruniai dua anak yang hanya berselisih usia setahun, saya terlalu disibukkan untuk mengurus mereka. Memang, sesekali saya menulis, terutama kalau sedang dapat bantuan dari khadimat (khadimat datang dan pergi, kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak), tetapi belum ada satu pun yang diterbitkan lagi. Disebabkan oleh kurang gaulnya saya, akibat tidak adanya koneksi internet. Saya kurang informasi penerbit yang bisa menerbitkan naskah-naskah itu. Sampai suami membelikan modem (tadinya berharga sejuta, lalu turun jadi empat ratus ribu), di akhir tahun 2010 itu.
Untuk memulai kembali profesi menulis yang sudah saya tekuni sejak kuliah, saya menerbitkan novel secara indie (self publishing). Penjualannya kurang memuaskan, karena pemasaran hanya lewat internet, dan saya kurang jago dalam hal promosi. Repot juga menangani penjualan buku, terlebih penerbitnya tidak kooperatif. Akhirnya, saya fokus menulis dan mengirim naskah ke penerbit besar. Alhamdulillah, jalannya terbuka satu per satu.
Semua naskah yang saya kirim, sebenarnya bukanlah naskah baru. Itu stok naskah di komputer yang belum menemukan jodohnya. Semuanya telah pernah saya tawarkan ke penerbit, tapi belum berjodoh. Agaknya, tahun ini (2011), adalah waktu yang tepat menurut Allah Swt. Meskipun saya telah berusaha memasarkan naskah-naskah itu, jauh sebelum tahun ini, rupanya tahun inilah keputusannya. Apa pun, saya bersyukur telah dibukakan jalan kembali untuk menekuni profesi penulis.
Bagaimana saya menulis di tengah kerepotan mengurus anak-anak yang masih batita? Dua anak saya, baru berusia 3 dan 2 tahun, ketika saya kembali menekuni profesi menulis. Dulu, perhatian saya lebih banyak untuk mengurusi mereka, mengingat mereka masih bayi. Ketika ada khadimat, saya menitipkan mereka sebentar, sekitar dua jam. Anak-anak bermain bersama khadimat, dan saya menulis. Hanya dua jam dalam sehari, selebihnya saya terus bersama anak-anak. Apalagi yang kecil masih ASI, jadi tidak bisa lama-lama jauh dari ibunya.
Lalu, setelah tidak berhasil mendapatkan khadimat yang menginap, saya memakai khadimat yang pulang pergi. Kerjanya antaraq jam 7-11 siang. Dia hanya mengurusi urusan rumah tangga, anak-anak tetap saya yang pegang. Biasanya, saya curi-curi waktu untuk menulis. Komputer saya nyalakan, lalu sesekali saya nulis ketika anak-anak sedang lengah. Kok bisa? Alhamdulillah, bisa. Mungkin karena sudah terbiasa menulis, jadi saya bisa cepat menuangkan isi pikiran dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selebihnya, saya menulis ketika anak-anak tidur. Itulah waktu di mana saya bisa berkonsentrasi penuh.
Namun, tetap saja ya, hasil-hasil tulisan yang terbaru, belum bisa dinikmati, karena belum selesai. Tidak seperti ketika lajang, di mana saya punya banyak waktu, sekarang benar-benar harus banyak mengalah. Terlebih setelah tidak pakai khadimat lagi. Kadang saya baru buka komputer setelah anak-anak tidur, atau sebelum subuh, saat anak-anak belum bangun. Jadi, pekerjaan saya lebih banyak merevisi naskah yang sudah lama ditulis. Itulah keuntungannya menyetok naskah. Ketika ada tawaran menerbitkan buku, kita langsung siap sedia. So, menulis tidak perlu berjam-jam. Kalau pas ada waktu berjam-jam, Alhamdulillah. Kalau tidak ada, satu-tiga paragraph juga sudah lumayan. Maklum, ibu rumah tangga yang harus mengurusi semuanya sendiri.
Kadang-kadang memang saya merasa lelah, karena sekarang harus mengurusi pekerjaan rumah tangga sendirian, mengurus anak juga, dan kuras otak untuk menulis. Yang paling saya benci adalah ketika saya sudah “terikat.” Sebenarnya, pilihan menjadi penulis lepas yang bekerja dari rumah adalah supaya tidak terikat. Karena saya memprioritaskan urusan keluarga, jadi ingin calm down saja dalam menulis. Tapi, ketika naskah sudah di tangan penerbit, lalu ada revisi, bahkan kemarin saya diminta membantu mencari kover untuk buku saya, mau tidak mau ikut puyeng juga dengan deadlinenya. So, kalau sudah begitu, ada saja letupan-letupan emosi dan cenderung sensitive.
Apa yang saya cari dari menulis? Materi? Alhamdulillah, suami saya mampu menafkahi, bahkan saya pernah tiga tahun tanpa penghasilan dari menulis, dan tidak ada masalah. Jika sekarang sudah ada penghasilan yang masuk dari menulis, itupun untuk saya pribadi. Kadang memang saya bersedekah ke suami, tapi kalaupun tidak, juga tidak masalah.
Lalu, apa yang saya cari dari menulis?
Panggilan jiwa. Itu alasan paling utama. Menulis sudah menjadi bagian hidup saya sejak masih SMP. Bayangkan jika sehari saja tidak menulis. Ah, ya, tentu saja saya pernah berhari-hari tidak menulis, ketika masih sangat sibuk mengurusi kedua bayi saya. Rasanya gemas bukan main, karena adanya dorongan kuat untuk menulis. Jadi, bagaimanapun keadaannya, saya harus terus menulis,m eskipun mencuri-curi waktu.
Alasan lainnya, dengan menulislah saya berkontribusi kepada masyarakat. Saya bukan tipikal orang yang bisa berbicara di depan public secara langsung, bukan orang yang organisatoris sehingga tergabung di organisasi pemberdayaan perempuan, atau kumpul-kumpul ibu RT. Pada dasarnya, saya tidak suka keramaian secara nyata. Saya lebih suka membagi pikiran melalui tulisan.
Saya suka menulis novel. Tetapi, cobalah baca novel-novel romantis yang banyak beredar di kalangan remaja kita. Banyak yang mengumbar seks bebas dan perilaku negatif. Novel-novel semacam itu harus dikalahkan oleh novel-novel yang baik. Sementara kebanyakan penulis adalah wanita, dan sebagian besarnya adalah ibu-ibu. Saya ikut terpancing untuk menulis novel yang baik, mengalahkan novel-novel berhaluan seks yang banyak beredar di toko buku. Bagaimanapun caranya, meski harus mencuri waktu di antara pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak-anak.
Ibu-ibu lain juga pasti bisa, dengan mengoptimalkan sumber dayanya masing-masing. Ibu yang jago masak, membuat catering dengan menu makanan yang sehat. Ibu yang jago menjahit, membuka usaha jahitan, konveksi, butik busana muslimah yang sesuai syariat. Ibu yang jago dagang, bisa membuka toko online. Bukankah Khadijah juga berdagang?
Yuk, ibu-ibu, maksimalkan potensi kita—apa pun itu—selama tugas utama mengurus rumah tangga dan anak-anak, tidak terbengkalai.
Yuk, ibu-ibu, maksimalkan potensi kita—apa pun itu—selama tugas utama mengurus rumah tangga dan anak-anak, tidak terbengkalai.
Selamat ya mbak ...
ReplyDeleteSmoga makin sukses dlm berkah Allah SWT ^^
Mugniar (Bundanya Fiqthiya)
http://mugniarm.blogspot.com
wah... selamat ya mbak. saya juga sebenernya suka menulis tapi naskah-naskah itu akhirnya nganggur di komputer karena masih malu untuk mengirimkannya ke penerbit (selain binun juga mau diberikan untuk penerbit yang mana) salut de buat mbak leyla hana...
ReplyDeletewah... selamat ya mbak. saya juga sebenernya suka menulis tapi naskah-naskah itu akhirnya nganggur di komputer karena masih malu untuk mengirimkannya ke penerbit (selain binun juga mau diberikan untuk penerbit yang mana) salut de buat mbak leyla hana...
ReplyDeletesuka banget.. sangat menginspirasiku mbak .kayaknya mbak udah menekuninya cukup lama dan baru sekarang fokus.. jadi udah banyak tabungan tulisan di file computer...kalo aku masih nabung tulisan dan masih belajar nulis.. nggak jelas mau tema yang mana...Hari ini nulis cerita anak, minggu depan nulis roman, minggu depannya lagi nulis true story...kasih saran dong mbak ...
ReplyDeleteselamat ya mbak...semoga saya cepat nyusul punya buku juga nich..hehehe
ReplyDeleteselamat mb dan semoga semangat dan tambah segala-galanya...tak lupa bagi ilmunya doooong dengan saya.
ReplyDeleteMba Mugniar: Sama-sama, makasih dah mampir. Aaamiin....
ReplyDeleteMba Rike: Makasihd ah mampir ya. Jangan dianggurin naskahnya. Sayaaang... coba mulai ditawarkan ke penerbit.
Mba Rina: Aaamiin.. semoga menyusul ya
Mba Mahabbah: Aaamiin.. makasih doanya. Insya Allah saya bagi ilmu di blog ini.
Mba Yunita: Makasih, ya. Saya memang sudah lama nulis, jadi sudah banyak tabungan naskah. Tinggal cari penerbit yg tepat sambil terus nulis.
salam kenal, mbak. kisahnya benar-benar penuh inspirasi ... saya juga ingin bisa!
ReplyDeletesalam sukses selalu ^_^
(risablogedia.blogspot.com)
Sama-sama, Mba Marisa.. :D
Deletesalam kenal juga ya mba,maaf sudah komen berkali-kali tapi baru ini kenalannya he..he..he..
Deletesaya salut sama mbak lely bisa menerbitkan 4 buku dalam 1 tahun.hebat mbak..subhanallah itu
4 buku dalam setahun? Wow, subhanallah! Selamat ya, Bunda Leyla! Semoga berkah bukunya buat Bunda & para pembaca. Bytheway, Bunda udah punya brp tabungan naskah? Banyak-banyakan yok! Kalau aku tabungannya bisa diitung jari :D
ReplyDeleteAyooo... banyak-banyakan tabungan, hehe
Deletekunjungan gan.,.
ReplyDeletebagi" motivasi.,.
Orang miskin bukanlah seseorang yang tidak mempunyai uang,
tapi ia yang tidak memiliki sebuah mimpi.,
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
Wah, selamat mbak, 4 buku dalam satu tahun...
ReplyDeleteterimakasih, tulisannya benar-benar memotivasi. Salam kenal mbak :D
Salam kenal juga, Rosika... makasih ya dah mampir... salam sukses..
Deletesangat menginspirasi sekali, mbak.....apakah mbak bisa share alamat penerbit buku yang memungkinkan naskah saya tuk dikirim ke sana???trims.....
ReplyDelete