Keprihatinan itu muncul kala saya kuliah di Semarang, kota yang menurut saya amat toleran. Saya baru duduk di awal semester satu kuliah, ketika berkenalan dengan sepasang muda-mudi yang berpacaran. Yang perempuan beragama Katolik, yang lelaki beragama Islam. Kami saling bertukar cerita. Si perempuan begitu bersemangat menceritakan kisah cintanya yang terjalin sejak SMA. Mereka bersekolah di sekolah yang sama, sebuah sekolah Katolik. Di Semarang, banyak terdapat sekolah nonmuslim, dan tak sedikit anak-anak muslim yang disekolahkan di sekolah nonmuslim.
Si perempuan yakin kisah cintanya akan berjalan terus sampai menikah, karena mereka sama-sama setia. Keluarga mereka juga tidak mempermasalahkan perbedaan agama di antara keduanya. Mereka sama-sama toleran. Ah, toleran. Sebuah kata yang sering disalahgunakan. Kita memang harus bertoleransi terhadap penganut agama lain, tapi tidak dalam hal ibadah. Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang suci, diucapkan langsung di hadapan Allah.
Kemudian, saya kembali dihadapkan pada kenyataan yang lebih pahit. Ya, saya melihat sendiri bagaimana akibat dari pernikahan berbeda agama itu. Ketika kami sedang berbincang-bincang di depan kamar kos, cucu ibu kos datang. Umurnya baru 4 tahun. Sejak kemarin, dia sudah datang menyambangi neneknya, si pemilik kos-kosan tempat tinggal kami. Dia datang bersama ibunya, sedangkan ayahnya bekerja di Jakarta. Hanya sesekali pulang ke rumahnya di Solo.
Gadis kecil itu sangat cantik, berwajah Jepang, dengan rambut lurus bak direbonding (halaah…) dan mata sedikit sipit. Agaknya mengikuti ibunya yang cantik jelita bak model metropolitan. Gadis kecil itu ditemani oleh susternya (babysitter). Susternya kelihatan akan menyuapi makan anak majikannya. Anak perempuan memang lebih banyak bicara dibandingkan anak laki-laki. Di usia 4 tahun, gadis kecil itu sudah lancar bicara dan cerewetnya bukan main. Saya dan teman-teman sangat senang mengajaknya bicara.
Ketika dia hendak disuapi makan, teman saya menyela, “Eh, kan belum baca doa. Baca doa dulu, yuk….” Teman saya membaca doa makan. Tiba-tiba,
“Tante, doaku bukan begitu!” gadis kecil itu menyela.
Kami semua berpandangan, tak mengerti. Sebelum bertanya, gadis kecil itu menjawab duluan,
“Tante, aku kan Katolik, bukan Islam.”
Rasanya mau pingsan di tempat. Ah, tidak salah kok ya dia mau beragama apa. Masalahnya, setahu kami, neneknya beragama Islam, bahkan ibadahnya sangat rajin. Tengah malam sering bangun untuk Tahajud, dan pagi-pagi salat Duha. Tapi, kok bisa cucunya beragama Katolik??? Dari susternyalah kami tahu cerita selengkapnya. Ya, ibu si gadis itu beragama Katolik, sedangkan ayahnya yang anak ibu kos kami, beragama Islam. Mereka menikah berbeda agama. Ah, pingsan lagi, deh….
Si gadis kecil terus berbicara, yang hanya membuat kami terlongong-longong.
“Tante, aku ikutin Mama aja. Papa beliin aku mukena, tapi aku gak mau. Aku lebih suka ke gereja sama Mama… kalau Papa datang, Papa suka ngajak aku solat, tapi aku gak mau. Aku kan Katolik….”
Cinta… ah, cinta harus dikalahkan, bila sudah berhadapan dengan keyakinan. Itu prinsip saya. Tak mungkin ada dua nakhkoda dalam satu kapal. Lihatlah, gadis kecil itu. Sekecil itu, dia sudah harus memilih, antara (agama) mamanya dan (agama) papanya.
Dan sejak itu, tertulislah kisah Jean Sofia di dalam novel ini. Bersetting di Semarang, di mana saya dipertemukan dengan kisah cinta berbeda agama. Bahkan, tahun ini, ah.. sedih rasanya mengingat kisah salah seorang sahabat saya. Saya mendengar kabar bahwa dia sudah melepas jilbabnya karena menjalin cinta dengan pemuda berbeda agama. Sahabat masa kuliah saya di Semarang. Apakah cinta kepada manusia sudah menjauhkannya dari cinta kepada Allah? Padahal, cinta kepada manusia, tidaklah abadi.
Saya merasa harus menyampaikan pesan di dalam novel ini. Cinta memang tak bisa memilih kepada siapa atau apa. Tetapi, hidup haruslah memilih, pilihan yang terbaik untuk menyinari kehidupan kita. Jean Sofia dihadapkan pada cinta terhadap lawan jenis yang berbenturan dengan perbedaan keyakinan.
Maukah kamu saya ceritakan kisah seorang pemuda di zaman tabi’in? Dia tengah kelaparan. Lalu, dilihatnya sebuah rumah dengan jendela terbuka. Dia pun segera memasuki rumah itu dan mencoba untuk mencuri makanan. Niatnya urung dilakukan setelah teringat bahwa perbuatan itu berdosa. Dia kembali ke masjid dan menahan diri dari laparnya.
Tak lama, datang seorang wanita menemui Ustadz penjaga masjid. Wanita itu adalah seorang janda kaya yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Dia hendak mencari pemuda yang mau menikah dengannya demi menjaga kehormatannya. Si Ustadz memandang si pemuda yang kelaparan dan menawarkan pemuda itu kepada si janda. Janda itu setuju untuk menikah dengan pemuda kelaparan itu.
Ketika sang pemuda tiba di rumah sang janda, terkejutlah ia, karena rumah itu adalah rumah yang hendak dicurinya beberapa saat lalu. Setelah menikah dengan si janda, dia bukan saja bisa menikmati makanan yang hendak dicurinya, tapi juga seluruh harta si janda. Itulah imbalan dari kemampuannya mengurungkan niat melakukan perbuatan tercela.
Allah pasti membalas setiap usaha kita dalam menjauhi perbuatan haram. Pernikahan beda agama, jatuhnya adalah berzina. Jika kita bisa mengalahkan perasaan cinta itu demi cinta yang lebih baik, niscaya akan kita dapati cinta yang lebih baik. Seperti Jean dan Sofia.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....