LIMA BELAS
Manusia tidak pernah tahu apa yang akan dialaminya besok. Rencana-rencana boleh saja dibuat, tapi Allah juga yang menentukan. Demikian juga dengan Hara. Hari yang ditentukan pun tiba. Hari di mana ia akan berkenalan dengan ikhwan yang diajukan oleh Hamidah, kakaknya. Bersama Hamidah dan suaminya, Hara menemui ikhwan itu. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan demi mengenal lebih dekat pribadi masing-masing. Dari perkenalan itulah Hara semakin tahu bahwa ikhwan itu seorang sarjana teknik, pekerjaan arsitek, anak kedua dari empat bersaudara, berasal dari keluarga menengah ke atas, tampang lumayan dengan jenggot tipis khas ikhwan dan tidak punya masa lalu yang kelam. Ah, kenapa Hara terus memikirkan tentang masa lalu? Hara sendiri tak tahu kenapa. Mungkin ia trauma dengan keberadaan Arya. Arya. Arya lagi, Arya lagi.
Arsitek yang bernama lengkap Bimo Handoko itu juga sudah mengenal Hara sejelas-jelasnya. Seorang sarjana sains yang merintis karir sebagai guru. Tipe istri idaman. Baik Hara dan Bimo, keduanya sederajat. Sama-sama sarjana, sama-sama berasal dari keluarga menengah ke atas dan sama-sama salih dan salihah. Tetapi tidak begitu saja mereka memutuskan cocok satu sama lain. Ada satu Zat yang harus dimintai pendapatnya. Allah Subhanahuwataala. Mereka harus berkonsultasi dulu dengan Allah. Mereka harus salat Istikharah dulu. Satu minggu mereka salat Istikharah untuk memantapkan keputusan yang akan mereka ambil nanti.
Satu minggu ini akan menjadi hari yang sangat menentukan buat Hara. Apalagi minggu ini adalah minggu pertama Ramadan. Pada bulan ini, Allah sangat sangat dekat dengan hamba-Nya. Hara berharap jawaban yang didapatnya dari salat Istikharah nanti menjadi keputusan terbaik untuknya. Keputusan yang menentukan kehidupannya nanti. Menikah…atau tidak.
***
Hara berdiri seperti patung saat tukang jahit langganannya mengukur tubuhnya dengan meteran. Ia memang sedang berada di tukang jahit yang akan menjahitkan pakaiannya pengantinnya. Akhirnya, keputusan dibuat. Ia dan Bimo sama-sama mantap menikah. Kedua orang tua telah dipertemukan dan mereka pun telah sepakat. Sekarang kedua keluarga itu sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, seperti Hara yang saat ini rela berdiri mematung agar ukuran-ukuran tubuhnya bisa diambil oleh penjahit langganannya.
Ternyata menikah itu repot, tapi hasilnya nanti kan enak. Hara tersenyum sendiri. Bayangan pernikahan tanpa sadar telah melambungkan angannya. Setelah menikah, ia akan terbebas dari Arya. Omong-omong tentang Arya…sebenarnya sudah hampir sebulan ini Arya tidak muncul. Entah di mana dia berada. Hara tak mau memikirkannya lagi. Ia sudah tak sabar menunggu tibanya hari pernikahan.
***
Bulan Ramadan tak terasa telah berakhir, digantikan oleh hari raya Idul Fitri. Sebulan lagi pernikahan Hara dan Bimo digelar. Semua pernak-pernik pernikahan telah siap, termasuk undangan yang hanya menunggu waktu untuk disebarkan. Lebaran kali ini adalah lebaran yang sangat spesial bagi Hara, karena sebulan setelah lebaran ia menikah.
Hara membaca SMS yang masuk ke nomor ponselnya. Senyumnya terkembang membaca nama si pengirim. Salwa! Subhanallah! Sudah lama mereka tidak berhubungan. Sejak Hara lulus dan kembali ke Jakarta, mereka memang masih sering berhubungan dengan SMS, tapi selanjutnya tidak lagi. Hara senang sekali karena Salwa tidak melupakannya.
Dari: Salwa
Sebelum mentari terbit dari Barat dan sebelum semua pintu tobat ditutup, tiada salahnya aku berucap; mohon maaf lahir dan batin. Semoga amal perbuatan kita diterima oleh Allah SWT.
Hara tersenyum membaca pesan singkat dari Salwa tersebut. Ia membalas SMS Salwa.
Sama-sama. Aku juga mohon maaf lahir dan batin.
Tak lama, SMS balasan dari Salwa datang lagi.
Aku dengar kamu mau menikah. Kok nggak bilang-bilang, sih?
Hara mengerutkan kening. Perasaan ia memang belum mengatakan ke teman-temannya di Surabaya. Undangannya baru mau dikirim minggu depan. Ia membalas SMS Salwa lagi.
Kamu tahu dari mana, Wa?
SMS balasan dari Salwa datang beberapa menit kemudian.
Ada, deh. Jawab dulu pertanyaanku.
Hara geleng-geleng kepala. Ia mengetik jawaban untuk Salwa.
Tunggu saja undangannya.
Di Surabaya, Salwa tersenyum. Meskipun ia sudah lulus kuliah, ia masih tinggal di Surabaya. Ia memang ingin berdakwah dan berkarir di kota itu.
Aku tunggu.
Hara tersenyum.
“Hara…,” panggil Hamidah, tiba-tiba. Hara melongokkan kepala ke luar pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
“Ada apa, Kak?” tanyanya. Setiap hari lebaran, keluarga Hamidah memang selalu datang ke rumahnya.
“Ada kabar buruk untukmu,” Hamidah tertunduk. Hara tertegun. Kabar buruk…? Seburuk apakah…?
***
Entah apa yang harus keluar dari mulut Hara. Pada hari kemenangan ini, ia harus menerima kabar yang sangat menyakitkan hatinya. Ibu kandung Bimo tidak menyetujui pernikahannya dengan Bimo...!
“Hara, tenang, Ra. Keputusan ibunya itu belum final. Ia menyetujui pernikahan kalian, tapi harus dicari waktu yang tepat sesuai dengan tanggal lahir kalian. Artinya, harus dicari hari baik menurut primbon.” Hamidah menenangkan.
Hara menghirup napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri. Dihapusnya air mata yang jatuh di pipinya. “Tapi…tapi kenapa sekarang…? Kenapa nggak diomongin dari dulu…?”
“Selama ini komunikasi mereka memang tidak begitu bagus. Apalagi ibu kandung Bimo tinggal di Swedia. Bimo sudah memberitahu ibunya bahwa dia akan menikah dan ibunya sudah menyetujui dan menyerahkan semua urusan pernikahan ini kepada ayah dan ibu tiri Bimo. Tapi, setelah ibunya tahu bahwa tanggal pernikahan kalian tidak mengikuti primbon, beliau menentang mati-matian. Beliau ingin kalian menikah di hari yang baik sesuai primbon agar pernikahan kalian awet. Beliau tidak ingin kesalahan yang pernah menimpa pernikahan beliau dan ayah Bimo terulang. Dulu mereka menikah tanpa mengikuti primbon.” Arif menguraikan.
Hara mendengarkan sambil terus sesegukan. Setegar apa pun ia menghadapi berita buruk ini, tetap saja air matanya jatuh tak tertahan. Perihal keluarga Bimo, tentu ia sudah tahu betul. Bimo sudah menceritakannya saat ta’aruf dulu. Ibu dan Ayah Bimo bercerai pada waktu usia Bimo sepuluh tahun, lalu masing-masing menikah lagi. Ibu Bimo yang menikah dengan orang Swedia pindah ke negara itu dan menjadi warga negara sana. Sejak itu, komunikasi antara Bimo dan ibunya kurang lancar. Hanya sesekali saja mereka berbicara lewat telepon. Bimo sendiri jarang mengunjungi ibunya di Swedia. Selain karena biaya yang mahal, ia juga punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Saat Bimo memutuskan untuk menikahi Hara, ia juga sudah memberitahu ibunya dan menceritakan sedetil-detilnya mengenai calon istrinya itu. Ibunya setuju dengan pilihan Bimo dan menyerahkan sepenuhnya kepada Bimo dan ayahnya. Namun, setelah hari pernikahan ditentukan, ibunya menentang mati-matian. Apalagi setelah tahu hari pernikahan yang telah ditetapkan itu bukanlah hari baik untuk Hara dan Bimo.
“Lalu, bagaimana keputusan Bimo? Apa dia menyetujui permintaan ibunya?” tanya Hara.
“Bimo masih memikirkannya, Ra. Kamu sendiri, mau nggak kalau pernikahan kalian diundur dua bulan lagi?” Hamidah balik bertanya.
Hara terbelalak. “Dua bulan lagi…? Jadi, dia percaya primbon?!”
“Tenang dulu, Ra. Istigfar….” Hamidah menepuk bahu Hara.
“Pokoknya Hara nggak mau! Semuanya sudah fix! Undangan sudah dicetak sesuai tanggal itu. Hara tidak mau membatalkan pernikahan hanya karena masalah syirik tersebut. Bukankah semua hari itu baik, Kak?!”
“Kakak tahu, Ra. Ini masalah akidah. Tapi, kita tetap harus memikirkan yang lebih baik.”
“Yang lebih baik gimana? Sudah jelas, ibunya yang salah. Bagaimana kalau waktu pernikahan kami yang sesuai dengan tanggal lahir kami itu tidak dalam dua bulan mendatang? Bagaimana kalau lebih dari itu? Berapa lama Hara harus menunggu, Kak? Kakak dan Mas Arif kan lebih tahu soal ini.”
“Kalau gitu, sebaiknya kita bicarakan dengan seluruh anggota keluarga kita dan Bimo,” ujar Mas Arif.
***
Hara menumpahkan semua kesedihannya di hadapan Allah SWT. Ia tahu, apa yang menimpanya sekarang hanya setitik ujian yang ditimpakan Allah untuk menguji kadar keimanannya. Hanya setitik. Tidak lebih. Masih banyak orang lain yang lebih menderita lagi. Ia harus bersabar dalam menghadapi masalah ini. Mungkin, ia juga harus salat Istikharah lagi untuk lebih memantapkan keputusannya menikah dengan Bimo. Kata orang, kalau jalan menuju pernikahan itu berbelit-belit, berarti pernikahan itu tidak diridai oleh Allah SWT.
***
Kedua tangan Arya terkepal. Berita yang didengarnya barusan membuat darahnya mendidih. Emosinya naik seketika. Ia tak terima dengan kenyataan ini. Pokoknya ia tak terima...!
“Kenapa lu baru ngomong sekarang, Ril?!” tanyanya marah pada Ariel. Baru saja Ariel memberitahukannya bahwa Hara akan menikah dengan pria yang bukan dirinya, sebulan lagi.
“Sabar, Ya. Sabar. Mungkin Hara memang bukan jodoh kamu.”
“Nggak mungkin…! Kenapa secepat ini…?”
“Proses pernikahan mereka memang cepat.”
“Siapa cowok itu, Ril? Siapa?!”
“Sabar, Ya! Kamu harus belajar menerima kenyataan!!”
“Cepat ngomong, Ril…!” Arya menarik kerah baju Ariel. Ariel diam. Tak ada gunanya menyiram api dengan api. Arya melengos. Ditinggalkannya Ariel yang menghembuskan napasnya dalam-dalam.
***
Kafe itu belum terlalu dipenuhi orang karena baru saja dibuka pukul tujuh ini. Di pojok ruangan, Arya terlihat gusar menunggu teman-temannya. Berkali-kali ia merokok dengan tak sabar.
“Maaf, Ya! Kami telat!!” kata beberapa orang, tiba-tiba. Arya bangkit seketika.
“Bagaimana sih kalian! Gue nunggu sampe karatan! Duduk!!” bentaknya, kasar. Empat orang lelaki di depannya menuruti perintah Arya.
“Ada apa, Ya? Katanya ada kerjaan?” tanya seorang lelaki dengan luka di keningnya. Arya memangginya, Black.
“Gue minta kalian beresin orang ini. Tangkap dia dan bawa ke markas untuk menemui gue. Malam ini juga!” Arya menyodorkan sebuah foto. Foto lelaki bernama Bimo. Lelaki yang beberapa minggu lagi akan menikahi Hara. Arya sudah menyelidikinya, tapi ia tak puas. Rasanya ia ingin menghujani lelaki itu dengan bogem mentah.
“Memangnya kenapa dengan dia, Ya?” tanya salah satu temannya lagi.
Arya mendengus. “Dia merebut cewek gue!”
Teman-temannya tertawa. “Yah, Ya! Gue kira apa. Kan elu bisa cari yang lain!!”
Arya meraih kerah salah satu temannya yang bicara tadi. “Elu kayak nggak pernah ngerasain jatuh cinta aja! Pokoknya, tangkap orang ini...!”
“Iya, iya, Ya. Sebagai teman, kami akan membantu elu. Tenang, Ya,” kata seorang temannya. Arya mendengus lagi. Ia sudah tak sabar ingin bicara dengan lelaki itu. Ia ingin tahu lebih dekat seperti apa lelaki itu sampai bisa meraih hati Hara. Ia kesal sekali mendengar Hara akan menikah dengan pria lain. Padahal ia sedang berusaha berubah demi gadis itu. Berubah menjadi lebih baik. Kuliah, mencari kerja yang lebih layak, dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menikahi Hara. Ternyata...Hara mengkhianatinya.
***
Bimo memasukkan motornya ke dalam garasi rumahnya. Usai melepas helm, ia menghapus peluh yang membanjir. Pulang dari kantor rasanya letih sekali. Biasa, jalanan Jakarta selalu macet pada jam-jam kerja dan pulang kerja. Belum sempat Bimo masuk ke dalam rumah, beberapa orang lelaki menyergapnya. Bimo berusaha melawan, tapi pukulan dari salah satu lelaki itu di tengkuknya membuatnya tak berkutik.
Arya menatap lelaki yang meringkuk di pojok ruangan itu dengan gusar. Jadi itu lelaki yang akan menikah dengan Hara? Selama ini ia hanya melihat lelaki itu dari jauh dan dari foto yang diam-diam diambilnya. Sekarang ia bisa melihat lelaki itu dari dekat. Dekat sekali.
Lelaki itu memang lumayan. Ada jenggot tipis di dagunya dan dua noda hitam di keningnya. Wajahnya teduh. Sangat teduh. Lelaki itu pasti tipe lelaki penyabar, berbeda sekali dengannya yang emosional. Dan yang pasti, lelaki itu punya pekerjaan yang bisa dibanggakan. Ah! Semakin melihat lelaki itu, semakin Arya merasa tidak ada apa-apanya. Lelaki itu pasti ‘lebih’ darinya. Lebih segala-galanya.
Bimo membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali. Pandangannya berkunang-kunang. Ia melihat seseorang duduk di hadapannya.
“Anda...? Anda yang membawa saya ke sini...?” tanyanya, lirih. Arya sudah tak sabar ingin menghujani lelaki itu dengan pukulan. Betapa ia benci lelaki itu.
Bimo berusaha melepas tali yang mengikat kedua tangan dan kakinya, tapi tak kuasa. Benaknya masih dipenuhi pertanyaan. Mengapa ia dibawa ke sini dan siapa lelaki itu? “Anda siapa? Kenapa Anda membawa saya ke sini?”
“Tidak usah tanya-tanya!!” bentak Arya. Bimo benar-benar tak mengerti. Ia berpikir, mungkin orang di depannya itu hanyalah suruhan seseorang yang membencinya. Tapi siapa? Siapa yang membencinya? Setahunya ia tak punya musuh.
“Kalau boleh, saya meminta ijin untuk salat. Saya belum salat Isya,” pintanya. Arya terperangah mendengarnya. Salat...?
“Di sini tidak ada kamar mandi,” jawabnya, ketus.
“Kalau begitu, saya akan bertayamum saja.”
“Silakan!!” Arya memanggil teman-temannya. Salah seorang temannya melepaskan ikatan di tangan dan kaki Bimo. Sekarang Bimo tahu kalau ia tak bisa melarikan diri. Ia pikir lelaki itu hanya sendirian, ternyata teman-temannya ada di luar.
Arya melihat Bimo yang sedang salat dengan khusyuk. Ah! Ia jadi merasa semakin kecil. Pantaslah kalau Hara lebih memilih Bimo ketimbang dirinya. Bimo seratus kali lipat lebih baik darinya.
Usai salat, Bimo kembali menanyakan pertanyaan serupa. “Siapa Anda? Siapa yang menyuruh Anda?”
“Tidak ada yang menyuruh saya!”
“Maaf, saya tidak mengenal Anda. Kalau Anda membenci saya, kenapa?”
Arya mendengus. “Saya membenci Anda!” Tangannya hampir saja melayang ke wajah Bimo, tak tak jadi. “Karena Anda merebut calon istri saya...,” ujarnya, pedih. Bimo tersentak. Calon istri...? Masya Allah...! Hara...!
“Maaf, apa hubungan Anda dengan Hara?”
“Yang pasti, aku mencintai Hara. Sangat mencintainya. Aku tidak ingin dia diambil siapa pun!!”
Bimo makin terkejut mendengarnya. “Saya...maaf, saya tidak tahu apa-apa tentang ini.”
“Tidak tahu?! Memangnya Hara tidak pernah cerita padamu?”
“Tidak.”
“Tidak mungkin! Kalian sudah akan menikah. Hara pasti sudah menceritakan semuanya kepadamu!”
“Hanya hal-hal penting saja yang dia ceritakan.”
“Kau pikir urusanku ini tidak penting?!!” Refleks, Arya meninju Bimo. Bimo merasa bibirnya perih sekali. Ada darah yang ke luar dari sana. Arya makin tak senang melihat Bimo tak membalas pukulannya. Ia kembali memukuli Bimo bertubi-tubi.
***
Hara terkejut mendengar cerita tentang pemukulan yang dilakukan beberapa orang terhadap Bimo kemarin malam. Hara mendengarnya dari Arif.
“Siapa, Mas? Siapa yang sudah memukuli Akh Bimo?” tanyanya, khawatir. Arif tak tega berterus-terang. Bimo memang tidak menyebutkan nama karena ia tak tahu siapa nama lelaki itu. Tapi Arif menduga bahwa Arya lah pelakunya. Ciri-ciri yang disebut Arya mengarah ke sana.
“Entahlah. Mas tidak mau berprasangka buruk. Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Lelaki itu sepertinya hanya ingin melampiaskan kemarahannya saja. Buktinya, dia memulangkan Bimo sampai ke rumahnya.”
Hara tertunduk. Masalah apa lagi ini? Belum selesai masalah yang satu, sudah muncul masalah lain. Diam-diam Arif prihatin dengan kejadian yang dialami adik iparnya itu.
“Sudahlah. Tidak usah dipikirkan, ya. Berdoa saja semoga pernikahanmu dan Bimo jadi dilaksanakan.” Arif menegarkan.
“Mas Arif memang tidak mau berprasangka buruk mengenai orang yang telah menyekap Bimo dan memukulinya. Tapi dari ciri-ciri yang diceritakan Bimo dan alasan orang itu menyekapnya, Mas Arif dan Kakak sudah bisa menduga bahwa orang itu adalah Arya,” kata Hamidah, di lain kesempatan saat tak ada Arif di sisinya.
Hara tersentak mendengarnya. “Arya?!”
“Mungkin. Soalnya lelaki itu bilang dia menculik Bimo karena kesal mendengar kamu akan menikah dengan Bimo. Lelaki itu bilang kalau dia sangat mencintai kamu.”
Hara jadi malu mendengarnya. Arya. Apa lagi sih yang kamu inginkan...?
“Kakak bisa mengerti apa yang ada di pikiran Arya. Orang yang sedang dimabuk cinta memang begitu, Ra. Apalagi laki-laki. Mereka akan berusaha meraih gadis yang mereka cintai, kecuali kalau mereka sudah memiliki pemahaman agama yang bagus,” ujar Hamidah lagi.
“Terus?”
“Ya...tentu saja Kakak juga berpikir bahwa dia kurang baik untukmu. Dia memang mencintaimu, tapi cinta yang menggebu seperti itu bahkan sampai kelewat batas kan tidak baik. Cinta yang menggebu hanya boleh untuk Allah, sedangkan cinta untuk manusia hanya salah satu sarana untuk menggapai cinta Allah. Sekarang, kamu pasrah saja, ya. Jodoh ada di tangan Allah. Kalau kamu memang berjodoh sama Bimo, kamu akan menikah dengannya. Masalah-masalah seperti ini, jangan sampai membebani pikiranmu.” Hamidah menggenggam tangan Hara, erat.
Hara menghela napas. Mana mungkin masalah sebesar itu tidak membebani pikirannya? Masih untung Bimo ‘hanya’ dipukuli oleh Arya. Bagaimana kalau Arya sampai membunuhnya? Ah, Arya! Kenapa kau bisa berubah seperti itu? Apa yang terjadi padamu? Mungkinkah cinta membuatmu buta seperti itu?
***
Hara mendengar bunyi bel ditekan. Ayah dan ibu sedang tidak ada di rumah, sedangkan Hamidah beserta suami dan anak-anaknya sudah kembali ke rumah mereka. Terpaksa harus ia sendiri yang membukakan pintu untuk tamu itu. Entah tamu untuk siapa.
Hara terbelalak melihat orang yang datang ke rumahnya malam hari ini. “Arya…?!”
Arya lega. Akhirnya setelah sekian lama ia berusaha menahan diri untuk bertemu Hara, malam ini keinginannya terkabul. “Apa kabar, Ra? Sudah lama kita tak bertemu.”
“Arya…? Mau apa kamu ke sini?”
“Nggak boleh? Saya ingin mengucapkan selamat atas rencana pernikahanmu.”
Hara terkejut mendengarnya. “Dari mana kamu tahu? Aku kan belum menyebarkan undangan?”
“Jadi, benar kamu akan menikah?” tanya Arya, memastikan. Hara tertunduk. Sebenarnya, ia sendiri belum tahu apakah rencana pernikahannya itu jadi atau tidak mengingat masalah yang terjadi di dalam keluarga Bimo.
“Insya Allah, kami akan menikah sebulan lagi,” jawabnya. Arya terhenyak. Ia menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Melihat Arya, ia teringat cerita Hamidah waktu itu.
“Siapa…siapa dia, Ra?”
“Nanti kamu juga tahu, Ya. Mungkin tak lama lagi undangannya sudah disebar. Oh ya, sebenarnya ada apa kamu datang ke mari? Hanya untuk menanyakan hal itu? Dari mana kamu tahu aku akan menikah?”
“Kamu nggak nyuruh aku masuk dulu?”
“Kita duduk di sini aja, ya,” Hara menyilahkan Arya untuk duduk di salah satu bangku di teras rumahnya.
“Terima kasih. Aku memang datang hanya untuk menanyakan itu. Aku tak percaya.”
“Memangnya kenapa?”
“Tidak percaya saja. Entahlah. Aku tidak tahu. Boleh kan aku tahu kapan dan di mana kamu mengenal calon suamimu itu?”
“Dia adik teman kakak iparku.”
“Dia pasti seorang sarjana yang sudah mapan.”
Hara terkejut mendengar kalimat Arya barusan. Apa maksud perkataan Arya itu? “Tidak juga. Kami belum punya rumah dan mungkin kami akan mengontrak seperti pasangan pengantin baru lainnya,”
“Tapi dia pasti lebih baik dariku, kan? Dia pasti lebih pintar, lebih berhasil, dan lebih alim.”
“Apa maksudmu, Ya? Sejauh ini dia memang baik. Kakak iparku tidak akan mencarikan jodoh yang tidak baik untukku.”
“Seperti aku maksudmu?” tanya Arya, tajam. Hara merasa obrolan mereka mulai tak enak.
“Arya, sebenarnya kamu kenapa, sih?”
“Kamu yang kenapa? Kenapa selama ini kamu menghindariku, Ra? Kamu pikir aku tidak tahu, ya?”
“Maksudmu apa, sih….”
“Jangan berbohong lagi! Perempuan seperti kamu tidak pantas berbohong!!”
“Arya...!”
“Katakan saja sejujurnya, kamu tidak suka bergaul denganku kan, Ra? Kamu tidak suka karena aku mantan narapidana, karena aku pernah terjebak narkoba!!”
“Arya…bukan begitu….”
“Karena kamu merasa terlalu suci untuk bergaul denganku, makanya kamu menjauhiku! Iya, kan, Ra?!”
“Arya…kamu…kamu kenapa, sih…?” Hara bangkit dari duduknya karena merasa takut dengan sikap Arya barusan. Arya juga bangkit dari duduknya.
“Kamu pikir, orang seperti aku sebaiknya mati saja, kan? Karena aku nggak berguna! Aku hanya sampah masyarakat...!”
Hara mengerutkan kening. Ia tak menyangka Arya akan marah-marah kepadanya seperti itu. “Arya…! Tenang dulu, Ya…! Tenang…!”
“Aku memang sebaiknya mati saja, Ra! Kalau aku mati kamu pasti senang! Lebih baik aku mati...!”
“Arya...!”
“Iya, kan, Ra?! Kamu nggak suka kan berteman denganku?! Kamu lebih suka aku mati saja, kan?!”
“Arya!! Tenang dulu, dong...!”
“Aku memang lebih baik mati!!”
“Arya, lebih baik kamu pergi saja dari sini!!”
“Hara!! Kamu tahu nggak sih kalau selama ini aku...” Arya tak jadi meneruskan ucapannya. Hara tertegun. Menunggu kalimat berikutnya ke luar dari mulut Arya. “Aku mencintaimu, Ra!! Aku mengharapkanmu dan menunggumu tapi kamu mengkhianatiku!!!”
“Arya....”
“Seharusnya aku sadar, aku tidak pantas menjadi pendampingmu,”
“Bukan begitu, Arya. Masalahnya, semua sudah terlambat.”
“Kamu sengaja, kan? Kamu sengaja mencari yang lain untuk menghindariku!!”
“Sudahlah, Ya. Aku....”
“Kamu memang lebih suka aku mati!!” Arya melengos sambil berjalan menuju motornya.
Hara geleng-geleng kepala. “Arya, kamu jangan begitu. Mungkin kita memang tidak berjodoh,”
“Aku tidak akan muncul lagi dalam hidupmu! Percuma aku berkorban untukmu! Kamu adalah orang suci yang tidak bisa diganggu oleh orang kotor sepertiku!! Kamu pasti senang kalau aku mati!!”
“Arya!!”
“Iya, kan?!”
“Ya sudah, kalau kamu ingin mati, mati saja sana!! Orang seperti kamu memang tidak pantas hidup! Temperamental! Emosional! Kamu kan yang sudah memukuli calon suamiku sampai babak belur?!! Masih untung Mas Bimo tidak mengadukanmu ke polisi...! Aku benci kamu, Arya! Benci!” bentak Hara, emosi. Arya melengos. Ia menaiki motornya dan berlalu meninggalkan Hara yang termangu. Hara tertegun dengan ucapannya barusan. Ia istigfar. Apa yang baru saja dikatakannya tadi? Mati? Ia menyumpahi Arya agar mati saja? Astagfirullah…! Betapa rapuh imannya. Ia terlalu cepat emosi.
***
Arya memacu motornya dengan kencang. Berganti-ganti kenangan tentang Hara berputar di kepalanya. Awal perjumpaannya dengan Hara dan hubungannya yang memang tak lebih dari teman itu. Ah! Kenapa sampai sekarang ia masih berpikir bahwa Hara memiliki perasaan yang sama dengannya? Kenyataan berkata lain. Hara akan menikah. Menikah! Menikah dengan pria yang bukan dirinya! Hara tak mencintainya! Percuma ia berkorban demi Hara! Percuma!!
Arya semakin memacu motornya. Ucapan Ariel terngiang lagi di telinganya. Jodoh. Jodoh. Ia dan Hara memang tidak berjodoh. Lalu kenapa ia masih mengejar-ngejar gadis itu? Apa yang disatukan Allah pasti bersatu, begitu juga sebaliknya. Seharusnya ia paham itu. Tak ada gunanya mengejar-ngejar Hara kalau gadis itu bukan jodohnya. Hara akan menikah dengan pria lain, tak lama lagi.
Ya sudah, kalau kamu ingin mati, mati saja sana!! Orang seperti kamu memang tidak pantas hidup! Temperamental! Emosional! Kamu kan yang sudah memukuli calon suamiku sampai babak belur?!! Masih untung Mas Bimo tidak mengadukanmu ke polisi...! Aku benci kamu, Arya! Benci...!
Bahkan Hara menyumpahinya! Hara menghendakinya agar mati saja! Hara membencinya! Membencinya! Masihkah ia mempunyai kesempatan untuk meraih cinta Hara kalau Hara saja sudah membencinya setengah mati?! Tidak...!
Arya semakin tak terkendali. Ia memacu motornya semakin kencang. Sesuatu menunggu di depan sana. Sesuatu yang akan memenggal sejenak kehidupannya.
Cinta itu telah hilang
Hilang tak berbekas
Aku tak menyangka
Ternyata usiamu hanya sejengkal saja
Ke mana lagi kuharus mencarimu?
Cinta....
***
Hara benar-benar tak menyangka atas apa yang akhir-akhir ini menimpanya. Pertama, kabar tidak menyenangkan yang datang dari Bimo kalau ibunya tidak setuju dengan tanggal pernikahan yang telah mereka tetapkan. Kedua, kedatangan Arya yang tiba-tiba dan diakhiri dengan pertengkaran hebat. Hara menyesal karena sampai terpancing dan mengucapkan sumpah yang tidak seharusnya diucapkan. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan ucapannya itu? Ah, entahlah. Ia merasa kepalanya sangat pusing. Peristiwa-peristiwa itu seharusnya tidak terjadi di saat ia akan menikah.
Hamidah menatap Hara, prihatin. “Ibu kandung Bimo tetap tidak terima dengan semua penjelasan kami. Padahal keluarga Bimo yang lain sudah menyetujui keputusan kami untuk tetap menyelenggarakan pernikahan kalian pada hari yang telah ditetapkan. Tapi Ibu Bimo bersikeras untuk mengundur pernikahan itu sampai mendapatkan hari yang sesuai menurut hari lahir kalian. Apalagi setelah beliau melihat anaknya babak belur dipukuli oleh fansmu. Beliau berpikir kamu adalah gadis pembawa sial.”
“Hah?! Dia bilang begitu?!” Hara terbelalak.
“Sekarang tergantung kamu. Kamu mau terus atau tidak?”
“Maksud Kakak apa?”
“Sepertinya jalan kalian sangat sulit. Kakak sendiri meragukan pernikahan kalian akan berjalan lancar.”
Hara tertunduk. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama. Sejak masalah itu mengemuka, ia malah merasakan ketidakmantapan atas keputusannya menikah dengan Bimo.
“Kak, aku tetap berpegang pada prinsip. Aku tidak percaya dengan primbon. Itu syirik, Kak. Kalau memang Bimo tidak mau menikah pada tanggal yang sudah ditentukan, ya sudah. Sebaiknya pernikahan ini dibatalkan saja. Aku juga tidak suka dibilang gadis pembawa sial.”
“Malam ini kamu salat istikhoroh lagi, ya? Agar apa yang kamu putuskan bukan berdasarkan emosional belaka. Besok baru kamu putuskan apa yang menjadi pilihanmu.”
Hara mengangguk. Setelah Hamidah meninggalkan kamarnya, ponselnya berdering.
“Assalamu’alaikum! Hara, ada berita gawat!!” kata si penelepon yang tak lain adalah Dita.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Dit? Kok kamu kedengeran panik gitu?”
“Em…Arya, Ra. Arya…Arya masuk UGD. Kemarin dia kecelakaan. Motornya tabrakan dengan kijang! Kalau bisa, kamu datang ke rumah sakit Fatmawati tempat dia dirawat, ya? Dari semalam, Ariel juga nungguin dia.”
Hara terbelalak. Arya…Arya kecelakaan?! Ia teringat kata-katanya kemarin.
“Ya sudah, kalau kamu ingin mati, mati saja sana!!”
Hara istigfar. Masya Allah…! Benarkah Arya mengalami kecelakaan akibat ucapannya kemarin…? Ya Allah…!
***
Bersambung.....
klik di sini untuk baca lanjutannya yaa
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....