TIGA BELAS
Keinginan Hara agar Dita berubah karena ia sering mengajaknya mengikuti pengajian terkabul. Dita semakin mendalami nilai-nilai Islam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memenuhi kewajibannya sebagai muslimah, ia berjilbab. Dan untuk menaati peraturan Allah, ia meminta Ariel agar segera menikahinya atau hubungan mereka berakhir. Ia tak mau lagi berhubungan lama-lama dalam ikatan yang tak pasti. Pacaran hanya akan membawanya menuju zina. Sesuatu yang sangat diharamkan oleh Allah. Tentu saja Hara senang melihat perubahan Dita tersebut. Ia juga senang dengan perubahan Ariel. Ariel juga mengikuti jejak Dita dengan menjadi lebih salih dan mereka akan menikah dua minggu lagi.
Akhirnya keinginan Dita untuk segera menikah dapat terwujud meskipun sebelumnya ia sempat bersitegang dengan Ariel yang belum siap menikah. Mereka berdua memang baru lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan. Ariel merasa tak sanggup kalau harus menikahi Dita sementara ia belum berpenghasilan. Orang tuanya memang kaya, tapi ia tak mau mengecewakan mereka. Ia tetap ingin mempersembahkan sesuatu untuk orang tuanya baru kemudian menikahi Dita dan membina hidup baru. Dengan kata lain, Ariel ingin bekerja dulu dan hidup mapan baru menikah. Tetapi Dita justru sebaliknya. Dita yang sudah memahami Islam sangat yakin bahwa rejeki akan datang usai mereka menikah. Dita yakin kalau pernikahan akan membuka pintu rejeki. Ia tetap ingin menikah atau hubungan mereka putus. Karena Ariel tidak mau kehilangan Dita, ia pun mengalah. Ternyata orang tua Ariel pun dapat mengerti keinginan anaknya itu. Pernikahan mereka akan digelar minggu depan.
***
Hara membuka buku tugas anak-anak didiknya. Buku-buku tugas itu sudah sejak dua hari lalu berada di mejanya. Ia baru sempat memeriksanya sekarang. Sejak mendapatkan tambahan tiga jam sehari, ia jadi kelimpungan. Sekarang selama setengah hari ia mengajar di SMA Mandala. Setengah harinya lagi mengajar di SMA lain. Belum lagi les privat yang diadakan malam hari di rumahnya. Praktis, ia sangat sibuk sekali. Di sela-sela waktu luang seperti inilah ia dapat memeriksa buku tugas anak-anak didiknya. Saat-saat di mana anak-anak didiknya sedang beristirahat.
“Permisi, Bu,” Seorang satpam sekolah mendatangi Hara. Hara mendongak.
“Ya? Ada apa?”
“Ada yang mencari Ibu.”
“Siapa?”
“Katanya…namanya…Pak Arya.”
Jantung Hara berdebar kencang seketika. Arya?! Gawat! Beberapa hari ini Arya memang terus menghubunginya lewat telepon rumah. Beberapa kali pula ia berhasil meloloskan diri. Ia selalu mewanti-wanti orang rumah agar tidak memberikan telepon dari Arya untuknya. Beberapa kali pula Arya datang ke rumah dan lagi-lagi ia bersembunyi. Ia benar-benar tak mau bertemu dengan Arya. Benar-benar tak mau. Sekarang, Arya nekat mendatanginya ke sekolah. Menyebalkan!
“Bilang saja saya sedang sibuk. Saya tidak bisa diganggu. Saya sedang memeriksa tugas anak-anak yang harus diserahkan nanti.”
“Sebenarnya, Bu…Bapak itu sudah sering datang ke sini menanyakan Ibu. Karena Ibu sedang mengajar, saya bilang saja Ibu tidak bisa ditemui. Bapak itu nekat menunggu Ibu sampai selesai mengajar. Pada jam istirahat, sebenarnya saya ingin mempertemukan Ibu dengan bapak itu, tapi saya lihat Ibu sibuk sekali seperti sekarang ini.”
“Ya sudah. Bapak kan sudah tahu kalau saya sedang sibuk. Bilang saja demikian.”
“Tapi Bapak itu ngotot ingin bertemu Ibu. Mungkin urusan penting, Bu. Apa tidak sebaiknya Ibu bertemu sebentar dengannya?”
“Bapak kan satpam! Masa Bapak nggak bisa sih ngusir orang kayak gitu?!” Hara emosi. Ia benar-benar kesal. Pikirannya sedang suntuk dan Arya membuatnya semakin suntuk. Tak lama, Hara istigfar. Ia benar-benar sedang kacau.
“Maaf, Bu,” Satpam itu tertunduk.
“Saya benar-benar sedang sibuk, Pak. Bilang aja begitu.” Suara Hara melembut. Satpam itu mengangguk lalu pergi meninggalkan Hara. Hara menghela napas. Arya…. Arya lagi, Arya lagi.
Arya memicingkan mata saat Satpam memberitahu bahwa Hara sedang tak bisa diganggu. Susah sekali bertemu dengan Hara!
“Kalau saya langsung ke ruang guru, boleh tidak?” tanyanya dengan nada memaksa.
“Tentu tidak, Pak. Kalau semua tamu memaksa masuk seperti Bapak, apa gunanya saya?”
“Tapi ini penting sekali, Pak!”
“Ya sudah. Titipkan pesan ke saya saja, Pak.”
“Tidak bisa! Ini tidak bisa dititipkan!!”
“Bapak ini ngotot sekali! Saya bilang tidak bisa ya tidak bisa! Sebaiknya Bapak pergi sekarang juga! Tinggalkan tempat ini!!” Satpam balas membentak.
Kedua tangan Arya terkepal. Ia benar-benar kesal. Ia berusaha menahan emosinya dengan berbalik dan meninggalkan satpam sekolah yang geleng-geleng kepala melihatnya.
Bel pulang berbunyi. Hara menghentikan uraiannya. Anak-anak didiknya sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas dan bersiap untuk pulang. Kalau melihat adegan itu, ia sering teringat masa lalunya waktu masih sekolah dulu. Rasanya ingin sekali kembali ke masa lalu. Masa-masa di sekolah memang sangat menyenangkan.
“Sampai jumpa besok, anak-anak. Jangan lupa untuk kembali mempelajari apa yang sudah Ibu berikan tadi, ya. Assalamu’alaikum…!” ujar Hara sebelum ke luar kelas.
“Wa’alaikumsalam, Bu…!” jawab para siswanya, kompak. Hara tersenyum. Senang sekali menjadi guru dan mempunyai banyak anak-anak yang suatu hari menjadi “orang”. Guru harus berbangga karena menjadi faktor penting keberhasilan seorang manusia. Tidak ada seorang manusia pun yang berhasil tanpa bantuan seorang guru.
Hara berjalan menuju pintu gerbang. Hari masih panjang. Ia masih harus mengajar di SMA lain sepulangnya dari SMA Mandala. Kalau sudah menikah, mungkin ia akan memilih salah satu. Mengajar di SMA Mandala atau SMA yang satunya lagi.
Kedua mata Hara terbelalak melihat seseorang di sana yang menunggunya di pintu gerbang. Arya!! Jantungnya berdebar kencang. Sungguh ia tak mau bertemu Arya. Ia harus menjauhkan diri dari Arya, tapi bagaimana caranya? Arya menunggunya di pintu gerbang sementara ia harus segera ke SMA lain tempatnya mengajar siang ini.
“Bu Sarah? Kok masih di sini?” tanya Bu Tania, teman sesama guru, tiba-tiba.
Hara tersenyum gugup. “Iya, Bu. Saya…,” Hara menggigit bibir. Tidak enak rasanya bercerita pada Bu Tania bahwa ia sedang ditunggu seorang pria yang terus mengejarnya.
“Bu Hara mau pulang bareng saya? Saya bawa motor, kok,” ajak Bu Tania.
Kedua mata Hara berbinar. “Benar, Bu?”
“Iya. Itu kalau Bu Hara mau.”
“Oh, iya! Iya!” seru Hara, cepat. Ia mengikuti Bu Tania ke tempat parkir sambil mengendap-endap menyembunyikan diri dari pandangan mata Arya. Ia tambah senang saat Bu Tania memberikannya sebuah helm yang dapat menyembunyikan wajahnya. “Terima kasih ya, Bu,” ucapnya.
“Tidak usah sungkan sama saya, Bu. Ayo naik!” ajak Bu Tania. Hara pun membonceng di belakang Bu Tania. Bu Tania menjalankan motornya perlahan. Saat melewati pintu gerbang, Hara menyembunyikan kepalanya di belakang tubuh Bu Tania. Sekilas ia melihat Arya masih mencari-cari dirinya. Semoga Arya tidak memergokinya. Syukurlah akhirnya ia dapat lepas dari pandangan mata Arya.
“Alhamdulillah…,” ucapnya, pelan. Hari ini ia selamat. Entah besok.
***
Arya membuka pintu rumahnya yang tadi diketuk orang. Sebenarnya ia agak malas membukakan pintu. Setelah seharian menunggu Hara di sekolah, ia ingin istirahat sampai semua letihnya hilang. Namun agaknya si tamu serius ingin bertamu. Meskipun ia tak membukakan pintu rumahnya dalam waktu yang lama, sang tamu tetap sabar mengetuk pintu dan menunggunya membukakan pintu.
“Ariel? Gue pikir siapa?” Arya agak terkejut melihat siapa yang datang.
Ariel geleng-geleng kepala. “Gimana sih kamu, Ya? Aku nungguin kamu udah lama, tau!”
“Sorry, deh. Gue lagi tidur. Mestinya lu sadar dong, kalau yang punya rumah nggak bukain pintu, itu berarti dia lagi pergi atau tidur!”
“Soalnya aku bawa berita penting. Aku udah beberapa kali ke rumahmu, tapi kamu nggak pernah ada. Sebenarnya kamu ke mana aja sih, Ya?”
“Beberapa hari ini gue emang jarang di rumah.”
“Ada apa sih, Ya? Kamu lagi ada masalah?”
“Eh, akhir-akhir ini lu pernah ketemu Hara, nggak?”
“Hara? Enggak. Mungkin Dita yang sering ketemu.”
“Sepertinya Hara menghindari gue. Gue nggak tau kenapa.”
Ariel manggut-manggut. Melihat ekspresi Arya tadi, ia yakin Arya mencintai Hara. Sebenarnya ia sudah mendengar hal itu dari Dita, tapi ia tak mau ikut campur urusan itu. Toh, Arya sendiri tidak pernah menceritakan masalah itu kepadanya.
“Oh ya, ngomong-ngomong ngapain elu datang ke sini?” Arya baru sadar ia belum menanyakan maksud Ariel datang ke rumahnya.
Ariel tersenyum. Dikeluarkannya sesuatu dari dalam tasnya. Arya mengerutkan kening melihatnya. “Insya Allah aku mau nikah besok minggu sama Dita,” katanya sambil menyodorkan undangan yang dikeluarkannya dari dalam tasnya tadi.
Arya terperangah mendengarnya. “Nikah?! Elu mau nikah sama Dita…?”
“Iya. Akhirnya setelah lama pacaran, kami nikah juga. Lagian, ngapain pacaran lama-lama kalau nanti nggak jadi?”
“Syukurlah. Selamat, ya!”
“Ntar aja pas resepsi.”
“Ril, kenapa ya sekarang Hara sepertinya menghindari gue?” Arya teringat Hara.
“Kok kamu ngerasa gitu?”
Arya menceritakan semuanya kepada Ariel.
“Kamu mencintai Hara, ya?”
“Enggak!” Arya menampik cepat.
“Terus, kalau enggak, kenapa kamu merasa kehilangan begitu? Aku dan Dita aja nggak ngerasa gitu meskipun kami lama nggak berhubungan sama Hara.”
“Ya…ya…kalian sih…kalian memang nggak punya hati sama Hara. Maksud gue, kalian kan pacaran. Dunia buat orang yang pacaran tuh cuma buat mereka berdua aja. Orang lain nggak ada. Jadi, kalian nggak peduliin orang lain, termasuk Hara.”
“Ya…ya. Memang. Aku dan Dita emang nggak pernah mikirin orang lain termasuk Hara. Kenapa kamu nggak tanyain langsung ke Hara ke mana aja dia selama ini?”
“Udah. Sebenarnya gue juga udah ketemu dia, tapi gue nggak enak nanyain semua itu ke dia. Sekarang tiap gue pengen ketemu dia, dia nggak pernah ada. Bahkan waktu gue cari ke sekolah tempat dia kerja, dia juga nggak ada. Heran!”
“Sudahlah, Ya. Jujur aja padaku. Siapa tahu aku bisa ngasih solusi kalau kamu jujur denganku.”
“Jujur apa, sih?”
“Perasaanmu sama Hara. Kamu mencintai dia, kan?”
“Ya,” Arya berucap, pelan, “entah kenapa gue nggak pernah berani mengatakannya ke Hara.”
“Aku ngerti. Kamu yang dulu benar-benar punya kharisma. Cewek-cewek banyak yang naksir kamu. Aku yakin, Hara juga punya perasaan yang sama kayak kamu. Tapi masalahnya, Hara dulu dan sekarang udah jauh berbeda. Kamu pasti juga udah liat perubahan itu, kan?”
“Ya. Dia jadi lebih tertutup.”
“Sebenarnya bukan tertutup, tapi dia berusaha menjaga jarak dengan lawan jenis. Dia sudah menjadi muslimah taat. Dan sekarang Dita juga ngikutin dia. Makanya aku nggak datang bareng aku karena Dita nggak mau berduaan denganku sebelum benar-benar sah menikah.”
“Hara pasti nggak mau menjalin hubungan dengan seorang pria seperti gue.”
“Aku rasa kalau kamu berubah seperti apa yang diinginkan Hara, mungkin Hara mau membuka hatinya untukmu.”
“Maksud lu apa?”
“Ya kamu udah ngerti lah. Hara sudah tahu kalau kamu pernah dipenjara karena mengedarkan narkoba.”
“Jadi…jadi dia sudah tahu?! Pasti elu yang ngasih tau!!” Arya meraih kerah baju Ariel.
“Hei! Tenang dulu!! Bukan aku!!”
“Dita! Pasti Dita, kan?!!”
“Ya, ya!! Emang Dita yang ngasih tahu masa lalu kamu ke Hara. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu emang harus jujur sama orang itu! Kamu nggak boleh nyembunyiin kejelekanmu!!”
Pelan-pelan, Arya melepaskan cengkramannya. “Tapi…tapi gue nggak mau kehilangan dia….”
Ariel menepuk bahu Arya. “Kamu mesti paham konsep jodoh. Orang bilang, kalau sudah jodoh tidak akan ke mana. Kamu mesti paham itu. Aku semakin paham setelah aku ikut pengajian. Hara juga yang ngajakin. Aku yakin, kalau Allah emang menjodohkanku ama Dita, aku dan Dita pasti akan menikah. Tapi kalau enggak, meskipun kami sudah berhubungan cukup lama, kami tetap akan putus. Begitu juga kamu. Kamu nggak perlu khawatir soal jodoh. Kalau emang jodoh, kamu pasti jadi sama Hara. Masalahnya sekarang, kamu bisa nggak menjadi sebaik Hara? Soalnya ada ayat Al-Quran yang mengatakan lelaki yang baik itu dengan perempuan yang baik, gitu juga sebaliknya.”
“Ya. Gue tau. Gue emang bejat!”
“Bukan gitu, Ya! Kamu nggak bejat. Kamu cuma pernah salah jalan. Bahkan sebenarnya kamu lebih baik dariku. Sebaiknya kalau kamu emang serius sama dia, mulai hari ini kamu mesti berubah. Kamu nggak usah gaul lagi sama kelompokmu yang pernah jerumusin kamu itu.”
Arya merenungkan ucapan Ariel barusan. “Gue udah nggak gaul lagi kok sama teman-teman gue yang dulu. Gue sadar mereka cuma mau jerumusin gue,”
“Terus, sebaiknya kamu terus terang sama Hara atas apa yang selama ini menimpamu. Aku yakin Hara akan berpikir bijak. Dia kan bukan perempuan biasa. Dia tahu agama.”
“Thanks, Ril. Lu udah ngasih gue masukan. Gue akan pikirin ucapan elu tadi.”
“Kalau gitu aku pulang dulu, ya. Aku masih harus nyebarin undangan lagi.” Ariel pamit. Arya mengantar sahabatnya itu sampai pintu pagar rumahnya.
***
Hara menajamkan penglihatannya. Arya! Itu Arya, kan?! Ia tak jadi turun dari angkot yang membawanya ke SMA Mandala. Jantungnya berdebar kencang. Ya Allah, pagi-pagi begini Arya sudah menunggunya di depan gerbang SMA Mandala?! Hara bingung bukan main. Apa sih maunya pria itu! Ia benar-benar tak suka dikejar-kejar seperti ini. Akibatnya ia tak jadi masuk sekolah dan mengajar. Ia turun dari angkot di tempat yang agak jauh dari SMA Mandala dan naik angkot yang akan membawanya pulang kembali. Hara benar-benar geram dengan Arya.
“Begitulah Bu Tania. Terpaksa saya menceritakannya ke Ibu. Habis saya bingung. Cari alasan lain yang lebih wajar,” kata Hara, malam harinya saat ia bertandang ke rumah Bu Tania, teman seprofesi di SMA Mandala.
Bu Tania manggut-manggut mendengarnya. “Memang susah ya kalau sudah dikejar-kejar kaum Adam. Saya bisa memahami perasaan Bu Sarah. Tapi apa Ibu sudah memikirkan baik-baik soal pengunduran diri Ibu dari SMA Mandala?”
Hara menghela napas. Berpikir sejenak. “Terus-terang, saya tidak tahu apakah keputusan ini benar atau tidak. Tapi saya tidak mau, benar-benar tidak mau bertemu dengan lelaki itu.”
“Bagaimana kalau Ibu mengambil cuti saja? Sayang lho, Bu. Hanya gara-gara itu, Ibu mengundurkan diri dari SMA Mandala.”
Hara mengangguk. “Iya, yah. Kalau begitu, saya mohon Ibu mau mengurus cuti saya. Soalnya, saya benar-benar tidak bisa berangkat ke sekolah lagi sekarang.”
“Itu masalah gampang. Sekarang Ibu tenangkan saja pikiran Ibu dulu, ya?” Bu Tania menggenggam tangan Hara, kuat.
***
Arya mendengus kesal. Kesabarannya sudah habis. Berhari-hari ia menunggu Hara di pintu gerbang SMA Mandala, tapi tak juga berhasil menemuinya. Entah ke mana gadis itu menghilang. Ia mendengar dari beberapa orang siswa, Hara mengambil cuti. Cuti. Phiuh!! Cuti apa? Arya semakin yakin. Hara sedang menghindarinya. Entah kenapa.
***
Hara tak bisa menyimpan masalahnya sendiri. Arya telah merebut sebagian kebebasannya bahkan membuatnya terpaksa ambil cuti dari pekerjaannya. Malam ini saat Hamidah beserta suami dan anaknya datang ke rumah, ia menceritakan semua masalahnya kepada Hamidah.
“Jadi, begitu ceritanya, Ra? Kenapa kamu nggak ngomong sama Kakak dari awal?” tanya Hamidah usai Hara menceritakan semuanya.
“Hara masih malu, Kak. Lagian Hara nggak mau ge-er. Siapa tau dia cuma mau temenan aja sama Hara.”
“Sekarang dia gimana?”
“Gimana apa?”
“Dia masih seperti dulu, nggak? Masih bergaul dengan orang-orang yang nggak bener dan narkoba, nggak?”
“Emangnya kalau enggak, Kakak nyaranin Hara nerima dia?”
“Kamu pasti nggak mau nerima dia kan, Ra? Karena dia bukan sarjana sepertimu dan dia pernah dipenjara. Iya, kan?”
Hara tertunduk. “Iyalah!”
“Jadi, benar kan kamu merasa lebih baik dari dia?”
“Ya iya. Semua juga tau!”
“Hanya Allah yang tahu hamba-Nya yang terbaik. Ada orang yang kelihatannya baik, tapi ternyata tidak baik. Ada orang yang kelihatannya buruk, ternyata malah baik. Hanya Allah yang tahu, Ra. Kamu tidak bisa menghakimi seseorang itu baik atau buruk hanya karena dia pernah melakukan kesalahan. Kamu juga pasti pernah kan berbuat kesalahan?”
“Jadi maksud Kak Hamidah, aku harus menerima Arya, gitu?”
“Dengarkan dan renungkan dulu ucapan kakak tadi. Jangan emosi dulu, Ra. Kamu kan sudah dewasa. Seorang guru lagi. Masa pikiranmu masih kekanak-kanakan, sih?”
“Maaf deh, Kak.”
“Kamu harus cari tahu kenapa dia sampai terjerat narkoba dan masuk penjara. Semua orang kan punya alasan saat melakukan sesuatu. Apalagi kata kamu dulu dia alim, rajin salat, pinter lagi. Mungkin saja dia melakukan semua itu karena terpaksa. Mungkin juga sekarang dia sudah bertobat. Kamu tahu kan kalau orang yang sudah bertobat itu akan kembali menjadi bayi yang tidak berdosa?”
“Iya deh, Kak.”
Hamidah tersenyum. Ditepuknya bahu Hara sebelum meninggalkan kamar gadis itu.
***
Arya sudah merenungkan semua ucapan Ariel kemarin. Ucapan Ariel memang benar. Ia harus berubah. Sebenarnya sudah sejak tiga tahun lalu ia berubah. Sejak melihat Hara berubah, ia pun ingin berubah. Susah payah ia melepaskan diri dari teman-temannya dahulu. Ia menjauhi mereka dan memulai hidup baru. Ia juga sudah rutin menjalankan salat lima waktu yang sempat ditinggalkannya saat terjerat dalam sindikat perdagangan narkoba dan masuk penjara. Tapi sungguh ia tak melakukan semua itu hanya untuk meraih hati Hara. Sejak kecil orang tuanya memang sudah mengajarkannya untuk taat beragama. Itulah sebabnya ia shock ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Ia tak pernah menyangka musibah itu menimpa keluarganya. Sebuah keluarga yang taat beribadah dan harmonis. Ia dan adik-adiknya memutuskan untuk ikut ibunya. Posisinya sebagai anak sulung menyebabkannya harus ikut menjadi tulang punggung keluarga. Mulanya, ia mencari rejeki dengan jalan yang halal. Namun penyakit kanker yang diderita ibunya membuatnya mencari jalan pintas. Ia harus mendapatkan uang banyak sebagai biaya pengobatan ibunya dan uang itu didapat dengan jalan mengedarkan narkoba. Meskipun demikian, ia tak pernah menjadi pemakai. Masa lalunya sebagai pengedar dan residivis memang membuatnya tak pantas mengharapkan cinta Hara.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....