SEMBILAN
Hara buru-buru menghapus kata yang kedua. Cinta? Terlalu vulgar.
Hallo, Arya. Apa kabar? Kabarku baik-baik saja. Aku diterima di Unair, Surabaya. Jurusan fisika. Bagaimana denganmu? Aku belum pernah pulang ke Jakarta lagi, nih. Ngirit ongkos.
Hara diam sejenak. Selanjutnya cerita apa? Bingung. Tak ada kata-kata yang ingin dituliskan.
Aku kangen kamu.
Ah, vulgar. Dia kan belum menjadi siapa-siapa Arya.
Halo juga. Thanks sudah mau menyuratiku. Selamat, kamu berhasil lulus SPMB. Sebenarnya aku juga lulus di UI. Tapi aku ingin mewujudkan cita-citaku kuliah di luar negeri. Aku sedang sibuk mengejar beasiswa di luar negeri. Doakan aku ya, Ra.
Hara melipat surat balasan dari Arya. Surat itu berhasil membuat wajahnya memerah seharian. Berulang-ulang ia baca surat itu. Baru sekarang ia mau melipatnya. Ia simpan surat itu di tempat yang rapi. Ia tak mau surat itu lecek sedikit pun. Apalagi sampai sobek.
Arya, aku butuh bantuanmu nih. Ada soal fisika yang sulit kupecahkan. Kamu bisa bantu, nggak? Tapi nggak usah deh. Sebelum surat balasanmu tiba, tugasnya sudah dikumpulkan. He-he.
Arya geleng-geleng kepala membaca surat balasan dari Hara. Hara masih saja lugu dan polos seperti dulu. Ia rindu gadis itu. Ia ingin bertemu, tapi jarak di antara mereka begitu jauh terbentang. Sudah lewat satu tahun. Hara pasti sudah semester tiga, sedangkan ia belum kuliah di mana pun. Idealismenya masih tinggi. Kuliah di luar negeri. Pokoknya ia harus mendapatkannya.
Doakan aku ya, Ra. Besok ada ujian untuk mendapatkan beasiswa ke Australia.
Hara tersenyum. Mudah-mudahan Arya berhasil mendapatkan beasiswa ke Australia. Arya pasti bahagia kalau berhasil meraih impiannya. Kalau Arya bahagia, dia juga. Wajah Hara merah seketika. Astaga! Ada apa dengan hatinya?
Waktu berlalu, usai lulus SMA, Hara lulus SPMB di Unair, Surabaya. Ia masuk jurusan fisika. Tentu saja Hara sangat bersyukur bisa masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri. Di balik kegembiraannya itu, ia bersedih karena harus berpisah dengan keluarga dan teman-temannya. Ariel dan Dita kuliah di tempat yang sama di Jakarta. Mereka sama-sama tidak lulus SPMB sehingga terpaksa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta. Mereka kuliah di tempat yang sama dan mengambil jurusan yang sama. Benar-benar tak terpisahkan. Sementara Arya, Arya masih mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Arya memang sangat ingin melanjutkan sekolah di luar negeri.
Meskipun Hara kuliah di Surabaya, ia masih kerap berhubungan dengan Arya melalui surat. Mulanya biasa saja, tapi lama-lama, surat dari Arya bagaikan pemompa semangatnya. Kalau sampai surat balasan Arya tidak datang, ia pasti sedih sekali. Semangatnya mengendor seperti ada yang hilang dari dirinya. Hara tak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin hanya ketergantungan biasa terhadap seorang teman. Teman. Benarkah Arya hanya teman baginya?
“Hara! Surat dari pacarmu lagi, ya?!” seru Santi, teman satu kos Hara, tiba-tiba.
“Enggak. Cuma temen.”
“Cuma temen? Muhammad Arya itu cuma teman?”
“Kok kamu tahu, sih? Kamu baca suratku, ya?”
“Ye…! Enggak lah! Kan namanya ada di belakang amplop. Masa sih, udah sering surat-suratan, tapi cuma teman?”
“Iya! Emangnya kenapa, sih?”
“Ya, enggak. Aneh aja gitu. Cewek sama cowok, surat-suratan, tapi ngakunya cuma temen.“Kenapa nggak pacaran aja?!”
“Pacaran?”
“Iya. Seperti aku dan pacarku. Kamu tuh sebenarnya pernah pacaran nggak, sih?”
“Enggak. Nggak boleh.”
“Nggak boleh? Zaman milenium gini nggak boleh pacaran? Kolot banget sih ortumu?!”
“Ya, aku kan mementingkan pelajaran.”
“Iya sih, Ra. Aku tahu, belajar itu penting. Kalau aku nggak belajar, aku juga nggak bakal masuk Unair. Tapi, kita kan juga butuh selingan. Pacaran bisa jadi selingan kalau kita suntuk belajar. Yah, kamu tahu lah. Betapa indahnya dunia kalau ada yang mendampingi kita. ”
“Enggak, ah. Aku nggak mau pacaran.”
“Payah! Pacaran tuh enak, tau!” Santi berlalu pergi. Hara menatap kepergian Santi, hampa. Pacaran…enak? Ia masih belum mengerti.
***
Mungkin apa yang dibilang Santi ada benarnya. Punya pacar banyak gunanya. Contohnya seperti kemarin. Saat Hara membutuhkan seorang teman untuk menemaninya membeli buku di sebuah pasar loak, tak ada seorang pun yang menemani. Tetapi, seorang pacar pasti mau menemani pacarnya ke mana pun. Rasanya Hara iri sekali dengan Santi. Pacarnya selalu ada pada saat dibutuhkan. Bahkan, Santi sering dibelikan macam-macam. Seperti malam ini. Pulang dari berjalan-jalan dengan pacarnya, Santi membawa beberapa kotak pizza yang langsung ditaruh di meja tamu tempat anak-anak kos berkumpul.
“Ini dari pacarku!!” kata Santi.
“Wah…! Asyik, nih! Thanks ya, Ti!” seru anak-anak.
“Emang enak punya pacar. Sayang, aku masih jomblo!” kata Intan.
“Iya, nih! Cariin dong!!” Permata ikut-ikutan.
“Heh! Yang kalem dikit dong kayak Salwa dan Hara!!” Puput melirik Hara dan Salwa yang duduk bersebelahan.
“Ah, kalau Salwa sih udah pasti nggak pacaran!” Santi mencibir.
“Kalau Hara…?” Semua menatap Hara. Hara menggeleng.
“Enggak.”
“Ikut-ikutan Salwa, nih…?!” Semua tertawa. Hara menatap Salwa yang terlihat tak suka dengan obrolan teman-temannya itu.
“Ra, kamu pernah nggak berpikir untuk pindah kos?” tanya Salwa di kamar saat mereka telah masuk ke kamar masing-masing. Hara memang sekamar dengan gadis berjilbab itu. Melihat Salwa ia seperti melihat Kak Hamidah. Sampai sekarang Kak Hamidah masih sering menagih janjinya memakai jilbab. Hara memang belum bisa memenuhi janji itu. Entah kenapa ia masih berat berjilbab.
“Emangnya kenapa? Kos di sini kan enak. Fasilitasnya lengkap. Deket lagi sama kampus.”
“Iya, tapi aku nggak suka sama anak-anak. Setiap hari yang diomongin cowok…melulu. Ujung-ujungnya, kita yang disinggung-singgung.”
“Salwa terganggu ya dengan omongan mereka?”
“Iyalah. Nggak enak kan ngomongin gitu melulu. Aku sih maunya nggak ikut-ikutan mereka ngobrol nggak karuan sambil nonton tv. Tapi kalau aku nggak keluar kamar, mereka juga akan menyinggungku. Bilangnya, aku sombonglah. Nggak mau gaullah!”
“Aku juga sebenarnya agak terganggu, tapi mau gimana lagi? Anak-anaknya pada gitu sih. Nggak usah dipikirin aja. Kalau emang Salwa mau pindah, aku mau ikut.”
“Bener, Ra?”
“Asal tempat kosnya juga bagus seperti ini.”
“Oke! Besok, kita mulai nyari, yuk!” Salwa terlihat bersemangat. Hara mengangguk.
***
Keesokan harinya, Hara dan Salwa berburu rumah kos. Meski sudah mencari ke mana-mana, mereka tidak juga mendapatkannya. Sebenarnya Hara tidak berharap mendapatkan kos baru dalam waktu dekat ini. Ia takut saat surat balasan dari Arya datang, ia sudah pindah kos dan teman-temannya di kos yang lama tidak menyampaikan surat Arya itu kepadanya. Bisa gawat, kan?! Padahal surat Arya adalah sesuatu yang selalu ditunggu-tunggunya. Kalau ia tak menerima dan membalas surat Arya, bisa-bisa hubungannya dengan Arya terputus. Syukurlah hari ini ia dan Salwa tidak berhasil menemukan rumah kos yang baru. Kalau ia ingin pindah kos bersama Salwa, itu karena ia tak ingin jauh dari gadis itu. Ia dan Salwa sudah bersahabat sejak semester satu. Salwa sangat baik kepadanya sehingga ia merasa nyaman berdekatan dengannya. Teman-temannya yang lain tak sebaik Salwa. Ia akan merasa sangat kehilangan kalau berpisah dengan Salwa.
“POS!” Tukang pos datang mengantar surat. Hara buru-buru ke luar menyambutnya. Ternyata untuk Mimi. Hara menghela napas. Sudah tiga bulan, tapi surat balasan dari Arya belum datang juga. Semangatnya kendor seketika. Arya, di mana kamu? Kenapa kamu nggak balas suratku?
“Sepertinya kamu lagi ada masalah ya, Ra?” tanya Salwa melihat Hara yang duduk termenung di pelataran kampus. Hara langsung pasang senyum sambil buru-buru menghapus air matanya yang jatuh di pipi.
“Ah, enggak kok.”
“Yah, nggak pa-pa sih kalau nggak mau cerita. Cuma aku berharap bisa jadi temanmu berbagi. Aku lihat nilai-nilaimu juga turun drastis.”
Hara menggaruk kepala yang tidak gatal. Ditatapnya teman sejurusannya itu. Ia menghapus air matanya yang kembali jatuh. Menceritakan yang sesungguhnya kepada Salwa bahwa ia menangis karena suratnya tak dibalas-balas oleh Arya? Ya ampun! Memalukan sekali. Salwa pasti akan menertawakannya.
“Nggak. Nggak pa-pa, kok.”
“Ya sudah. Sebaiknya kamu jangan memendam masalah. Tidak baik. Kalau ada masalah, mengadu saja kepada Allah,” Salwa menepuk bahu Hara. Hara mengangguk. “Maaf ya, Ra. Aku nggak bisa nemenin kamu. Aku ada rapat Rohis nih.” Salwa bangkit dari duduknya.
“Aku ikut dong, Sal! Boleh, nggak?”
“Oh, boleh-boleh! Yuk!” Tentu saja Salwa sangat senang dengan permintaan Hara barusan. Sudah lama ia berusaha mendekatkan Hara dengan Rohis kampus, tapi tak pernah berhasil. Hara tak mau ikut organisasi apa pun karena ingin konsentrasi belajar. Entah kenapa hari ini Hara mau. Mungkin hidayah Allah mulai menyapanya.
“Kenapa ya Arya nggak balas suratku? Apakah ada yang salah dengan suratku yang kemarin? Kenapa ya? Arya….” Hara terus memikirkan Arya sementara di sekitarnya anak-anak Rohis tengah memperdebatkan sesuatu. Entahlah. Di mana pun berada, ia belum bisa melupakan Arya. Hatinya masih bertanya-tanya tentang kabar Arya. Apa yang terjadi dengan Arya hingga Arya tak membalas suratnya? Atau jangan-jangan Arya sudah punya pacar? Hara cemberut. Arya sudah punya pacar? Ia tak mau itu terjadi.
“Hara!” Salwa menegur Hara tiba-tiba.
“Eh, iya!”
“Rapatnya sudah selesai. Mau pulang, nggak?”
Hara mengangguk. Ia dan Salwa memang satu kos dan satu jurusan pula. Itulah sebabnya hubungan mereka sangat dekat. Tapi ia masih belum terbuka tentang hubungannya dengan Arya.
***
Hara benar-benar tak bisa tidur. Ia penasaran sekali kenapa Arya tidak juga membalas suratnya. Ia tak sabar ingin tahu kabar Arya. Apa yang terjadi dengan Arya sampai Arya tak membalas suratnya? Hara tak tahan. Benar-benar tak tahan. Ia butuh teman bicara.
“Oh, jadi itu masalah yang selama ini menggelayuti pikiranmu?” Salwa tersenyum setelah Hara menceritakan semua masalahnya. Hara jadi tak enak. Salwa pasti berpikir masalahnya itu lucu sekali, tapi sungguh, buatnya ini adalah masalah yang berat.
“Aku tahu kalau itu bukan masalah yang berat. Ada orang yang punya masalah lebih berat dariku. Tapi entah kenapa, buatku masalah ini berat sekali. Aku merasa kehilangan dan khawatir.”
“Aku mengerti. Hmm…memang begitulah kalau kita bermain-main dengan cinta. Kamu mencintainya, kan?”
Wajah Hara merah seketika. Ia malu untuk menjawab, tapi juga tak menampik. “Ya…begitulah. Sebenarnya aku juga bingung jatuh cinta itu seperti apa.”
“Apa yang sekarang kamu rasakan itulah yang namanya jatuh cinta. Kalian memang berhubungan tidak dalam kerangka pacaran, tapi ketika salah satu ada yang menghilang, yang lainnya akan merasa kehilangan. Sebenarnya kamu sudah jatuh cinta sama dia.”
“Padahal aku hanya berteman dengannya. Dia juga bilang kami hanya berteman. Berteman itu lebih abadi.”
“Memang, pertemanan antara dua orang yang berlawanan jenis hampir mustahil terjadi. Salah satu atau keduanya bisa saling jatuh cinta. Makanya pergaulan dalam Islam jelas-jelas mengatur hal ini.”
“Kalau tahu jatuh cinta itu tidak enak, aku nggak mau jatuh cinta.”
“Begini saja, tidak baik memikirkan hal itu terus-menerus. Belum tentu yang di sana juga memikirkanmu. Gimana kalau kamu menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat? Insya Allah, dengan sendirinya kamu akan melupakannya. Tidakkah kamu pikirkan mungkin saja dia di sana sudah punya pacar?”
“Apa?!” Hara terbelalak.
“Ini kan baru mungkin. Semuanya bisa terjadi. Apalagi kalian dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh dan kamu juga tidak tahu kan apakah dia juga suka sama kamu. Bagaimana kalau tidak? Mungkin saja sekarang dia sudah punya pacar, makanya dia nggak balas suratmu lagi. Mungkin takut ketahuan pacarnya.” Salwa menjelaskan. Hara tertunduk. Arya sudah punya pacar? Rasanya ia ingin menangis lagi. Arya….
Mungkin aku yang tidak bisa berpikir dan menerima kenyataan. Ya, mungkin saja Arya sudah punya pacar sehingga tidak mau membalas suratku. Tapi kenapa hanya karena ada gadis lain dia tidak mau membalas suratku? Aku dan dia kan hanya berteman. Seharusnya gadis itu tidak cemburu. Tapi kalau hanya berteman, kenapa aku terus-menerus memikirkan Arya? Jangan-jangan benar aku jatuh cinta kepadanya. Tidak boleh. Aku tidak boleh jatuh cinta kepada Arya. Aku harus melupakannya. Arya juga belum tentu mencintaiku. Ah…kenapa aku berpikir Arya mencintaiku juga, ya? Apakah aku cuma kege-eran. Tidak boleh! Aku tidak boleh kege-eran. Arya bisa kege-eran juga nanti. Yah, pokoknya aku harus bisa melupakan Arya. Harus!
Hara tertidur di antara tumpukan diktat kuliahnya. Malam ini ia telah berjanji untuk melupakan Arya. Tiga bulan sudah cukup untuk menanti balasan surat Arya. Pasti benar Arya sudah memiliki pacar sampai tidak mau lagi membalas suratnya. Jadi, ia memang harus melupakan Arya.
***
Awalnya memang sulit melupakan Arya meskipun sudah menyibukkan diri dengan banyak kegiatan. Tapi akhirnya lambat-laun, Hara bisa melupakan Arya. Apalagi sekarang ia sudah pindah kos. Ia tinggal bersama Salwa dan teman-teman Rohisnya di sebuah rumah kontrakan khusus muslimah. Rumah itu dinamakan Wisma Raudhah.
Kehidupan di wisma sangat berbeda dengan kehidupan di rumah kos Hara sebelumnya. Di wisma tidak ada televisi sehingga para penghuni wisma tidak bisa mengobrol sambil menonton televisi. Lagipula, rata-rata penghuni wisma adalah aktivis kampus yang sangat sibuk. Berangkat ke kampus pagi-pagi sekali dan pulang maksimal pukul sembilan malam. Tentu saja kegiatan mereka di kampus tidak hanya kuliah, tapi juga mengurusi organisasi. Praktis, mereka jarang punya waktu luang untuk mengobrol. Waktu luang yang ada digunakan untuk mengkaji Islam bersama-sama.
Sehabis salat Subuh misalnya, mereka mengaji bersama, berdzikir atau saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Kalaupun mengobrol, mereka hanya membicarakan hal yang penting-penting saja. Membicarakan mahkluk yang berlainan jenis (laki-laki) sangat terlarang bagi mereka. Maklum, tidak ada satu pun dari mereka yang punya pacar atau paling tidak punya niat untuk pacaran. Pacaran adalah salah satu hal yang tidak ada dalam kamus mereka. Jadi, bagaimana mungkin Hara masih memikirkan Arya sementara dia bergaul dengan orang-orang yang tidak pernah mengotori pikiran mereka dengan memikirkan laki-laki?
Memang, kadang-kadang masih terlintas di pikirannya tentang Arya, tapi pikiran itu seketika menghilang karena ia berusaha menepisnya. Selain menyibukkan diri dengan kuliah, Hara juga mengikuti banyak kegiatan yang bermanfaat. Sebelumnya dia memang study oriented, tapi kemudian dia menyadari bahwa belajar saja tidak cukup. Dia harus ikut organisasi yang baik. Salah satunya adalah Rohani Islam di fakultasnya. Dia memang belum bisa sesibuk Salwa. Jadi panitia ini-itu, jadi pembicara di sana-sini, tapi ia tetap ingin memberikan sumbangsihnya. Tidak ada ruginya mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, apa lagi kegiatan keislaman. Dia jadi lebih tahu tentang agamanya sendiri, dan lebih tahu tentang cinta yang hakiki.
Cinta adalah sesuatu yang fitrah. Kita tidak bisa memungkiri datangnya cinta. Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Hanya yang perlu diingat adalah cinta itu milik Allah dan bermuara kepadaNya. Jadi, ketika kita mencintai manusia, kita harus mencintainya karena Allah. Jangan sampai cinta kita kepada manusia lebih besar daripada cinta kita kepada Allah. Manusia pasti akan mati, maka cinta kepada manusia pasti akan mati. Tetapi Allah tidak akan mati, maka cinta kepada Allah pun tidak akan pernah mati. Dia akan terus terbawa sampai akhirat. Cintailah Allah karena Dia tidak akan meninggalkan kita.
“Aku ingin pakai jilbab, Wa,” kata Hara, suatu hari. Salwa terkejut mendengarnya.
“Benar?”
“Insya Allah. Besok mau anterin aku beli jilbab, kan?”
“Tentu saja! Aku senang sekali kamu mau pakai jilbab!”
“Aku mau jadi gadis alim. Aku ingin membersihkan hatiku. Rasanya hidupku tak tenang kalau hati kotor.”
“Ya, insya Allah dengan berjilbab akan makin mempercepat proses menuju keshalihan,” Salwa menepuk bahu Hara.
***
Hari ini Hara memakai jilbabnya pertama kali. Ia melihat sosok yang berbeda di cermin. Wajah yang teduh. Semoga wajah ini seteduh hatinya. Mulai hari ini, Hara akan berubah menjadi lebih baik lagi. Mudahkan jalannya, ya Allah. Doanya dalam hati.
***
Bersambung.... klik di sini untuk baca lanjutannya yaa
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....