ENAM
“Oke, anak-anak. Sebelum kita mulai latihan sore ini, silakan kalian berlari mengitari sekolah ini sebanyak tiga putaran sebagai pemanasan!” seru Pak Ratno, guru olahraga.
Bibir Dita maju lima senti. “Yang bener aja? Tiga putaran?”
“Kan udah biasa. Ayo, Dit!” seru Hara yang sudah berlari lebih dulu.
“Hara! Tunggu!!”
Hara terus berlari seperti angin yang bertiup kencang. Ia melihat di depannya, Arya juga sedang berlari. Hara mempercepat larinya.
“Arya!” teriaknya, kencang.
Arya menoleh. Terkejut. Hara!
Arya tak lagi menoleh, tapi memperlambat larinya. Meskipun begitu, Hara tetap saja tertinggal.
“Arya! Cepet banget, sih?” Hara memegangi perutnya yang sakit.
“Tumben kamu nyapa aku?” tanya Arya, sinis.
“Memangnya…kenapa?”
“Bisa nggak sih yang keluar dari mulutmu itu bukan pertanyaan?”
“Maaf, deh, Arya. Aku memang suka nanya. Aku kan kritis,” Hara tersenyum meringis. “Aduh…!”
Arya cemas. Ia juga berhenti berlari. “Kamu kenapa?”
“Nggak, nggak pa-pa. Biasa. Kalau lari kan perutnya sakit. Tapi emang sih aku tadi belum makan.”
“Ayo, kutraktir di sana!”
“Yang bener aja! Mau dihukum Pak Ratno?”
“Nggak pa-pa.”
“Enggak, ah.”
“Ya udah. Kita jalan aja pelan-pelan.”
“Nggak usah. Kamu lari duluan, gih! Kamu kan cowok. Masa cuma dapet satu putaran!”
“Nggak. Aku temenin kamu,” Arya membuat Hara terbengong-bengong.
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Dita menyusul. Senyumnya mengembang melihat Arya dan Hara.
“Kukira kalian sudah dua putaran, ternyata masih di sini. Ayo, Ra!” ajaknya.
Hara mengangguk. Ia berlari lagi. Ditinggalkannya Arya yang terpaku.
“Dasar cewek! Nggak peka amat, sih!” maki Arya, kesal.
“Eh, tadi kamu ngomongin aku nggak sama Arya?” tanya Dita setelah mereka berada cukup jauh dari Arya.
“Belum sempat. Habis, kamu keburu dateng.”
“Gimana sih kamu, Ra?”
“Memang kalau Arya suka juga sama kamu, kenapa?”
“Ya pacaran, dong!”
Hara tertegun. Ia berhenti berlari karena mereka memang telah menyelesaikan putaran ketiga. Ia menyapukan handuk ke wajahnya. Pacaran.
“Kenapa harus pacaran?”
“Pertanyaanmu bikin bingung. Kalau orang jatuh cinta ya pacaran.”
“Iya, tapi untuk apa pacaran?”
“Ya…untuk mengekspresikan cinta kita. Ah, nggak tau deh. Kamu aneh deh, Ra. Hampir semua teman kita di sekolah ini juga pacaran,” jelas Dita, meski ia sendiri bingung dengan penjelasannya itu.
“Berarti…pacaran itu untuk orang yang jatuh cinta, tapi menikah untuk orang yang tidak jatuh cinta?”
“Kok omonganmu aneh, sih?”
“Besok Minggu kakakku akan dilamar oleh seorang cowok yang baru dikenalnya seminggu yang lalu. Aku tidak yakin mereka jatuh cinta dalam waktu secepat itu. Kakakku bilang cinta akan datang setelah menikah. Kakakku kan nggak pacaran,” jelas Hara. Dita tertegun mendengarnya.
“WOW!”
“Kok, wow?”
“Ya…Wow! Hebat bener, ya. Bisa menikah tanpa pacaran?”
“Apakah setelah kamu pacaran dengan Arya kamu akan menikah dengannya?”
“Ya belum tentu. Nggak mungkin lah nikah. Kita kan masih kelas dua SMA.”
“Berarti kalian dalam ketidakpastian?”
“Ya…iya.”
“Terus, buat apa pacaran? Bukannya nanti malah kamu yang rugi, Dit? Nanti kan pas kalian pacaran, kalian bisa melakukan apa saja. Pegangan tangan, ciuman…iya, kan? Tapi…kalian tidak pasti akan menikah.”
“Ya pacaranku pacaran sehat, dong. Aku juga nggak mau begituan.”
“Jadi ada ya pacaran sehat?”
“Udah ah, ngapain sih mikir yang berat-berat? Yang penting kamu harus jadiin aku sama Arya. Titik!” tegas Dita.
“Dit, kamu udah tahu belum? Kata kakakku, pacaran itu dilarang Allah.”
“Ah, masa sih? Aku nggak percaya! Kalau emang iya, kenapa banyak yang pacaran?! Kakak kamu aja kali yang kolot! Udah, ah!” Dita tak mau tahu.
***
Arya termenung di tempat duduknya. Sikap acuh Hara barusan membuatnya berpikir. Mungkin Hara memang tak memiliki perasaan sepertinya. Mungkin selama ini hanya ia yang merasa begitu. Arya sangat kecewa. Mungkin ia memang tak seharusnya berharap banyak. Mungkin ia seharusnya melupakan saja gadis yang bernama Hara itu. Hara….
“Arya!” seru Hara, mengejutkan.
Arya tersentak. Hara! Mau apa lagi dia?!
“Ada apa?”
“Aku kesulitan, nih. Tugas Bu Irma susah banget. Bantuin, ya!”
“Tumben kamu minta tolong sama aku. Bukannya kamu anak SMA 70 yang jenius itu?”
“Eit! Aku kan bukan anak SMA 70 lagi. Kalau PR, aku memang nggak kesulitan karena aku punya kakak yang jago Fisika. Maklum, kuliahnya kan di jurusan Fisika. Tapi kalau tugas yang dikerjakan di sekolah, aku bisa nggak tahu juga. Mau, kan bantuin aku, Juara Kelas?”
“Oke. Tapi kamu harus minta maaf dulu karena udah ninggalin aku tadi.”
“Kapan?”
“Tadi waktu olahraga.”
“Oh…itu, toh…. Jadi kamu marah. Maaf, deh.”
“Mana yang susah?”
Hara menunjuk soal yang dimaksud. Phiuh…sebenarnya sih tak ada yang susah, tapi terpaksa ia pura-pura nanya dalam rangka menjalankan misinya. He he he.
Tak terasa, hubungan Arya dan Hara semakin dekat dari mulai mengerjakan tugas sampai pulang bareng. Tak ada yang curiga dengan kedekatan mereka karena semua tahu mereka bersaudara. Dita sendiri malah senang melihat Hara semakin dekat dengan Arya karena yang ada di pikirannya Hara sedang mencoba menjodohkannya dengan Arya. Hara pun berpikir demikian. Ia memang sengaja berdekatan dengan Arya hanya untuk memenuhi keinginan Dita, tapi ia tak sadar bahwa yang ada di pikiran Arya tidak demikian. Arya pikir Hara mulai membuka hatinya untuk menyukainya.
Cinta itu mulai datang
Tapi ia masih menjadi misteri
Akankah aku sanggup membukanya?
***
“Wah, apa nih, Ra?” kedua mata Dita berbinar melihat surat undangan yang dibawa Hara.
“Undangan pernikahan kakakku. Akhirnya kakakku jadi menikah.”
“Penikahannya kilat banget?”
“Iya, ya? Cepat banget, ya? Cuma sebulan.”
“Iya, tapi aku masih tak bisa percaya kalau cinta bisa dateng setelah pernikahan.”
“Memangnya sampai sekarang kakakmu belum jatuh cinta juga sama calon suaminya?”
“Nggak tahu deh, tapi kayaknya sudah. Habis, sekarang kakakku senyum-senyum melulu.”
“Iya lah. Namanya juga mau nikah. Eh, aku jadi pagar ayunya, ya?”
“Baru aku mau minta.”
“Benar, nih?”
“Tapi kamu harus pake jilbab. Soalnya, pernikahannya bergaya islami. Semua panitianya harus memakai jilbab.”
“Oke deh. Nggak masalah. Eh, Ra, ngomong-ngomong, gimana perkembangan kasusku?”
“Sepanjang aku berhubungan dengan Arya, sepertinya dia belum punya pacar.”
“Belum punya pacar?” “Kalau itu sih aku tahu!”
“Lho, jadi kamu udah tahu?”
“Ya iya. Semua juga tahu kalau Arya belum punya pacar!”
“Ya…belum tentu. Bisa aja kan pacarnya tuh ada di luar kota jadi mereka nggak pernah terlihat berdua.”
“Terus, gimana kamu bisa menyimpulkan kalau Arya belum punya pacar?”
“Dia nggak pernah ngomongin ke aku.”
“Bisa aja dia sengaja nyembunyiin.”
“Kan bisa aja keceplosan. Nyatanya dia nggak pernah nyebut nama cewek lain.”
“Tapi…ini belum tentu, kan?”
“Ya belum. Aku kan belum tanya langsung.”
“Kalau gitu, semua masih tanda tanya, dong?”
“Tenang…sabar dulu, dong.”
“Sabar, sabar nggak tahunya kamu lagi yang ditaksir Arya!”
“Kamu gimana sih, Dit? Aku kan sepupunya!”
“Oh ya?” Dita menatap Hara, tajam.
Hara terdesak. Jangan-jangan…Dita….
“Sepupu kan boleh jadian.” Dita melanjutkan.
“Tenang deh, Dit. Insya Allah aku nggak bakal ngerebut Arya dari kamu.”
“Insya Allah?”
“Ya…kita kan nggak ada yang tahu apa yang terjadi nanti.”
“HARA...!”
Hara dan Dita tertawa bersama, tapi kemudian Hara diam. Ia menatap Dita dengan perasaan bersalah. Kapan ia berani berterus terang kalau ia bukan sepupu Arya, ya? Ia belum punya keberanian untuk itu. Ia menyesal sekali telah membohongi Dita.
***
Bu Irma menatap anak-anak walinya penuh haru. Hari ini mungkin hari terakhirnya bisa berkumpul dengan anak-anak walinya di kelas ini karena mereka akan naik ke kelas tiga. Sedih rasanya karena ia punya banyak kenangan di sini. Kenangan yang sulit dilupakan. Maklum, tahun kemarin adalah kesempatan pertamanya menjadi wali kelas dan ia tak mendapat begitu banyak halangan berarti. Memang ada satu anak walinya yang sempat membuatnya stres, tapi entah kenapa semenjak memasuki semester dua, sikap anak walinya itu berubah menyenangkan.
“Hari ini adalah hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan buat Ibu. Bahagia karena akhirnya Ibu bisa mengantar kalian menuju kelas tiga yang penuh tantangan, sedih karena Ibu harus berpisah dengan kalian. Apa pun yang sudah berlalu semoga menjadi penyemangat buat kita agar lebih meningkat di tahun-tahun ke depan. Selanjutnya Ibu akan memanggil ranking pertama di kelas ini yang tetap dipegang oleh…Arya!” Bu Irma menyebut nama Arya yang sedang menanti penuh harap. Semua anak bersorak. Arya memang hebat. Hara ikhlas. Ternyata ia tak bisa mengalahkan si juara kelas itu.
“Selamat, Arya!” Bu Irma menyerahkan buku raport Arya. Arya mengangguk. “Selamat juga karena kamu masuk IPA.”
“Nah, sekarang juara keduanya adalah….Hara!” kali ini Bu Irma memanggil Hara. Semua mata langsung menatap Hara yang termangu. Bukan rahasia lagi kalau Hara pasti jadi juara. Bukan karena statusnya yang pernah menjadi siswa SMA 70 yang favorit, tapi karena ia memang telah bekerja keras untuk itu. Hara menghampiri Bu Irma dengan mata berbinar.
“Selamat, Hara. Kamu berhasil jadi juara dua. Kamu juga berhasil masuk IPA.” Bu Irma menjabat tangan Hara.
Rasanya Hara ingin menangis.
“Hara! Selamat, ya!” seru Dita setelah Hara kembali ke tempat duduknya. Hara tersenyum senang. Tak dilihatnya tatapan mata Arya yang juga senang melihat Hara berhasil.
“Nah, ini yang mengejutkan, anak-anak. Ibu bangga karena teman kita ini ternyata bisa berhasil juga,” kata Bu Irma, sebelum mengumumkan juara ketiganya.
Dita heran mendengarnya. “Berhasil juga? Dari kemarin kan aku juara tiga?” tanyanya, bingung.
“Selamat buat Ariel, ya! Ibu tak menyangka kamu bisa meraih predikat ini!” seru Bu Irma, mengejutkan. Semua anak menatap Ariel yang ternyata juga tak menyangka ia bisa rangking tiga. Dita menggelengkan kepala. Tidak…tidak mungkin!
“Hara…kenapa? Kenapa dia?” Dita menangis.
Hara menggeleng. Ia juga tak mengerti.
“BENCI! AKU BENCI...!” Dita berteriak setelah Bu Irma meninggalkan kelas.
“Hus! Dita, kamu nggak boleh begitu.” Hara melekatkan jari telunjuknya ke bibir.
“Tapi kenapa harus dia, Ra? Kenapa dia? Kalo orang lain sih nggak pa-pa, tapi dia?”
“Semua orang bisa berubah dan Ariel sudah berubah. Kamu harus bisa menerima kalau ternyata dia lebih pintar dari kamu.”
“Duuuh! Kamu kok malah ngomong gitu sih, Ra?! Sebel! Nggak ada yang belain aku!”
Hara tak tahu harus berkata apa lagi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....