Wednesday, August 10, 2011

Novel: Cinta Buat Chira (13)


13

Tak terasa dua hari berlalu. Sudah banyak ilmu agama yang telah didapatkan para peserta. Bukan hanya ilmu, tapi mereka juga telah bersama-sama merasakan kedekatan sebagai saudara satu iman. Malam ini sebagai malam terakhir akan digunakan untuk kajian bareng dan pentas seni. Karena hanya kaum ikhwan yang menyajikan nasyid, maka kaum akhwatnya bisa bersantai-santai tanpa perlu latihan.
“Eh, Ra. Elu kenapa, Ra?” tanya Putty melihat wajah Cira yang pucat. Cira menggeleng lemah.
“Nggak tau, nih.  Kepala gue pusing banget.” Cira memijit-mijit keningnya.
“Hem…pasti lu kekurangan deh.”
“Kurang apa?”
“Kurang makan! Elu kan harusnya makan segentong, tapi di sini cuma dua kali sehari.” Cibir Putty. Cira manyun mendengarnya.
“Ah…Putty. Elu tega banget, sih. Tapi…emang bener sih. Mana di sini nggak ada tukang jualan lagi. Gue nggak bisa ngemil.” Cetusnya. Putty tertawa mendengarnya.
“Terus gimana, Ra? Elu nggak bisa ikut pentas seni?”
“Aduh…nggak tau. Padahal gue pengen banget, nih. Tapi…rasanya gue pengen tiduran aja.” Cira menggigil.
“Wah, gawat. Kalo gitu elu bener-bener nggak bisa ikut. Mana udara malam ini juga dingin banget. Ya udah deh. Lu istirahat aja.” Putty menyelimuti Cira.
“Terus…elu?”
“Ya…gue mau nonton pentas seni. Siapa tahu kak Adrian manggung?” Putty tersenyum. Kening Cira berkerut.
“Kak Adrian?” tanyanya, bingung.
“Gue rasa udah saatnya lu tau, Ra. Sebenarnya gue tuh udah lama naksir kak Adrian.” Putty mengerjapkan mata. Cira bengong mendengarnya.
“Ah, lu nggak usah bengong gitu deh. Wajar aja kan kalau kak Adrian banyak yang naksir? Tapi…gue nggak langsung bergerak. Gue tunggu waktu yang tepat dulu. Gue ngadaian penyelidikan dulu.” Lanjut Putty.
“Jadi…itu yang bikin elu rajin ke musholla, ikut Rohis, pakai jilbab….” Cira geleng-geleng kepala.
“Ye! Ya nggak gitu, lah. Gue emang udah dari SMP rajin sholat. Enak aja!  Justru karena gue rajin ke musholla itu gue jadi sering ketemu kak Adrian dan jadi naksir. Eh, di tengah-tengah, tiga Ratu Gosip bikin masalah. Mereka malah nyomblangin gue sama Doni. Sebel! Padahal Doni itu kan cuma akal-akalan gue aja. Gue nggak beneran naksir!” urai Putty membuat Cira semakin melongo.
“Ya ampun, Put. Jadi selama ini elu udah nyembunyiin banyak hal sama gue?”
“Nggak banyak kok. Cuma satu. Lagian kan meskipun kita bersahabat, nggak semua rahasia gue musti elu ketahui. Iya, kan? Gue cuma nggak mau kak Adrian tahu sebelum waktunya.”
“Maksud lu apa?”
“Nanti kalau saatnya tepat, gue akan mengatakan perasaan gue sama kak Adrian.” Kata Putty mantap. Cira melotot mendengarnya.
“Elu…serius…Put?” tanyanya tak percaya. Putty mengangguk mantap.
“Yup! Gue kan udah pake jilbab dan udah ikut Rohis, masa’ sih dia masih nolak gue. Gue tahu dulu-dulu itu dia nolak para cewek karena mereka nggak berjilbab, nggak ikut Rohis.” Kata Putty, yakin. Cira hanya manggut-manggut mendengarnya.
“Nah elu juga mestinya gitu, Ra. Kalau gue udah berhasil nembak kak Adrian, elu musti ikutan. Biar kita sama-sama punya pacar.” Lanjut Putty. Cira melongo lagi mendengarnya.
“Gu…e…?”
“Ya…siapa lagi? Ah, udah, ah. Sekarang gue mau nonton pentas seni dulu. Lu istirahat aja, Ra.”
“Yah…jangan, Put….” Cira menarik lengan Putty.
“Jangan gimana, sih?”
“Masa’ elu nggak nemenin gue, sih? Elu nggak setia.”
“Nemenin elu tidur? Ini bukan masalah setia nggak setia, tapi gue bete ngeliatin elu tidur sementara gue belum bisa tidur.” Putty mencibir. Cira melirik pohon besar di samping jendela.
“Kalau sendirian…gue juga nggak bakalan bisa tidur….” Rengeknya. Putty menghela napas.
“Hei, ngapain sih elu takut. Kita udah tiga hari di sini dan sekarang malam terakhir. Nggak ada apa-apa, kan?”
“Ya…Put. Jangan….”
“Ah, udah, ah. Lepasin tangan gue!” Putty menepis pegangan tangan Cira. Tiba-tiba saja Naila masuk ke kamar.
Assalamu’ alaikum. Afwan ya, Dek. Nyelonong aja. Pintunya terbuka.” Katanya, tersenyum.
“Nggak pa-pa, Kak. Masuk aja.” Putty membalas senyum itu.
“Kok kalian masih di sini? Acaranya sudah mau mulai, lho. Cira? Kamu nggak pa-pa?” tanya Naila melihat Cira yang terbaring lemah.
“Iya, nih, Kak. Cira sakit kepala. Nggak bisa bangun katanya.” Putty cemberut menatap Cira.
“Oh...masya Allah. Ya udah, Ra. Kamu nggak  usah keluar kamar. Tiduran aja di sini.”  Naila membelai kepala Cira.
“Masalahnya, Kak, Cira itu penakut.” Cibir Putty. Naila tersenyum.
“Oh….”
“Kok cuma ‘oh’? Gimana, Mbak? Putty kan juga pengen liat acaranya. Masa’ Putty mesti nungguin Cira?” Putty merengut. Cira juga merengut. Dasar Putty bener-bener nggak setia!
“Yah, nggak pa-pa. Kalau Putty mau nonton acaranya ya nggak pa-pa.” Naila mengangguk.
“Ya? Terus Cira gimana, Mbak?” Cira cemberut.
“Ya, Cira tetap di sini.” Naila tersenyum. Cira melotot.
“Yah, Mbak Naila jahat!” rengeknya.
“Eh, Cira, tenang dulu. Maksudnya, kamu tetap di sini dengan Lina. Lina kan sedang sakit juga. Dia di kamar Mbak sekarang. Terserah kamu, mau kamu yang ke kamar Mbak, atau Lina yang ke sini.” Jelas Naila. Cira menghela napas lega.
“Oh…jadi gitu. Ya udah, deh. Cira aja yang ke sana. Biar sekalian.” Cira bangkit dari tidurnya.
“Sini Mbak bantuin, Ra!” Naila membantu Cira berdiri.
“Nggak usah kok., Mbak. Nggak pa-pa.” Cira menggeleng, tapi Naila dan Putty tetap menolongnya sampai ke kamar sebelah tempat Lina berada.
“Makasih ya, Mbak. Akhirnya Cira bisa tidur tenang di sini.” Cira menghela napas lega. Di sampingnya Lina hanya tersenyum melihatnya. Putty mencibir.
“Ra, sorry, ya. Gue musti ninggalin elu. Sayang banget nih elu nggak bisa ikutan.” Katanya. Cira pura-pura tak mendengar.
“Sudah ya, Putty. Selamat menikmati malam ini.” Katanya sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Putty pun pergi bersama Naila meninggalkan Cira dan Lina.
“Eh, Lina, kamu sakit apa?” tanya Cira sambil menatap wajah Lina yang  pucat., Lina tersenyum.
“Asmaku mendadak kambuh. Tapi nggak pa-pa, kok. Aku udah baekan,. Cuma aja aku nggak boleh kena udara dingin.”
“Oh…gitu. Eh, nggak enak ya, sakit. Aku sebenarnya pengen banget liat pentas seni.” Keluh Cira.
“Sudahlah. Semua ada hikmahnya. Kalau kita tetap ke sana nanti kita ngerepotin orang.”
“Iya, deh. Kita tidur yuk, Lin.” Cira mulai memejamkan mata.
“Eh, Ra, mendingan kita sholat Isya dulu.” Lina menggoyangkan tubuh Cira.
“Ntar aja deh. Kan baru adzan.” Cira menjawab malas.
“Eh, Ra. Kan lebih baik kita langsung sholat habis adzan. Nanti kan tidur kita lebih tenang. Kalau sholatnya malam-malam, apa kamu berani ke kamar mandi sendirian? Soalnya aku mau sholat sekarang, lho.” Kata Lina. Cira langsung bangkit dari tidurnya.
“Ya…Lina! Lu nggak toleransi banget, sih?” rengeknya.
“Ini bukan soal toleransi atau enggak, tapi gue emang pengen sholat sekarang. Kita kan nggak tahu sampai di mana umur kita. Gimana kalau nanti kita nggak bisa bangun lagi padahal kita belum sholat Isya?”
“LINA! Kamu jangan nakut-nakutin gitu, dong! Ya udah, deh. Kita sholat sekarang!” Cira turun dari tempat tidur. Lina tersenyum.
“Nanti kan kalau udah sholat, tidurnya jadi tenang.”
“Iya, iya! Ayo kita ke kamar mandi!” seru Cira sambil menuju ke pintu yang ada di dalam kamar itu. Ia terkejut karena ternyata pintu itu tidak langsung menuju kamar mandi, tapi menuju lorong yang gelap dan sempit.
“Di kamar ini memang ada banyak kamar mandi. Tinggal masuk aja ke lorong itu, ntar ada banyak kamar mandi. Yuk!” ajak Lina. Cira menggeleng. Melihat lorong panjang itu, ia jadi takut.
“Enggak ah, Lin. Kok gelap, sih. Aku takut.”
“Nggak usah takut. Lampu lorongnya memang mati, tapi lampu kamar mandinya enggak, kok. Yuk! Kan bareng aku ini.” Lina tersenyum. Meski takut, akhirnya Cira ikut juga.
“Eh, kamar mandinya yang hadap-hadapan, ya.” Pinta Cira.
“Iya.”
“Kamu harus tungguin aku, lho. Kalau mau balik, bilang.”
“Iya.” Lina geleng-geleng kepala.
“Udah, Lin. Kamar mandi yang ini aja.” Kata Cira. Lina mengangguk. Mereka berbarengan masuk ke kamar mandi yang berbeda tapi berhadap-hadapan.
Lina membasuh wajahnya yang basah oleh air wudhu. Ia melihat kamar mandi Cira masih tertutup. Ternyata Cira belum selesai juga.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanya Cira dari kamar mandi.
“Iya!” jawab Lina. Cira menghela napas lega. Lina geleng-geleng kepala. Ternyata Cira lama juga di kamar mandi.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanya Cira lagi.
“Iya!”
Cira menghela napas lega. Ia tahu ia memang agak lama di kamar mandi. Maklum, ternyata perutnya sakit.
“Lin! Elu masih di situ, kan?” tanyanya lagi.
“Iya!”
Cira tersenyum. Akhirnya selesai juga. Setelah berwudhu, ia pun segera keluar dari kamar mandi. Ia juga nggak enak lama-lama di kamar mandi. Cira melotot melihat kamar mandi Lina yang telah kosong sedang Linanya sudah tak ada. Tanpa basa-basi lagi, Cira langsung meninggalkan lorong sempit itu kembali ke kamar.
“LINA!!!!”
“Cira! Kenapa sih kamu?” tanya Lina yang baru selesai sholat. Cira melotot melihatnya.
“Lina…elu….”
“Maaf, ya. Gue sholat duluan, habis elu lama sih.”
“Terus, tadi elu nungguin gue di kamar mandi?” tanya Cira, gugup.
“Iya, tapi cuma sebentar. Gue takut batal.” Jawab Lina sambil melipat mukenanya. Wajah Cira makin pucat.
“Lu denger nggak pas gue nanya lu masih di situ apa enggak?” tanyanya lagi.
“Iya. Habis elu nanyain itu, gue masih nungguin elu, tapi karena elu lama, gue pergi aja.”
“Gue kan nanyanya tiga kali, elu jawab berapa kali?” tanya Cira, lagi.
“Sekali, habis itu gue pergi. Emang kenapa sih, Ra? Lu kayak ketakutan.” Tanya Lina. Wajah Cira makin pucat.
“Gue…gue denger suara elu, Lin. Lu jawab pertanyaan gue terus, kok. Gue kan nanyanya sampai tiga kali. Terus…yang dua itu siapa yang jawab?” tanyanya, gugup. Wajah Lina langsung pucat juga.
“Nah, lho, Ra….”
AAAGH!!!!
“Udah! Udah, Ra! Tenang! Tenang! Nggak pa-pa, kok. Nggak ada apa-apa!” Lina menepuk-nepuk bahu Cira.
“Tapi jelas banget, Lin. Jelas banget gue denger suara elu jawab pertanyaan gue….”
“Ya udah, deh. Nggak usah panik, dulu. Sekarang sholat aja dulu, ya biar hati tenang.” Suruh Lina. Cira mengangguk. Ia pun sholat meskipun tidak khusyuk karena ia terus teringat kejadian tadi.
***
Putty merasa bete juga duduk sendirian di bangku penonton. Penyebabnya ada dua, meskipun Cira boros tempat, tapi kalau nggak ada dia nggak enak juga.  Kedua, ceramah memboringkan ini dari tadi juga nggak selesai-selesai. Mending kalau yang ngasih ceramah Kak Adrian yang super cute, keren, de el el itu. Jadi kan dia nggak bakalan boring. Ngeliatin wajahnya yang keren itu, nggak bakalan boring deh!
Putty merengut. Bawaannya jadi pengen marah kalau begini. Untung sebelum marah, tuh ustadz yang bikin boring (menurut Putty) udah cabut. Putty lega. Sekarang saatnya sambutan dari Ketua Rohis yaitu Adrian!!! Putty menutup mulutnya. Untung nggak ada yang lihat kalau dari tadi dia senyum-senyum sendirian.
“PERGI LUH!!!” sebuah suara yang datang tiba-tiba mengejutkan semua peserta. Seorang peserta akhwat tiba-tiba saja berteriak tak karuan, meraung-raung dan mencakar kanan-kiri. Semua peserta akhwat yang duduk di samping kiri, kanan, depan, belakangnya langsung kabur. Putty yang duduk dua bangku dari akhwat kesurupan itu masih belum tanggap dengan apa yang terjadi. Tahu-tahu saja akhwat kesurupan itu sudah menarik bajunya.
“BRENGSEK LUH! SIALAN! #$%^&*” maki tuh akhwat. Putty hanya bisa bengong. Ekspresi mukanya ada dua: bingung dan takut.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Putty, gemetar.
“PERGI LUH! PERGI!!!!”
“Iya! Iya! TOLONG!!!!” jerit Putty.
“Sabar, sabar, Dek!” Akhwat-akhwat senior berdatangan dan menolong Putty dengan menarik peserta yang kesurupan itu. Ustadz yang tadi ceramah langsung mendatangi tempat itu.
“Ayo yang akhwat, pegang jempol kanannya! Yang ikhwan ikut ngaji sini!” perintah tuh Ustadz. Semua yang diperintah langsung bergerak. Putty yang sudah diungsikan masih terbengong-bengong. Ia tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
“Kak…dia kenapa?” tanyanya pada akhwat senior yang menjaganya.
“Dia kesurupan, Dek.” Jawab akhwat senior itu.
“Kesurupan?” Putty nggak mengerti. Ketidak mengertiannya itu terjawab saat si akhwat  yang kesurupan berteriak-teriak lagi.
“WOI LEPASIN GUE! LU-LU NGGAK BAKALAN BISA NGELUARIN GUE DARI SINI! DI SINI ENAK! WEEE!!!” kata tuh akhwat sambil meleletkan lidah. Putty makin bengong melihatnya. Ya Allah! Tuh akhwat kenapa? Makin aneh aja!
“Keluar kau! Jangan ganggu dia! Keluar!!!” seru Pak Ustadz sambil memukul ubun-ubun akhwat yang kesurupan dengan sarung, sementara ikhwan-ikhwan yang lain membaca ayat-ayat pengusir jin. Akhwat itu mengejang lalu tak sadarkan.
“Bawa dia ke kamar! Jinnya sudah keluar, tapi bisa masuk lagi. Tolong dingajikan terus, ya.” Pesan Pak Ustadz. Para akhwat yang diperintah mengangguk. Putty masih terbengong-bengong melihatnya. Kemasukan Jin? TOLONG!!!
***
“CIRA! CIRA! Pokoknya elu nggak nyangka!” seru Putty sesampainya di kamar tempat Cira dan Lina berada. Cira dan Lina keheranan melihatnya.
“Lu kenapa sih, Put? Dateng-dateng kayak orang kesurupan gitu? Emang acaranya udah selesai?” tanya Cira.
“Kesurupan! Iya! Gara-gara akhwat kesurupan itu acaranya jadi batal total!” teriak Putty. Cira dan Lina bertatapan lagi.
“Ya ampun! Kalian tuh telat mikir banget sih?! Ada cewek kesurupan! Kemasukan jin! Tuh lagi dirawat di kamar sebelah!” seru Putty. Cira dan Lina terbelalak mendengarnya.
“Kemasukan Jin?!!!” jerit Cira.
“Masya Allah? Beneran? Siapa?” tanya Lina.
“Nadia.” Kata Naila yang tiba-tiba masuk. Semua berbarengan menatapnya.
“Maaf ya, masuknya nggak bilang-bilang. Cuma mau mengingatkan, sebaiknya di sini pikiran kalian jangan kosong. Kami  baru saja mendapatkan penjelasan dari penjaga kalau di sini banyak jinnya.” Jelas Naila.
“JIN?!!”
“Iya. Sayang sekali penjaganya nggak bilang dari pertama. Jinnya suka masuk ke tubuh orang yang nggak ada penjaganya. Penjaganya apalagi kalau bukan doa dan zikir? Nadia memang baru saja kehilangan ayahnya seminggu lalu, jadi pikirannya masih menerawang ke mana-mana, akhirnya dia kemasukan Jin.” Jelas Naila. Cira menatap Lina, pias.
“Mbak…Jinnya tadi bisa ngomong, nggak?” tanya Cira dengan bibir bergetar.
“Bisa. Kalau orang yang kesurupan itu ngomong, berarti itu jinnya yang ngomong.” Jawab Naila. Cira melotot.
“Jadi?”
AAAGH!!!
***
Mabit telah membawa banyak pelajaran untuk Cira, terutama kejadian semalam. Cira sekarang merasa betapa pentingnya sholat, karena sholat adalah penjaga utama ruhani  agar nggak kesurupan. Cira sudah menceritakan kejadian semalam kepada Ustadz ternyata Ustadznya bilang jinnya memang sedang mengincar orang-orang yang lengah. Kemungkinan Cira termasuk yang diincar, tapi nggak bisa karena Cira sholat Isya malam itu. Cira bersyukur sekali karena ia tak menunda sholat isyanya. Coba kalau iya, mungkin dia sudah kesurupan.
Kasus Nadia lain lagi. Selain ia sedang banyak melamun karena baru saja kehilangan ayahnya, ia juga sedang datang bulan. Otomatis Jin mudah masuk ke dalam tubuhnya. Syukurlah Jin itu nggak membandel. Begitu didoakan, Jin itu mau keluar. Soalnya kata Pak Uztadz, ada banyak Jin yang membandel dan susah keluar sampai berbulan-bulan. Hiy! Cira ngeri membayangkan andai ia yang kena. Orang yang kesurupan kan udah nggak ada bedanya sama orang gila. Ya Allah…Cira bersyukur sekali sudah diselamatkan oleh Allah malam itu. Ia berjanji tidak akan meninggalkan sholat sampai kapan pun, kecuali ya kalau lagi datang bulan. He he he he.
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....