12
Cira menggaruk kepalanya yang memang gatal ketombean. Hari-hari ujian ini membuatnya malas keramas. Sekarang semuanya serba cepat. Makan cepat, tidur cepat, mandi pun cepat, makanya ia malas keramas. Cira memang tidak ingin melewatkan waktu belajarnya. Ia harus belajar dengan benar agar bisa naik kelas. Baginya sih yang penting naik kelas, soalnya kalau dapet ranking…berat!!!
“Cira! Lu ngotorin tempat tidur aja?!” Rana mulai berisik setelah melihat tempat tidurnya yang penuh dengan ketombe Cira. Cira melotot.
“Diem lu, ah! Ganggu aja! Besok gue Geografi, nih!” sungutnya. Rana mencibir.
“Cuma geografi ini….”
“Ih! Pergi sana!” usir Cira.
“Ye! Gue kan juga mau belajar!” sungut Rana. Cira merengut. Alhasil malam ini ia tidak benar-benar belajar karena berantem terus dengan adik satu-satunya itu.
***
“Cira!!!” jerit Putty, mengejutkan. Cira melengos melihatnya. Tentu saja Putty heran.
“Lu kenapa, sih? Muka lu kok kusut banget. Udah rambut lu gimbal gitu lagi!” tanyanya sambil mengibaskan rambut Cira.
“Iyalah. Seminggu ini gue nggak keramas, tau!” sungut Cira.
“Aiiih…kenapa lu?” Putty geleng-geleng kepala.
“Gue pusing, tau! Gue udah belajar semaleman, eh nggak keluar.”
“Geografi sih nggak usah belajar. Pake perasaan aja.”
“Ye! Emangnya elu!” Cira mencibir.
“Udahlah, yang penting sekarang kita bebas. Eh, liburan lu mau ke mana?” tanya Putty sambil merangkul bahu Cira. Cira menghela napas.
“Mabit.”
“Mabit?!” Putty melotot. “Apaan tuh?”
“Malam Bina Iman dan Takwa.”
“Yah…pasti kerjaan Rohis lagi.” Putty mencibir.
“Eh, ini seru lagi, Put. Rencananya kita mau mabit di Taman Mini. Bayangin, Put. Tiga malem bareng Farhan!!!” jerit Cira. Putty melotot mendengarnya.
“Maksud lu…semua anggota Rohis bakalan nginep di Taman Mini?” tanyanya tak percaya. Cira mengangguk. Putty terpana. Berarti…dia juga bakalan….
“Gue juga mau ikut, ah!” serunya, cepat. Kening Icr aberkerut.
“Elu?”
“Iya.”
“Tapi…elu bakalan ketemu mbak Naila terus, lho. Lu nggak malu?” cibir Cira. Putty memalingkan wajahnya yang merah.
“Emangnya…kenapa harus malu?” ia balik nanya.
“Emangnya gue nggak tau? Elu kan selalu menghindar kalau ketemu dia.”
“Ye! Itu kan….”
“Nanti elu bakal ketemu dia tiga hari tiga malam!” seru Cira.
“Biarin! Yang penting gue….” Putty berkhayal.
“Woi! Bangun! Elu serius mau ikut?!” seru Cira. Putty mengangguk cepat.
“Yah…meskipun gue nggak ikut mentoring kan tapi gue ikut kajian terus. Ini buat perpisahan Rohis, kan?” tanyanya.
“Ye! Bukan, Put. Ini buat mabit aja. Buat memperkaya ruhani kita.” Cira mengutip perkataan Naila dulu. Putty manggut-manggut.
“Yah, apalah namanya. Pokoknya gue ikut.” Katanya sambil tersenyum. Cira mencibir.
“Ya udah. Daftarnya di mbak Naila.” Katanya. Putty melotot.
“Ya…Cira…tolongin gue, dong!!!”
***
“Jadi adik-adik, rapat Rohis kemarin memutuskan bahwa kita akan mabit di Desa Wisata di Taman Mini selama tiga hari. Biayanya seratus lima puluh ribu. Silahkan kalau kalian mau mendaftar sekarang, langsung saja sama saya.” Kata Naila seusai memberikan materi mentoring hari ini. Semua adik binaannya berebutan mendaftar.
“Em…kalian nggak keberatan kalau biayanya sebesar ini? Kami sudah berusaha memperketat anggarannya.” Tanya Naila.
“Ah, enggak kok, Mbak. Wajar aja.” Kata Farah diangguki oleh yang lain. Naila tersenyum.
“Mbak…” Cira mulai bicara.
“Ada apa, Ra?”
“Em…Putty…mau ikut.”
“Putty?” Naila terkejut. Semua berbarengan menatap Cira. Cira jadi tak enak.
“Putty mau ikut, Mbak. Putty minta didaftarin.” Lanjutnya. Naila manggut-manggut sementara yang lain kasak-kusuk.
“Oh…ya, nggak pa-pa. mudah-mudahan setelah ikut mabit, Putty mau ikut mentoring lagi. Iya, kan, adik-adik?” Naila menatap adik binaannya satu persatu. Semua manggut-manggut. Cira tersenyum. Debar di dadanya hilang sudah.
***
“Tuh, Put! Lu udah gue daftarin!” seru Cira sambil melempar kuitansi pembayaran ke depan Putty. Putty tersenyum. Dipeluknya Cira yang kesulitan bernapas.
“Udah, dong! Udah!!!” teriak Cira.
“Makasih ya, Ra…. Makasih….” Putty mencium-cium kuitansinya. “Kapan kita berangkat, nih?”
“Kok jadi kamu yang antusias, sih?”
“Iya, dong. Kan asyik bisa liburan bareng….”
“Ikhwan? Jangan harap, lho. Soalnya tempatnya dipisah sama ikhwan. Paling kalau ada acara yang bareng-bareng aja kita bareng.”
“Yah…nggak pa-pa. Setidaknya kan gue ada kesempatan.” Putty tersenyum.
“Kesempatan apa?”
“Udah deh. Ntar juga lu tau. Oke, Ra?!” Putty meninggalkan Cira setelah sebelumnya menjawil hidung Cira yang bulat. Cira manyun.
***
Cira menatap wajahnya di cermin. Cermin itu memantulkan wajah yang berbeda. Wajah Cira dengan jilbab yang baru dibelinya tadi siang. Cira tersenyum. Lumayan juga. Setidaknya jerawat-jerawat yang ada di bagian samping bisa tertutupi.
“Ra! Lu mau pakai jilbab?!!!” teriak Rana, tiba-tiba sampai-sampai Cira lompat.
“Ah, elu! Ngagetin gue aja! Emangnya kenapa?”
“Cie…ada angin apa lu sampe mau pakai jilbab?” Rana mencibir.
“Nggak ada angin apa-apa. Kesadaran gue sendiri.”
“Kesadaran?”
“Udah deh. Lu jangan mulai ngejek. Pokoknya gue mau pakai jilbab. Keren, kan?”
“Keren? Lu kayak emak-emak, tau! Yang pake jilbab kan cuma emak-emak!”
“Enak aja! Mbak-Mbak Rohis gue cantik-cantik pake jilbab!”
“Emak-emak kan juga ada yang cantik!”
“Udah ah! Lu jangan gangguin gue!” sembur Cira. Rana buru-buru meninggalkan Cira sendirian. Cira kembali menatap cermin yang memantulkan wajahnya yang berjilbab rapi. Ya Allah, kuatkanlah hatiku untuk mentaati perintahMU.
***
Apa yang dipikirkan Cira menjadi kenyataan. Teman-teman akhwatnya di Rohis terkaget-kaget melihatnya memakai jilbab di hari ketika mereka akan berangkat ke Taman Mini.
“Subhanallah…. Selamat ya, Ra. Baraokallah. Moga istiqomah.” Begitu selalu yang diucapkan mereka. Ah, Cira senang sekali. Ucapan mereka itu semakin memotivasinya untuk terus berjilbab. Selamanya.
“CIRA! Lu pakai jilbab juga!” tegur Putty yang baru datang. Cira tersenyum.
“Insya Allah.”
“Selamanya?”
Cira terkejut dengan pertanyaan Putty barusan. Maksud Putty apa, sih?
“Lu kok ngomong gitu sih, Put?” tanyanya, emosi. Putty tersenyum.
“Enggak. Gue pikir tadi elu tuh pake jilbab karena kita semua pakai jilbab.”
“Yah, mudah-mudahan Cira istiqomah dengan jilbabnya. Iya, kan, Ra?” Naila mengusap-usap pundak Cira. Cira tersenyum. Putty mencibir.
“Iya, Put. Mudah-mudahan sih gue bener-bener pake jilbab. Maksudnya, gue tetap pake jilbab ke mana pun gue pergi. Termasuk kalau mau ke mall.” Bisik Cira pada Putty. Putty membuang muka. Sebel!
“Ayo Cira, Putty, letakkan barang-barangnya di bagasi. Nanti nggak kebagian tempat, lho.” Naila memberi instruksi. Putty dan Cira berbarengan melangkah menuju bus yang telah menunggu mereka.
“Liat aja nanti, Ra. Elu juga bakalan nggak tahan pake jilbab.” Bisik Putty. langkah Cira terhenti. Benarkah? Ah, lihat saja nanti.
***
Perjalanan menuju Taman Mini Indonesia Indah tidak terlalu memakan waktu lama. Hanya tiga jam. Rencananya mereka akan mabit di Desa Wisata yang memang disediakan bagi pengunjung yang ingin menginap di Taman Mini. Kenapa memilih Taman Mini? Karena biayanya memang tidak terlalu mahal. Seratus lima puluh ribu itu sudah termasuk biaya penginapan tiga hari, akomodasi dan makan. Lumayan murah, kan? Semoga acara mabit ini tidak hanya membuang-buang uang, tapi juga bisa menambah keimanan mereka.
Tak lama rombongan Rohis telah sampai di tempat tujuan. Setelah membayar tiket masuk, mereka segera menuju ke Desa Wisata yang dimaksud. Ternyata Desa Wisata itu tak seperti bayangan. Mereka pikir mereka akan menginap di rumah-rumah kayu seperti yang ada di pedesaan. Ternyata mereka menginap di bangunan yang menyerupai asrama. Bagian laki-laki dipisah dengan bagian perempuan. Berdasarkan pengundian kamar, Putty dan Cira menempati kamar paling ujung yang tepat berada di sebelah sebuah pohon besar. Cira langsung merinding dibuatnya.
“Hii! Put, kok kita sial banget ya dapat kamar ini?” Cira mengusap-usap tubuhnya yang merinding. Mana kamarnya besar lagi.
“Alah! Dasar penakut! Baru sampe udah takut. Lu kebanyakan nonton film misteri, sih.” Cetus Putty sambil melempar tas punggungnya ke tempat tidur.
“Bukan gitu. Ini feeling aja. Liat tuh pohon besar itu.” Cira menunjuk pohon besar yang dahannya melambai-lambai di samping jendela.
“Jangan diliatin. Ntar setannya balas ngeliatin, lho!” Putty tertawa. Cira melemparnya dengan bantal.
“Eh, Ra. Gue bete banget nih. Masa’ kita dipisah sih sama yang cowok? Tadi busnya dipisah, sekarang ruangannya juga dipisah. Kapan ketemunya?” Putty mendengus kesal.
“Tuh, kan bener. Lu cuma pengen ngeceng aja kan ke sini?” Cibir Cira.
“Eh, jangan sok suci, ya. Lu juga, kan? Lu masih naksir sama Farhan, kan?” Putty balas mencibir.
“Ssst…jangan kencang-kencang. Kamar sebelah kan mbak Naila, ntar kedengeran lagi.” Cira meletakkan telunjuknya ke bibir. Putty tertawa. Tawanya terhenti saat terdengar suara pintu diketuk. Putty dan Cira berpandangan.
“Eh, siapa tuh, Put?” tanya Cira dengan wajah ketakutan. Dia melirik pohon besar di samping jendela yang daunnya masih melambai-lambai.
“Nggak tahu. Elu dong yang buka.”
“Ih…elu, dong. Katanya lu pemberani.”
“Siapa bilang? Sana buka!”
“Lu aja!”
“Elu!”
“Elu!”
“E…” keributan keduanya berhenti saat ointu kembali diketuk. Tak terasa ternyata mereka sudah berpelukan.
“Ra….”
“Put….”
TOK. TOK. TOK.
“Assalamu’alaikum, Dek. Sholat Ashar jamaah, yuk.” Suara Naila terdengar. Putty dan Cira berbarengan menghela napas.
“Ah, elu, sih, Ra. Lu nularin otak paranoid lu ke gue!” Putty bersungut-sungut sambil membuka pintu.
“Kok lama banget sih, Dek? Buruan ya. Ditunggu sholat jamaah di kamar Mbak.” Kata Naila sambil tersenyum. Putty mengangguk.
“Iya, Mbak.” Katanya sambil menutup pintu setelah Naila pergi.
“Ayo, Ra! Sholat!” kata Putty sebelum masuk ke kamar mandi.
“Put, elu mau ke mana?” tanya Cira cemas, sambil terus melirik ke arah pohon besar. Putty geleng-geleng kepala.
“Ya Allah. Penakut amat sih lu, Ra. Ini kan masih sore. Kagak ada setan sore-sore. Gue mau wudhu. Mau sholat. Ikut nggak, lu? Ntar gue tinggal sendirian lu di kamar ini.” Katanya sambil masuk ke kamar mandi. Cira buru-buru berlari ke kamar mandi.
“Put! Bareng, dong!!!”
***
Seusai sholat Ashar berjamaah, panitia mabit memberikan waktu istirahat pada para peserta agar segala kepenatan selama perjalanan tadi siang dapat dihilangkan. Putty dan Cira tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk tidur. Pukul setengah enam mereka bangun, mandi dan sholat Maghrib berjamaah. Sehabis sholat ada tilawah bareng sampai sholat Isya. Sehabis Isya ada kajian khusus akhwat.
“Bosen gue, Ra. Masa dari tadi ketemunya sama akhwat-akhwat mulu. Sebel!” gerutu Putty. Cira geleng-geleng kepala.
“Gue juga bosen denger elu ngomongin ini mulu.”
“Sia-sia gue ngeluarin uang seratus lima puluh ribu untuk acara yang ngebosenin gini.” Putty masih bersungut-sungut.
“Ya Allah, Put. Lu ngomongnya kejam banget, sih?” Cira geleng-geleng kepala. Ia tak mau menanggapi omongan Putty yang menurutnya sudah kelewatan batas itu.
Dua sesi acara kajian telah usai tepat pukul sepuluh malam. Semua peserta kembali ke kamarnya masing-masing. Karena sangat mengantuk, pikiran Cira tak ke mana-mana lagi. Ia tak perduli ada hantu di kamar ini. Yang penting…tidur….”
***
TOK. TOK. TOK.
Cira menggeliat.
TOK. TOK. TOK.
Kedua matanya mulai terbuka sedikit.
TOK. TOK. TOK.
“Put! Put! Put! Bangun, Put!” Cira menggoyang-goyang tubuh Putty. Putty menggeliat.
“Putty!!!” jeritan Cira makin kencang.
TOK. TOK. TOK.
Cira melotot. Dipeluknya Putty, erat.
“ADUH!! Apa-apaan sih, lu?!!” teriak Putty, marah. Cira menunjuk-nunjuk ke pintu. Angin malam yang dingin membuat bulu kuduknya makin berdiri.
“Ah! Elu penakut amat!!”
TOK. TOK. TOK.
Putty dan Cira berpelukan erat.
“Ra…itu siapa?” Putty merinding.
“Nggak tau.” Cira menggeleng cepat.
“Ini jam berapa, ya?” Putty meraba-raba jam di meja. Dapat. Tapi…nggak kelihatan!
“Nyalain lampu dong, Ra.”
“Nggak mau. Gue takut.”
“Ah. Itukan di sebelah elu tombolnya.”
“Gue takut. Gue pengen meluk elu terus, Put.”
“Ah, itu sih bukan takut. Jangan-jangan elu….”
“Ye!!”
TOK. TOK. TOK.
Cira dan Putty berpelukan lagi.
“Dek…bukain dong. Kok lama banget? Ayo sholat lail bareng.” Suara Naila terdengar. Putty dan Cira menghela napas lega.
“Ternyata mbak Naila lagi.” Cira geleng-geleng kepala.
“Tuh orang hobi banget nakut-nakutin orang. Sana gantian elu yang buka pintu.” Suruh Putty. Dengan malas Cira menjalankan perintah itu. Dibukanya pintu, dan…. Cira melotot. Tak ada siapa-siapa!!
“PUTTY!!!”
“Hei! Cira! Cira! Ada-ada?” tanya Naila, tiba-tiba. Putty menyalakan lampu. Di depannya Cira berdiri ketakutan ditemani Naila yang kebingungan.
“Cira, kamu kenapa?” tanya Naila sambil mengguncang-guncangkan tubuh Cira. Cira membuka matanya.
“Mbak Naila!!!” serunya sambil memeluk Naila, kencang. Naila gagap.
“Iya, iya. Udah dong. Mbak nggak bisa napas, nih.”
“Mbak, tadi Mbak kan yang ngetok pintu?”
“Iya.”
“Kok Mbak nggak ada tadi?”
“Mbak kan ada di samping sini.” Naila tersenyum.
“Hem…dasar Cira. Penakut tuh, Mbak.” Putty mencibir. Naila tersenyum.
“Nggak ada apa-apa, kok. Sudah ya. Ditunggu di kamar sebelah. Sholat lail bareng.” Katanya sebelum meninggalkan Putty dan Cira. Putty dan Cira bertatapan.
“Sholat lail?” kening Putty berkerut.
“Udahlah. Kita ikutin aja.” Cira masuk kembali ke dalam kamar. Putty menguap.
“Padahal gue ngantuk banget, nih.”
***
Sholat lail pada jam tiga pagi berlangsung cukup khusyuk. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh sebagian besar peserta dan panitia, kecuali mungkin Putty dan Cira. Entah bagaimana, ketika yang lain bangkit dari sujud, Cira dan Putty tetap sujud bahkan sampai rakaat kedua belas selesai.
“HUAH!!!” Putty menguap. Rasa kantuk kembali menyerangnya setelah kajian Shubuh usai.
“Put! Jangan tidur lagi!” Cira menarik baju Putty yang telah bersiap-siap tidur kembali.
“Gue ngantuk banget. Mereka nggak punya perasaan.” Putty memejamkan mata.
“Perasaan apa?”
“Bayangin, sholat tahajud dua belas rakat! Abis sholat Subuh, ada kajian pula.” Kedua mata Putty benar-benar sudah melekat meski tak dilumuri lem.
“Yah, itu kan udah konsekuensi kita. Ayo, Put. Sekarang rihlah!” Cira menarik-narik baju Putty lagi. Tak ada suara. Putty benar-benar sudah tertidur. Cira geleng-geleng kepala. Terpaksa ia berangkat rihlah tanpa Putty.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....