MAK COMBLANG
Ternyata bisa juga aku menjadi Mak Comblang. Sebelum-sebelumnya, aku tak pernah berhasil menjadi mak comblang. Ada empat hal yang selalu terjadi kalau aku menjadi mak comblang. Pertama, pihak lelaki justru jatuh cinta kepadaku. Kedua, aku lah yang jatuh cinta pada pihak lelaki. Ketiga, salah satu dari dua orang yang kujodohkan itu tidak tertarik dengan calon yang kutawarkan. Keempat, dua orang yang kujodohkan itu tidak suka satu sama lain. Agaknya, kasus yang saat ini kutangani ini termasuk yang keempat. Dua orang yang kujodohkan itu tidak suka satu sama lain. Lalu, di mana berhasilnya?
Ceritanya begini, aku punya dua orang teman yang sama-sama masih lajang. Satu perempuan, satu lelaki. Yang perempuan bernama Rita dan yang lelaki bernama Dimas. Rita berusia tiga puluh tahun dan Dimas tiga puluh tiga tahun. Rita adalah temanku saat aku bekerja di Bandung dulu. Sedangkan Dimas adalah temanku saat aku bekerja di tempatku yang sekarang. Aku sangat dekat dengan mereka. Bisa dibilang, sudah tidak ada rahasia lagi antara aku dengan Rita dan aku dengan Dimas. Aku sendiri sebenarnya juga masih lajang. Nah, pada suatu hari, secara kebetulan kedua temanku itu berbarengan memintaku mencarikan jodoh untuk mereka. Rita mengatakannya lewat email dan Dimas lewat bibirnya sendiri (karena aku selalu bertemu dengannya di kantor). Rupanya mereka sudah bosan hidup melajang. Aku sendiri sebenarnya juga sudah bosan, tapi belum ada jodoh yang sesuai untukku. Lagi pula usiaku masih di bawah tiga puluh tahun. Aku memang lebih muda daripada kedua temanku itu. Karena mereka berdua mengatakannya di hari yang sama, maka aku langsung berpikiran untuk mengenalkan mereka berdua.
“Kamu serius, As? Cepat sekali kamu mencarikan jodoh untukku?” tanya Rita di telepon. Terpaksa dia interlokal karena penasaran dengan calon untuknya yang kuceritakan di email hari ini.
“Serius! Dimas juga mau diketemukan denganmu. Tapi tentu saja karena ini kencan buta, tidak berarti kalian berdua akan langsung cocok, kan?”
“Iya, iya. Aku mengerti. Terus, gimana caranya, nih, mak comblang?” tanya Rita, antusias.
“Aku sudah membicarakannya ke Dimas. Ternyata dia ingin kalian bertukaran foto dulu.”
“Tukaran foto? Kok nggak langsung ketemu dulu?”
“Yah…maklum saja, deh. Dimas itu lumayan pemalu. Dia ingin melihat fotomu dulu, baru orangnya. Kalian kan juga bisa menilai apakah akan melanjutkan proses ini atau tidak setelah melihat foto masing-masing.”
“Oh…begitu. Iya, deh. Boleh juga. Tapi sebenarnya nggak masalah, sih. Aku sudah tidak terlalu memikirkan kriteria calon suami. Terlalu memikirkan ini-itu membuatku nggak nikah-nikah sampai sekarang. Ibuku marah-marah lagi, tuh! Aku nggak boleh pulang kalau belum juga mengenalkan calon suamiku kepada mereka.” Rita terdengar pesimis.
“Omonganmu itu sama persis seperti omongan Dimas. Dia juga bilang begitu. Terlalu banyak syarat bikin dia nggak nikah-nikah. Tapi bukan berarti kalian menerima apa adanya, kan? Nanti pernikahan kalian cepat bubar lagi!”
“Iya, sih. Aku rasa idemu itu cukup bagus. Kami tukaran foto dulu, baru ketemu. Iya, kan?”
“Itu ide Dimas, Non! Kalau begitu, kapan kalian siap untuk bertukar foto masing-masing?”
“Em…mungkin besok sudah kukirim fotonya ke kamu. Tapi…apa cukup hanya dengan foto. Aku pikir perlu juga mengetahui biodata singkat masing-masing seperti tinggi/ berat badan, warna kulit dan lain-lain. Supaya aku bisa membayangkan seperti apa Dimas dan begitu juga sebaliknya.”
“Hem…boleh juga idemu. Nanti kubilang Dimas, ya. Kamu kirim saja langsung foto dan biodata kalian. Semakin cepat prosesnya, semakin cepat kalian menikah.”
“Iya, deh. Thanks, ya! Tapi…kamu yakin kan kalau Dimas itu cocok untukku? Kamu kan tahu kriteria suami yang kuinginkan seperti apa?” Suara Rita terdengar ragu.
“Yakin! Yakin! Insya Allah! Berdoa saja semoga Dimas itu memang jodohmu! Sudah dulu, ya! Aku harus menelepon Dimas untuk memberitahu rencanamu tadi.”
“Iya, iya. Sekali lagi makasih.” Rita menutup telepon. Aku yakin perasaannya sedang berbunga-bunga karena merasa hari pernikahannya sudah dekat.
Saat kuberitahu mengenai rencana Rita kepada Dimas, Dimas langsung mengangguk setuju. Dari foto dan biodata akan langsung diketahui apakah satu sama lain cocok atau tidak.
“Kamu yakin kan menjodohkan aku dengan Rita?” tanya Dimas.
“Pertanyaanmu itu hampir sama dengan Rita. Kenapa kalian jadi ragu-ragu begini, sih? Jangan-jangan kalian belum siap nikah?”
“Bukan. Bukan begitu. Aku hanya tidak mau gagal lagi. Capek! Kamu yakin kan Rita itu gadis yang cocok untukku?”
“Kalau melihat sifat kalian sih…aku rasa kalian cocok. Tapi kalau soal fisik. Itu kan selera masing-masing. Menurutku, Rita cocok untukmu. Tidak tahu menurutmu sendiri. Makanya kalian bertemu dulu. Melihat lewat foto dan biodata sebenarnya tidak cukup. Mereka kan bisa menipu.”
“Iya, sih. Tapi kan tetap membantu untuk tahu. Anyway, thanks bantuannya, ya. Nanti kalau aku dan Rita jadi menikah, aku yang gantian mencarikanmu jodoh.” Dimas berjanji. Sepertinya dia akan benar-benar menikah dengan Rita saja. Aku hanya senyum-senyum saja menanggapinya.
Empat hari kemudian, foto dan biodata Rita dan Dimas sampai di tanganku. Aku lah yang mengirimkan foto dan biodata Rita ke Dimas dan foto dan biodata Dimas ke Rita. Biar mereka sendiri yang akan menilai apakah mereka harus bertemu guna melanjutkan proses ini atau tidak. Tak lupa kukatakan agar mereka tidak menjadikan foto dan biodata itu sebagai patokan. Foto dan biodata itu hanya membantu mereka mengetahui gambaran singkat masing-masing. Penentunya adalah pertemuan mereka nanti.
Aku tak tahu apa reaksi Rita setelah melihat foto dan biodata Dimas. Tapi aku tahu reaksi Dimas saat melihat foto dan biodata Rita. Dimas terkejut! Wajahnya terlihat tak suka!
“Dia sih…jauh sekali dari yang kuharapkan…!” ujarnya, lemas.
“Apanya sih yang kurang? Menurutku Rita itu lumayan lho buatmu!” kataku sambil ikut melihat foto Rita. Rita berpose cukup manis di sana. Memang, dia tak secantik aslinya.
“Sepertinya…temanmu ini kulitnya nggak putih, ya?” tanya Dimas.
“Iya, sih. Dia kan asli orang Jawa. Tapi dia manis, lho! Kulit putih kan tidak menjamin seseorang itu cantik!” Aku berusaha membela Rita. Tapi Dimas tetap terlihat ragu.
“Tapi orang yang kulitnya putih terlihat cantik! Mungkin…aku pikir-pikir saja dulu, ya? Nanti kuberitahu apakah aku siap atau tidak bertemu dengan temanmu itu.”
“Katakan saja terus terang, kau meragukan Rita, kan? Katamu kau sudah tidak memikirkan soal kriteria itu lagi?”
“Iya, memang. Tapi ternyata aku salah. Yah, pokoknya nanti lah.”
“Barapa lama aku dan Rita harus menunggu?”
“Em…satu minggu. Ya, kurasa itu cukup.”
Aku mengangguk. Aku melihat kekecewaan di mata Dimas. Mungkin yang ada di bayangan Dimas, Rita itu seperti Tamara Blezinski. Ah, Dimas…Dimas….
Aku sendiri kecewa dengan Dimas. Menurutku, Rita cukup manis kok untuk menjadi istrinya. Sayang, Dimas sudah mengambil kesimpulan hanya dari melihat foto Rita. Kuakui, Rita memang tidak fotogenik. Lebih cantik aslinya daripada fotonya. Tapi sepertinya Dimas tak percaya. Aku harap satu minggu kemudian ia berubah pikiran.
Jawaban yang sama mengejutkannya datang dari Rita. Ia pun ragu-ragu bertemu dengan Dimas!!!
“Aduh, As! Kok kamu nggak bilang sih kalau dia itu gendut?” tanyanya, sebal. Aku mengerutkan kening. Gendut? Dimas gendut?
“Ah, masa’ sih? Menurutku…”
“Beratnya delapan puluh kilo, tahu! Kamu tahu kan aku paling alergi sama cowok gendut?!” potong Rita. Aku kembali berpikir. Yah, memang sih. Dimas memang gendut. Tapi…nggak terlalu jadi masalah, ah!
“Terus, kamu juga mau mengcut proses ini?” tanyaku, kesal. Kok jadi aku yang kesal, ya? Habis, kedua temanku itu tidak tahu berterima kasih!
“Ah, Asha…. Aku pikir kamu tahu betul bagaimana kriteriaku. Aku kan sudah sering cerita suami yang kuidamkan itu seperti apa. Eh, ternyata kamu salah juga. Seperti tidak pernah tahu apa keinginanku saja! Yah, nantilah. Kupikir-pikir dulu. Mungkin saja minggu depan aku berubah pikiran.”
“Ya sudah. Dimas bilang, dia juga ingin pikir-pikir dulu.”
“Hei, bagaimana tanggapannya tentang aku?” tanya Rita, cepat. Aku ragu-ragu menjawabnya. Bagaimana kalau Rita marah?
“Ini kamu yang nanya, lho. Dimas bilang, kamu kurang putih!”
“APA?!! Sialan banget tuh orang! Udah, deh! Aku nggak jadi berproses sama dia! Langsung saja kubatalkan!!”
“Lho, lho, lho! Apa-apaan sih kamu, Rit? Jangan pake emosi gitu, dong. Kalau Dimas dengar kamu menyebut dia gendut, pasti dia juga akan marah-marah seperti ini.”
“Ya sudah! Berarti kami memang tidak cocok! Sudahlah! Dibatalkan saja proses ini! Nanti aku juga dapat penggantinya. Aku nggak mau menikah karena terpaksa. Karena nggak ada stok lain. Makasih deh kamu sudah berusaha mencomblangkan aku dengannya!”
Rita menutup teleponnya dengan kasar. Aku bersungut-sungut dibuatnya. Aku pikir reaksi Dimas juga akan sama seperti Rita kalau kuberitahu Rita baru saja mengatakannya gendut. Tapi nanti sajalah. Kutunggu saja hari yang dijanjikan Dimas.
“Aku pikir, aku memang tidak bisa menerima Rita, As. Maaf, ya. Dia bukan kriteria idamanku,” kata Dimas, seminggu kemudian. Sudah kuduga. Mereka berdua sama.
“Agaknya kalian memang tidak mendengarkan ucapanku dulu. Aku kan sudah bilang. Jangan jadikan foto dan biodata itu sebagai kriteria. Ya sudah, deh. Rita juga nggak mau sama kamu, kok!”
“Rita nggak mau sama aku?! Kenapa, As?!”
Ups! Aku kelepasan. Ya sudah deh. Terpaksa kukatakan.
“Dia bilang kamu gendut!”
“APA?! Dia bilang aku gendut?!” Dimas langsung buru-buru masuk ke kamar mandi untuk becermin. “Asha!! Bilang ke temanmu itu, ya! Buka mata dia lebar-lebar! Beratku memang delapan puluh kilo, tapi aku nggak segendut yang ada di pikirannya, kok!!” serunya, kencang sampai kami dimarahi penghuni kantor lainnya.
“Sudahlah! Aku tidak mau tahu lagi urusan kalian!!” sahutku sambil mengerjakan pekerjaanku kembali.
Aku pusing. Kok jadi aku yang pusing, ya? Yang mau nikah juga siapa. Pokoknya, aku tidak mau jadi mak comblang lagi. Kerja susah, belum tentu dapat imbalan. Yang ada sekarang malah jadi tempat pelampiasan kemarahan. Sebal!
Hari berlalu. Tak kudengar lagi cerita-cerita mereka tentang perjodohan itu. Agaknya mereka juga mengerti perasaanku bahwa aku gagal menjodohkan mereka. Aku sudah bilang, menurutku, mereka berdua cocok. Mereka saja yang tidak bisa menerima satu sama lain. Tidak ada orang yang sempurna, kan? Mereka juga tidak sempurna. Sayang, mereka tidak bisa menerima itu. Ya sudahlah.
Sudah enam bulan sejak peristiwa itu. Aku terkejut saat menerima telepon dari Rita pagi ini.
“Aku akan menikah, As.”
“Hah?! Menikah?! Dengan siapa? Kok kamu nggak pernah cerita?”
“Sengaja. Kata orang, kalau diceritain nanti nggak jadi. Karena sekarang undangannya sudah jadi, aku baru berani cerita.”
“Terus, siapa orang itu?”
“Ada, deh. Yang pasti, ganteng! Ntar kamu juga tahu. Pokoknya aku ketemu dia di toko buku terus kami kenalan. Kamu datang kan ke pernikahanku?”
“Tapi…”
KLIK. Telepon diputus. Sialan, Rita! Dia sengaja merahasiakan sesuatu dariku.
Aku duduk di bangkuku dengan kesal. Aku memang kesal dengan Rita. Tega-teganya dia merahasiakan perihal pernikahannya itu. Padahal aku kan sahabat dekatnya. Dia juga tidak cerita kapan dan di mana dia bertemu calon suaminya itu. Dia juga tak cerita perihal suaminya itu. Lagi-lagi aku dibuat kesal oleh anak itu. Tapi aku senang. Akhirnya, jadi juga dia menikah. Meskipun bukan dengan Dimas.
“Dimas mulai ambil cuti hari ini,” jawab Nani, teman seruanganku saat kutanyakan tentang Dimas yang tak masuk hari ini.
“Cuti? Ngapain dia cuti?”
“Lho? Kamu nggak tahu, As?”
“Enggak.”
“Dimas mau nikah, As. Hari minggu besok.”
Aku melotot mendengarnya. Dimas mau nikah…? Astaga!! Lagi-lagi aku dibuat terkejut hari ini!
“Bohong kamu! Nikah sama siapa?!”
“Ah, masa’ sih kamu nggak kebagian undangannya kemarin? Oh, iya! Kamu kan nggak masuk ya kemarin. Nih, untung aku masih bawa undangannya,” Nani memberikan sepucuk surat undangan berwarna krem yang diambil dari dalam tasnya. “Dimas bilang dia ketemu gadis itu di Bandung, waktu dia lagi ke rumah kakaknya yang di Bandung itu. Mereka bertemu di toko buku. Pandangan pertama, langsung suka. Dimas mengejar gadis itu sampai ke rumahnya. Mereka kenalan dan sekarang nikah,” cerita Nani tanpa peduli ekpresiku yang melotot membaca nama yang terpampang di surat undangan itu.
Menikah
Rita Ariani
(Rita)
dengan
Dimas Prakoso
(Dimas)
***
Dimuat di antologi cerpen Perempuan Bermata Lembut (FBA, 2005)
pic'nya jadul beud yaaa, kayak cowok2 jamannya penulis Teguh, Harahap*itu tuh novel2 romans
ReplyDeleteMak Comblang adalah solusi untuk yang belum menemukan jodoh :D
ReplyDeleteTuhan yang menentukan takdirnya