DUA
Hari ini Hara datang lebih pagi ke sekolah. Tadi malam Dita mengatakan di telepon kalau hari ini ada PR Fisika. Ia tidak tahu PR-nya tentang apa, karena baru masuk kemarin. Tapi, ia tetap harus mengerjakan PR tersebut. Guru Fisika tak mau tahu alasan apa pun kalau tidak mengerjakan PR.
“Hei! Hara! Ayo, cepat! Nih, aku bawakan soalnya!” seru Dita tepat saat Hara memasuki kelas.
“Alhamdulillah…aku tinggal nyontek aja, kan, Dit?”
“Ya enggak lah, Ra. Aku kan bilang cuma bawa soalnya, tapi jawabannya enggak. Aku nggak ngerti. Nggak ngerti membuatku nggak bisa menjawabnya.”
“Gimana sih, Dit? Kalau kamu nggak ngerti, aku lebih nggak ngerti lagi. Aku kan baru masuk kemarin.”
“Kamu kan pindahan dari SMA favorit, Ra. Mestinya bisa, dong….”
“Ye...!”
“Halo, cewek-cewek!” sapa Arya yang baru datang.
Dita tersenyum melihatnya. “Arya! Aku nyontek PR-mu lagi, dong!”
Hara terkejut mendengarnya. Arya geleng-geleng kepala. “Sekali-sekali usaha sendiri dong, Dit. Kalau nyontek terus kan kamu sendiri yang rugi.”
“Please…ya? Habis, udah terdesak banget, nih!” Dita memohon.
Arya melirik Hara yang diam saja dari tadi. “Kok nggak nyontek sama Hara aja, Dit? Dia kan dari SMA favorit. Pasti pinter, dong….”
Hara cemberut.
“Yah kalau Hara udah tahu soalnya dari kemarin, pasti dia bisa ngerjainnya. Iya, kan, Ra?” Dita menyikut lengan Hara.
“Nih, aku kasih. Tapi sekali ini aja. Besok-besok, kamu harus usaha sendiri.” Arya menyerahkan buku PR-nya.
Dita tersenyum senang. “Asyik, Ra, kita selamat!”
Hara melirik sinis. “Aku nggak butuh, kok. Aku bisa ngerjain sendiri!”
Dita dan Arya terkejut mendengarnya.
“Oh…ya sudah. Ingat ya, Dit, jangan kasih buku PR-ku ke cewek ini!” Arya menatap Hara, sinis.
Dita tak menjawab. Ditatapnya Arya dan Hara bergantian. “Kalian bersaudara kok marahan terus, sih?” tanyanya membuat Arya dan Hara tak dapat berkata-kata.
Bersaudara?!
***
“Silakan buka PR kalian pekan lalu, Anak-Anak! Ibu ingin ada yang maju ke depan untuk mengerjakannya,” kata Bu Irma, wali kelas yang juga guru Fisika itu. Seisi kelas langsung ribut. Tak ada yang mau menjadi korban hari ini. Bu Irma, meskipun lembut tapi bisa galak kalau ada yang tidak mengerjakan PR.
“Nomor satu tolong dikerjakan oleh…,” Bu Irma melihat absen, “Muhammad Arya!”
Semua anak menatap Arya. Semua sudah menyangka Arya pasti bisa mengerjakan soal tersebut. Arya maju ke depan kelas dengan penuh percaya diri. Hara sebal melihat sikapnya yang angkuh.
“Ugh! Sombong sekali dia!” sungutnya.
“Arya pasti bisa, Ra. Dia kan pinter banget. Dia rangking satu di kelas,” Dita berbisik.
“Oh ya? Aku nggak nyangka.”
“Nggak nyangka? Kan udah kelihatan dari tampangnya. Eh, Arya itu banyak yang naksir, lho. Ganteng, pinter lagi!”
“Ssst...!” Hara meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
Hara terpana melihat Arya dengan mudah mengerjakan soal Fisika yang rumit itu. Seperti hanya mengerjakan soal perhitungan satu ditambah satu saja. Padahal Arya tidak membawa buku PR-nya yang masih ada di tangan Dita. Ck, ck, ck. Gawat. Saingan berat, nih!
“Terima kasih, Arya. Bagaimana, Anak-Anak? Jawabannya benar, nggak?” tanya Bu Irma saat Arya sudah kembali ke tempat duduknya.
“Benar, Bu!” jawab anak-anak serempak.
Hm... salut buat Arya. Tak disangka.
Setelah Arya, korban-korban lain berjatuhan. Tidak seperti Arya yang selamat, banyak di antara mereka yang dimarahi habis-habisan oleh Bu Irma karena tidak bisa mengerjakan soal Fisika yang memang sangat susah itu.
“Nah, sekarang tinggal soal yang terakhir, ya. Ibu mau Hara yang mengerjakannya. Ayo, Hara, maju ke depan!” Bu Irma menatap Hara. Hara terkejut. Semua mata memandangnya. “Ayo, Hara! Kamu, kan dari SMA favorit!”
Hara gugup. “Tapi, Bu, saya kan baru tahu hari ini,” katanya, beralasan.
“Saya tahu kamu bisa. Tadi saja Arya bisa tanpa melihat catatan.”
Hara mati kutu. Ia tak bisa menolak lagi. Akhirnya, dengan memberanikan diri ia maju ke depan. Dilihatnya soal Fisika yang seakan menertawainya.
Ya Allah…dari mana aku tahu jawabannya? gumamnya, dalam hati. Keringat dingin bercucuran. Ia berusaha sebisanya. Ia tahu di belakang sana ada puluhan pasang mata memandangnya. Inilah Hara, pindahan dari SMA favorit yang seharusnya bisa mengerjakan soal mudah ini. Mudah? Phiuh!
“Wah, hebat, Hara! Jawabanmu benar!” puji Bu Irma setelah Hara selesai mengerjakan soal yang sukses membuatnya mandi keringat itu.
Hara terbelalak tak percaya. Jawabannya benar? Alhamdulillah….
“Silakan duduk, Hara. Ternyata benar, ya? Siswa-siswa dari SMU 70 itu hebat-hebat. Kalian jangan mau kalah.” Bu Irma menyemangati.
“Tapi, kan Hara sekarang sudah jadi siswa SMA kita, Bu!” protes Arya.
Hara menoleh. Dasar tuh cowok! Maunya ikut ngomong melulu!
“Ya benar, Arya. Kamu jangan sampai kalah. Sepertinya Hara akan menjadi saingan berat kamu.”
Hara menatap Arya dan tersenyum mengejek. Yah, mungkin saja Arya. Aku akan jadi saingan beratmu. Arya balas menatap Hara, sinis.
***
Ariel berpikir keras, bagaimana caranya mendapatkan Dita? Ia memang sudah lama menyukai Dita. Sejak kelas satu! Ia sudah mencoba berbagai cara untuk mendapatkan gadis itu, tapi tak berhasil. Dita seakan membencinya. Ia harus cari cara agar Dita menerima cintanya. Aha! Tiba-tiba ide itu muncul. Ia harus berubah! Berubah menjadi baik. Dita pasti suka cowok baik. Selama ini ia memang kurang baik. Suka membolos, berkelahi, tidak mengerjakan PR, dan lain-lain. Ia harus berubah menjadi baik untuk mendapatkan Dita.
***
“Eh, Dit! Itu kan cowok yang gangguin kita waktu itu. Kok dia masuk ke kelas kita, sih? Jangan-jangan…,” Hara bertanya-tanya saat melihat Ariel memasuki kelas.
Wajah Dita langsung merah melihat Ariel. “Iyalah. Dia kan teman sekelas kita juga.”
Hara terkejut. “Lho? Kok nggak pernah kelihatan?”
“Karena dia itu sering bolos. Di sekolah emang ada, tapi di kelas nggak pernah ada.”
“Kayaknya kamu benci banget ya sama dia?”
“Emang. Nyebelin!”
“Hai, Dit!” sapa Ariel saat melewati Dita.
Dita memalingkan wajah. “Tumben masuk!” sindirnya.
“Terserah lu, deh. Mulai hari ini, gue mau berubah!” Ariel meninggalkan Dita dan duduk di bangkunya yang berada di urutan paling belakang.
Dita mencibir. “Berubah?”
“Hus, Dita. Hati-hati, lho. Jangan sampai kedengeran dia. Ntar dia marah,” Hara berbisik. Dita manyun.
“Orang kayak dia mana bisa berubah?”
“Jangan-jangan dia berubah demi kamu, Dit.”
“Aduh, Hara! Jangan mulai, deh!”
Hara tertawa. “Denger ya, Ra. Meskipun dia berubah jadi kyai, aku tetep nggak akan naksir karena aku udah naksir yang lain!”
“Kamu?”
“Iya. Dan aku pingin kamu bantu aku, Ra. Kamu kan dekat sama dia.”
“Maksudmu apa, sih? Aku nggak ngerti.”
“Ah…Hara…,” Dita mendekat ke telinga Hara. “Aku naksir Arya.”
Hara terbelalak. Dita naksir Arya?
“Kamu…Arya….” Ia tak bisa berkata-kata.
Dita tersenyum.“Kamu senang, kan kalau aku jadi…adik iparmu?”
Hara meringis mendengarnya. Ia benar-benar tak bisa berkata apa-apa.
“HARA!” Dita tak sabar.
“Eh, iya! Iya!”
“Iya? Jadi benar kamu mau bantuin aku, Ra?”
“Bantu?”
“Ah…Hara. Kok jadi tulalit, sih. Bantuin aku jadian sama Arya, oke?”
Hara tak tahu harus menjawab apa. Benar kata Dita, ia jadi tulalit.
***
Hara teringat kata-kata Dita tadi siang. Dita naksir Arya? Ia tak pernah menyangkanya. Arya? Sebenarnya sih wajar saja. Arya itu lumayan. Apalagi dia pintar. Tapi buat Hara, tipe cowok seperti itu banyak di SMA 70. Beneran, lho! Makanya Hara menganggap Arya biasa saja. Yang jadi masalah, bagaimana caranya membuat Arya jadian sama Dita? Ia kan tidak punya pengalaman nyomblangin orang sama sekali. Ah, Dita. Aneh-aneh aja. Coba tidak mengaku-ngaku sebagai sepupu Arya. Pasti Dita tidak akan meminta bantuannya. Apa sebaiknya ia berterus terang saja kepada Dita kalau ia tak punya hubungan saudara dengan Arya? Hara menggeleng. Tidak. Tidak bisa. Dita pasti akan lebih marah lagi karena telah dibohongi. Mungkin saja Dita akan memutuskan hubungan persahabatan yang telah mereka jalin selama ini. Itu yang tidak ia inginkan. Jadi...untuk sementara terpaksa ia berbohong. Berbohong. Ternyata benar. Sekali berbohong akan sulit melepaskan diri darinya.
KRING...! Hara terkejut. “Telepon! Telepon!” teriaknya, heboh. Ia segera beranjak ke ruang tamu untuk mengangkat telpon.
“Assalamu’alaikum!”
“Waalaikusalam. Haranya ada, Bu?” tanya si penelepon.
Hara manyun. Bu? Suara imut gini dibilang ibu. Sebel!
“Ini Hara. Siapa, nih?” tanyanya, ketus.
Eh, si penelpon malah tertawa. “Oh…ini Hara. Ini Arya.”
Hara terkejut. Arya? “Ngapain kamu nelepon aku, Ya?”
“Aku mau ngomong sama Pakde dan Bude.”
“Ngeledek, ya?”
“Enggak. Eh, udah ngerjain PR Fisika belum?”
“Enggak. Aku lagi baca Biologi, kok!”
“Wah, hebat!”
Hara tertawa. Tanpa sadar mereka telah lama berbicara.
Semalaman ini Arya terus memikirkan Hara. Sebenarnya bunga-bunga cinta itu sudah tumbuh sejak pertama kali bertemu gadis itu. Sayang, ia tak mendapat sambutan yang berarti. Hara terlalu polos untuk mengetahui cintanya yang tersembunyi. Ia perlu pendekatan yang lebih, dan mulai malam ini ia akan melakukannya. Ia akan mendapatkan cinta Hara.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....