SATU
Gerbang SMA Mandala sudah terlihat saat Hara turun dari mobil angkutan yang membawanya tadi. Debar di dadanya masih terasa sewaktu melangkahkan kaki menuju sekolah barunya itu. Semalam pun ia tak bisa tidur memikirkan sambutan yang akan diterimanya dari teman-teman barunya saat memperkenalkan diri nanti. Anak baru selalu menjadi pusat perhatian dan ia tak mau itu. Namun, hari ini tetap harus dihadapi.
“Hei! Awas!” sebuah teriakan dari belakang mengejutkan gadis bertubuh mungil itu.
Hara menoleh dan tabrakan tak bisa dihindari.
“Aduuh…!” Hara memegangi lututnya yang sakit. Cowok bersepatu roda itu sukses membuatnya jatuh tertelungkup.
“Maaf! Maaf! Saya kan tadi sudah bilang, awas!” kata Arya, cepat. Sesaat ia terkesima melihat wajah gadis di depannya. Wajah yang mungil, mata bulat yang indah dan rambut lurus sebahu. Manis juga. Ups! Dilihatnya lutut gadis itu yang berdarah.
“Duh…kamu gimana, sih?! Lihat, lututku berdarah gara-gara kamu!” Hara meringis sambil terus memegangi lututnya.
“Yah…saya kan sudah bilang maaf. Ayo, saya antar ke UKS!” Arya menawarkan diri. Sebenarnya ia juga terjatuh, tapi tidak sampai terluka karena memakai pelindung lutut.
“Nggak! Nggak usah! Aduh…lagian kamu tuh aneh. Ke sekolah pakai sepatu roda! Kalau nggak bisa, jangan pakai sepatu roda dong! Norak amat, sih?!” Hara berusaha berdiri.
Arya mengulurkan tangan berniat menolong, tapi Hara menepisnya. Arya ikut marah.
“Lho? Suka-suka saya, dong! Kok jadi sepatu roda saya yang disalahkan?”
“Ya iya! Kalau kamu nggak pakai sepatu roda, pasti nggak akan nabrak!”
“Kamunya aja yang nggak denger teriakan saya! Heh! UKS-nya di sana! Lukamu harus segera diobati, tuh!”
Hara tak memedulikannya.
“Woi! Nama kamu siapa?” seru Arya lagi.
Hara melengos. Dasar!
***
“Hara!” Dita melambaikan tangan saat gadis yang ditunggunya sejak tadi muncul. Senyum Hara mengembang. Dita berlari menghampirinya. “Selamat datang! Bingung nggak tadi waktu nyari sekolah ini?”
“Alhamdulillah, enggak. Jalan ke sininya kan nggak jauh.” Hara tersenyum melihat bekas teman SMP-nya itu. Dulu mereka sekolah di SMP yang sama, di bilangan Jakarta Barat, tidak jauh dari tempat tinggal Hara. Lulus SMP, Dita tinggal dengan neneknya di Tangerang dan bersekolah di sana. Namun, saat Hara kelas dua, bapaknya yang seorang ABRI dipindahtugaskan ke Tangerang. Otomatis Hara ikut pindah dengan keluarganya dan bersekolah di tempat yang sama dengan Dita.
“Aduh, duh, duh…!” Hara memegangi lututnya yang sakit.
“Lho, Hara! Kamu kenapa?” Dita terbelalak saat melihat lutut Hara yang berdarah. “Kamu terluka? Kok, nggak bilang dari tadi, sih? Yuk, kita ke UKS dulu!”
“Makasih ya, Dit. Orang itu tadi juga udah nyuruh aku ke UKS, tapi aku kan nggak tahu di mana UKS-nya.”
“Orang yang mana?”
“Orang yang menabrakku.”
“Ugh! Siapa sih dia?” Dita memapah Hara menuju UKS. Di perjalanan, mereka dihadang beberapa anak lelaki bertubuh tinggi besar.
“Hai, Dita! Itu ya anak barunya?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar.
Wajah Dita langsung berubah marah mendengarnya. “Diam kamu, Ariel!”
Ariel dan kawan-kawannya malah semakin usil. “Kenalin dong sama kita…!”
“Udah, Ra. Jangan didengerin. Ayo cepat kita harus ke UKS!” Dita mempercepat langkahnya.
“Iya, tapi pelan-pelan, dong. Makin sakit aja, nih…!” Hara mengeluh.
“Siapa sih orang nabrak kamu itu, Ra? Kamu apal nggak ciri-ciri fisiknya? Biar nanti aku samperin!”
Hara tertawa kecil. “Ah, segitunya…. Nggak usah lagi. Aku nggak pa-pa, kok.”
“Kok dia bisa nabrak kamu?”
“Habis, dia pakai sepatu roda, sih! Jalan ke sini kan menurun, mungkin dia tidak bisa mengendalikan sepatu rodanya. Kurang ahli!”
“Iya, sekarang tuh lagi musim sepatu roda. Banyak anak cowok yang rumahnya agak deket pakai sepatu roda ke sekolah.”
“Eh, Dit, cowok yang tadi gangguin kamu, naksir kamu, ya?”
Dita melengos. “Tau, tuh! Dia emang bandel. Malas, ah ngomongin dia. Pokoknya kamu hati-hati aja deh.”
“Lumayan juga, lho…!”
“Udah deh…jangan ngomongin dia lagi. Dia tuh cowok ternakal di sekolah ini. Guru kesayangannya, guru BP! Soalnya, hampir tiap hari dia ke ruang BP! Yuk, kita ke kelas! Kamu belum lihat kelas barumu, kan?”
Hara mengangguk. Tak lama mereka pun sampai di kelas.
“Gimana? Kerenan mana sama kelasmu yang dulu?” tanya Dita.
“Sama aja. Cuma, ya kerenan sekolahku yang dulu. Kan favorit…!”
“Hem…siapa suruh kamu pindah ke kampung?”
“Enggak lagi, nggak kampung. Buktinya banyak yang pakai sepatu roda.”
“Itu karena mereka nggak punya motor!”
Arya tertegun melihat gadis yang sedang tertawa-tawa bersama Dita. Itu, kan…. “Hai! Ternyata kamu di kelas ini juga, ya!”
Hara terkejut melihat cowok yang barusan menegurnya itu. “Kamu!”
“Kamu juga!” Arya menirukan ekspresi Hara yang lucu.
“Arya! Kamu kenal Hara juga?” tanya Dita.
Hara dan Arya bersamaan menatap Dita.
“Ya…jelas aja kenal. Arya kan sepupuku!” jawab Hara, cepat.
“Arya sepupumu?” Dita tak percaya.
“Aku sepupumu?” Arya juga tak percaya.
Hara nyengir. “Iya. Sebenarnya aku juga malu mengakuimu sebagai sepupuku. Tapi bagaimana, ya?”
Arya semakin bingung.
“Hara! Kenapa kamu nggak pernah cerita?” tanya Dita, surprised.
“Ya, tadi kan aku udah bilang. Aku malu mengakuinya sebagai sepupu. Aku juga lupa kalau dia juga sekolah di sini.” Hara grogi.
Arya marah mendengarnya. “Heh! Aku juga malu mengakui cewek kurus ini sebagai sepupuku!” tudingnya tepat di depan wajah Hara.
Arya pergi meninggalkan kedua gadis itu dengan masih bersungut-sungut. Dita menatap Hara.
“Kenapa kamu sampai malu mengakui dia sebagai sepupumu?”
“Orang tua kami lagi ada masalah.”
“Oh, nggak enak, ya sesama saudara marahan?”
Hara melirik Arya yang duduk di belakang. Saudara sepupu? Dari mana? Ia juga heran kenapa malah mengakui Arya sebagai sepupunya. Sebenarnya ia hanya tak ingin Dita marah kalau tahu Arya-lah yang telah membuatnya terjatuh tadi. Ia kenal betul siapa Dita. Kalau Dita marah, pasti sulit dimintai maaf. Dan biasanya, masalah akan terus berlanjut. Ia tidak mau Dita dan Arya bertengkar gara-gara dia. Ide mengakui Arya sebagai saudara sepupu muncul begitu saja tanpa diduga. Mudah-mudahan tidak menjadi masalah lanjutan. Ia bertekad menjelaskan hal itu kepada Arya. Nanti kalau sudah ada kesempatan.
***
“Selamat pagi, anak-anak. Pagi ini kita kedatangan teman baru. Bagaimana kalau kita suruh dia ke depan untuk memperkenalkan diri?” tanya Bu Irma, wali kelas 2.8.
“Setuju...!” seru semua siswa, kompak.
“Ayo maju, Hara!”
Hara menghela napas. Saat yang tidak diharapkannya pun tiba. Menjadi pusat perhatian meskipun hanya lima belas menit adalah siksaan baginya. Perlahan, ia maju ke depan kelas. Sementara itu, di bangku paling belakang, Arya menatap gadis di depannya. Sepupu? Ia masih tak mengerti.
“Assalamu’alaikum. Nama saya, Hana Sarah, tapi biasa dipanggil Hara. Saya pindahan dari SMA 70, Jakarta,” Hara mulai memperkenalkan diri.
“Anak-anak, ada yang mau ditanyakan sama Hara?” Bu Irma mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.
Beberapa anak mulai memberikan pertanyaan bervariasi. Hara menjawabnya dengan senang. Ternyata menjadi anak baru sangat menyenangkan. Ia jadi seperti selebriti saja. Dalam sekejap banyak yang mengenalnya.
“Ehem! Punya pacar, nggak?!” tanya seseorang yang duduk di belakang.
Semua mata menoleh kepadanya. Hara terkejut. Arya! Arya tersenyum. Hara tak mau menjawab pertanyaannya.
“Kalau diam berarti iya,” canda Arya. Semua anak tertawa mendengarnya.
Hara tertunduk. Ugh, sebal! Bikin masalah lagi dia!
“Arya! Sudah, diam!” Bu Irma mendelik.
Arya nyengir.
“Bu, Arya kan saudara sepupu Hara!” Dita membuat semua terperangah.
“Saudara…sepupu?” Bu Irma menatap Dita. Dita mengangguk. Hara dan Arya sama-sama melotot. “Wah, senang ya bisa sekelas sama saudara sedarah? Kalau sudah tak ada yang ditanyakan, silakan Hara kembali ke tempat duduknya.”
Hara kembali ke tempat duduknya. Tatapannya bersibaku dengan tatapan mata Arya. Saudara sepupu? Ia jadi malu sendiri mengingatnya. Teramat malu lagi saat harus melihat tatapan mata tak senang Arya. Arya pasti marah sekali karena ia mengaku-ngaku sebagai sepupunya. Ah, ia tak peduli!
***
“Hai!” sapa Arya, kencang.
Hara terkejut melihat Arya yang tiba-tiba saja ada di sampingnya dalam perjalanan pulang sekolah. “Ada apa?” tanyanya, gugup.
“Kamu nggak pulang sama Dita?”
“Beda arah. Eh, sepatu rodamu mana?”
“Ini sepatu rodaku,” Arya menunjukkan sepatu yang sedang dipakainya, “begini ya, Non. Sepatu ini punya dua fungsi. Pertama, sebagai sepatu biasa. Kedua, sebagai sepatu roda. Kalau aku ingin menggunakannya sebagai sepatu roda, tinggal kutekan saja tombol di samping kanannya dan keluarlah roda dari bawah sepatu ini. untuk mengembalikannya ya kutekan lagi tombol yang sama. Rodanya akan masuk lagi ke dalam. Begitu…! Aku tidak mengeluarkan rodanya sekarang karena jalannya menanjak.” Arya menjelaskan.
Hara manggut-manggut. Sekolah mereka memang berada di dataran rendah. Jadi, jalanan akan menurun kalau berjalan ke arah sekolah dan menanjak kalau berjalan meninggalkan sekolah.
“Maaf, deh. Aku kan belum pernah menggunakan sepatu roda.”
“Ternyata, orang kota seperti kamu lebih kampungan dari aku!”
Hara sebal sekali mendengarnya. “Iya, iya!” sungutnya, “lagian siapa bilang Tangerang itu kampung. Tangerang kan juga kota.”
“Iya, tapi kan masih lebih kota lagi Jakarta! Oh ya, Sepupu, kalau gitu kita bisa pulang bareng, dong? Kamu pasti tahu kan kalau rumahku juga searah denganmu?”
Hara gugup.“Oh ya?” ia balik bertanya.
Arya tertawa. “Eh, kita saudara sepupu dari ibu atau bapak, ya?”
“Sudahlah, Arya. Maaf. Aku keceplosan ngomong tadi.”
“Nggak pa-pa, kok, Ra. Aku senang jadi saudaramu, tapi ngomong-ngomong, ngapain sih kamu ngaku-ngaku sebagai sepupuku?” tanya Arya sambil menekan tombol di samping kanan sepatunya agar rodanya keluar. Rupanya ia ingin bersepatu roda lagi setelah jalan tak menanjak.
“Nggak tahu, keceplosan aja. Aku nggak ingin Dita marah-marah sama kamu kalau tahu kamulah orang yang sudah menabrakku.”
“Ha-ha. Dita memang galak.” Arya geli sendiri. “Oh ya, aku juga minta maaf dengan kejadian tadi pagi, ya? Aku nggak sengaja. Habis, jalanannya menurun, sih! Aku jadi sulit ngerem.”
“Ya, aku ngerti. Besok-besok, kalau jalanannya menurun, roda sepatunya jangan dipakai. Biar tidak ada korban baru.”
“Oke, deh. Aku duluan, ya!” Arya meluncur meninggalkan Hara yang termangu. Syukurlah. Ternyata Arya tidak marah padanya.
***
Bersambung....
klik di sini untuk baca lanjutannya ya
klik di sini untuk baca lanjutannya ya
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....