8
“CIRA!!! BURUAN!!!” teriak Rana, kencang dari dalam mobil pick-up bang Romi. Bang Romi langsung menutup telinganya.
“Nggak usah teriak-teriak gitu, Ran!” omelnya.
“Cira itu kalau nggak diteriakin nggak bakalan denger!” sahut Rana.
“Kok lama amat sih dia?” Bang Romi mulai kesal. Rana angkat bahu. Tak lama Cira datang dengan mimik wajah yang kesakitan dan sambil memegangi perutnya. Rana dan bang Romi bertatapan.
“Lu kenapa, Ra?” tanya Rana, heran.
“Gue…mencret-mencret, nih. Aduuh….” Jawab Cira, mengejutkan. Rana dan bang Romi bertatapan.
“Kok bisa? Emangnya lu semalem makan apa?” tanya Rana, heran. Cira menggeleng lemah.
“Lu makan rujak malem-malem, sih.” Cetus bang Romi. Cira merengut.
“Aduh…enggak….” Rintihnya.
“Sekarang, lu mau sekolah kagak?” tanya Rana. Cira merintih lagi.
“Maunya sih enggak, tapi gue ada ulangan hari ini….” Keluhnya. Rana dan bang Romi berpandangan.
“Udah deh, lu nggak usah sekolah aja. Ntar lu kenapa-napa lagi.” Rana menyarankan. Cira menggeleng.
“Gue harus sekolah.” Katanya, mantap. Rana dan bang Romi berpandangan lagi.
“Terserah deh.” Kata keduanya serempak. Hasil dari kenekatan Cira adalah sepanjang jalan Rana dan bang Romi harus mendengar rintihan Cira yang menyayat hati.
***
Putty menghela napas. Bu Susi, guru Geografi sudah dari tadi masuk kelas, tapi kok Cira nggak datang-datang juga. Heran. Ke kamar mandi lama amat! Tak lama, Cira yang ditunggu pun datang. Sikapnya masih sama seperti tadi pagi. Memegangi perutnya yang entah kenapa.
“Lu kenapa sih, Ra?” tanya Putty saat Cira sudah duduk di bangkunya.
“Gue…sakit perut. Aduuuuh….” Cira merintih lagi. Putty melengos.
“Gue juga tahu. Kalo orang megangin perutnya itu berarti sakit perut. Tapi kenapa? Perasaan kemaren lu nggak kenapa-napa.” Tanyanya.
“Gue…aduuuh…mulai lagi, nih. Gue ke belakang dulu ya.” Cira langsung melsat ke kamar mandi, bahkan tanpa ijin bu Susi! Jelas saja beliau dan teman-teman sekelas geleng-geleng kepala melihatnya.
***
“Aduuuh…gue nggak tahu, deh. Kenapa reaksinya sehebat ini? Aduuh….” Cira merintih lagi saat Putty menanyakan penyebab sakit perutnya pas jam istirahat.
“Iya, tapi karena apa elu jadi begini?” tanya Putty, sebal. Habis, pertanyaannya dari tadi nggak dijawab-jawab, sih!
“Gue minum…Miring!” jawab Cira sambil merintih lagi. Kening Putty berkerut.
“Miring?”
“Iya. Miring, badan jadi langsing, muka lebih cling!” jawab Cira. Putty tak dapat menahan tawanya.
“Cira…Cira…elu tuh udah KETIPU!” teriaknya, kencang. Cira melongo melihatnya.
“Ah…Putty…jangan gitu, dong. Aduuh….” Cira memegangi perutnya lagi. Putty menutup mulutnya dengan tangan.
“Cira…elu kemakan iklan banget, sih….” Gelaknya. Cira merengut. Ia merasa mulai tak beres lagi.
“Aduh, Put. Gue ke belakang lagi, ya.” Katanya sambil berlari meninggalkan Putty yang masih tertawa.
***
“Udah deh, Ra. Lu tuh nggak usah mimpi mau kurus lagi. Lu tuh udah dari sananya begitu. Ngapain sih elu cari mati? Liat tuh, muka lu pucat banget.” Nasehat Putty setelah jam istirahat usai. Cira mendengarkan nasehat itu sambil merintih.
“Lu udah kayak Farhan aja, sih….” Keluhnya. Putty tertawa.
“Heh, Cira. Lu kenapa sih? Dari tadi lu bolak-balik ke kamar mandi terus?” tanya Milly, penasaran.
“Dia tuh….” Cira segera menutup mulut Putty. Putty menepis tangannya. “Kenapa sih, Ra? Milly kan pengen tahu?” tanyanya, sebal.
“Habis, dia kan comel. Ntar dia ngomong macam-macam lagi.” Sungut Cira sambil melirik Milly, sinis. Milly melotot.
“Ih! Lu gitu amat, sih! Ya udah!” sungutnya sambil berbalik. Cira terkekeh melihatnya.
“Aduuuh….” Ia merintih lagi.
“Tuh, kan! Sukurin!” maki Milly.
“Hus! Milly!” seru Putty.
“Put…gue mau ke belakang lagi!” kata Cira sambil berlari menuju kamar mandi (lagi). Putty geleng-geleng kepala.
“Lu gue anterin pulang, ya?” kata Putty sambil memapah tubuh Cira yang sangat lemas ketika sekolah telah bubar.
“Aduh…Put. Gue jadi ngerepotin….” Rintih Cira.
“Nggak pa-pa. Gue kan dijemput sopir. Kalo lu naik angkot, ntar lu repot lagi.” Putty tersenyum.
“Tapi, Put…lu jadi bolak-balik deh.” Cira manyun. Ia menyesal telah merepotkan Putty karena memang rumah mereka beda arah.
“Nggak pa-pa. Lu kan sahabat gue.” Putty merangkul Cira. Tiba-tiba….
“Aduh, Put….” Cira langsung berlari menuju kamar mandi. Putty memukul jidat.
“Cira…Cira….”
***
Aduuuh…beneran deh. Gue kapok makan nih pil. Emang sih gue sendiri yang keterlaluan. Gue over dosis! Harusnya pil ini cuma diminum sebelum tidur, tapi tadi pagi gue juga minum. Udah gitu gue nggak sarapan lagi. Udah gitu minumnya ngelebihin dosis lagi. Harusnya kan minumnya cuma lima pil sekali minum, eh gue minum 10 pil sekali minum. Reaksinya hebat banget. Gue jadi mencret-mencret. Sebel! Menderita banget gue!
“Ra! Cira! Bangun!!!” teriak Rana, tepat di telinga Cira. Cira membalikkan tubuhnya. Rana terkejut melihat wajah kakak satu-satunya itu pucat seperti tak ada darah yang mengalir sama sekali.
“Lu kenapa, Ra? Sakit? Sekolah nggak lu?” tanyanya, beruntun. Cira menggeleng lemah.
“Badan gue lemes banget nih. Nggak tahu kenapa.” Rintihnya.
“Nggak tau? Kalo lu sakit mustinya lu tau dong apa penyebabnya.” Rana melotot.
“Tau, nggak? Tadi tuh gue udah agak baekan, tapi pas liat muka lu tuh, gue jadi sakit lagi….” Rintih Cira. Rana merengut.
“Dasar! Ya udah. Gue panggilin nyokap deh. Lu nggak usah sekolah, ya.” Katanya sambil pergi meninggalkan Cira.
“Cira! Lu kenapa?!” tanya Emaknya Cira yang datang tergesa-gesa.
“Mak…Cira nggak enak badan, nih….” Rintih Cira. Emaknya langsung meraba dahinya.
“Kagak apa-apa luh!”
“Bukan itu yang sakit…perut Cira, nih….” Cira memegangi perutnya. Emaknya latah memegangi perutnya.
“Cira mencret-mencret, Mak!” seru Cira.
“Lu makan apa, sih?” tanya Emaknya, gemas. Cira ragu-ragu menjawab. Ntar dia dimarahin lagi. Tapi akhirnya dia menunjuk pil yang tergeletak di mejanya. Emaknya langsung mengambilnya.
“Ya Allah! Pil pelangsing! Macem-macem aja sih lu, Ra?” Emak geleng-geleng kepala.
“Ya abis….”
“Heh, elu tuh udah dari sananya gendut. Kita kan emang keluarga gendut. Liat aja si Rana juga gendut, yah emang sih lebih gendutan elu. Tapi kita tuh emang udah dari sononya, Ra. Lu kagak usah macem-macem, kenapa? Kalo lu sakit, kan Emak juga yang repot.” Omel Emak. Cira merengut. Bukannya diobatin, malah diomelin. Sebel!
“Ya udah deh. Lu kagak usah sekolah. Sekarang Emak panggilin pak Haji, dah!” kata si Emak sambil ngeloyor pergi. Kening Cira berkerut. Kok pak Haji sih yang dipanggil? Harusnya kan Dokter. Emak, nih!
***
Cira membuka matanya. Matahari siang membuat matanya silau. Setengah hari terbaring di tempat tidur benar-benar membuat badannya sakit.
“Sudah bangun, Ra?” tanya seseorang , tiba-tiba. Cira kenal betul suaranya, tapi yang pasti ini bukan suara Rana atau Emak.
“Putty?!” ia terkejut. Putty mengangguk.
“Ada juga Milly, Juli, Fera, June dan…kak Naila.” Ia menambahkan. Cira terkejut. Andai ia bisa bangun, ia pasti bakalan langsung berdiri mendengar nama yang satu itu. Mbak Naila?
“Assalamu’alaikum, Cira.” Kata Naila, lembut. Cira tersipu malu. Aduh…jangan sampai deh mbak Naila tahu kalau ia sakit gara-gara minum pil pelangsing.
“Wa’alaikumsalam, Mbak.” Jawabnya, malu. Naila tersenyum. Putty mendekatinya.
“Eh, Farhan dan cowok-cowok Rohis lainnya juga dateng. Tapi di luar.” Bisiknya. Wajah Cira makin merah mendengarnya.
“Kamu sudah baikan, Ra?” tanya Naila. Cira mengangguk, pelan.
“Yah, alhamdulillah sih, Neng. Tadi udah dimantrai sama pak Haji trus dibeliin obat warung juga.” Kata Emaknya Cira. Semua yang hadir bertatapan. Dimantrai? Cira merengut. Ih, Emak! Nggak tahu banget kalau tema-teman Cira orang intelek! Masa’ dimantrai sih?!
“Iya, Neng. Dibaca-bacain doa, trus diminumin air putih deh. Pak Haji itu biasa ngobatin dengan cara begitu.” Jelas Emak. Naila tersenyum mendengarnya.
“Oh…kalau itu sih emang sering dilakukan oleh Rasulullah. Namanya Ruqyah.” Katanya. Semua manggut-manggut. Naila mendekati Cira sambil memegang tangannya.
“Cepat sembuh ya, Ra. Sebentar lagi kan ujian. Terus, sebaiknya obat pelangsing itu jangan diminum lagi. Kalau efeknya bikin mencret-mencret, akibatnya kamu jadi dehidrasi. Alhamdulillah nggak terlalu parah. Memang, kita manusia lebih suka berkorban untuk kecantikan luar, tapi jarang yang mau berkorban untuk kecantikan dalam. Padahal, kecantikan hati kita itulah yang lebih penting.” Nasehatnya. Lembut. Cira terpana mendengarnya. Ia seperti pernah mendengar kata-kata ini.
“Makasih, Mbak.” Ucapnya, lemah. Naila tersenyum.
“Sekarang kita pulang dulu, ya. Sudah sore.” Naila menyalami Cira. Yang lain bergantian menyalami.
“Farhan dan ikhwan-ikhwan lainnya di luar tuh. Mereka juga mendoakan Cira semoga cepet sembuh.” Kata Naila sebelum pergi meninggalkan Cira. Cira termangu. Farhan…aduh…dia jadi pengen nangis. Demi Farhan dia rela begini. FARHAN!!!
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....