7
Farhan menggigit bibir bawahnya. Mbak Naila benar-benar aneh. Dulu dia disuruh menjauhi Cira, eh kemarin dia disuruh mengajak Cira ikut Rohis. Bagaimana bisa? Sedangkan Cira saat ini masih marah gara-gara sikapnya yang menjauh. Farhan menghela napas. Bingung. Gimana dong caranya mengajak Cira ikut Rohis? Apakah ia harus mendekati Cira lagi, trus meminta maaf, trus mengajaknya ikut Rohis? Ya Allah…jangan-jangan yang ia dapat malah omelan seperti kemarin. Ugh! Farhan pusing!
“Farhan!” seru Putty tiba-tiba. Farhan tergagap.
“Eh, ada apa?” tanyanya, cepat.
“Gimana Rohisnya? Lu udah daftarin gue belum? Apa aja kegiatannya? Kapan kumpulnya?” tanya Putty, banyak. Farhan manggut-manggut.
“Insya Allah, sudah.”
“Kalau udah kok masih pake insya Allah? Trus, kapan pertemuannya?” tanya Putty lagi. Farhan tersenyum. Tiba-tiba saja ia dapat ide. Alhamdulillah…terima kasih ya Allah. Padahal aku belum meminta eh Kau sudah memberiku jalan keluar.
“Insya Allah hari Ahad besok.” Jawabnya. Kening Putty berkerut.
“Hari Ahad tuh hari apa sih?” tanyanya, lugu. Farhan menahan tawa.
“Iya, gue emang goblok. Wajar, kan?” Putty cemberut.
“Maaf…maaf. Em…hari Minggu.” Jawab Farhan. Putty manggut-manggut sebelum akhirnya meninggalkan Farhan.
“Eh, Put!” panggil Farhan. Putty menoleh. “Em…kalo bisa ajak Cira, ya?” pintanya. Kening Putty berkerut.
“Hah? Cira?” Farhan mengangguk. Putty tertawa. “Jangan-jangan bener lu naksir Cira.” Katanya. Farhan menepuk jidat. Kok malah jadi begini, sih?!
“Enggak. Kalian kan selalu bersama, lagipula kamu kan belum begitu kenal sama anak-anak Rohis. Kalau kamu ada temannya kan lebih enak.” Jelasnya. Putty tersenyum.
“Nggak usah lu kasih tahu gue juga pasti ngajak Cira. Gue emang butuh temen. Nggak enak lagi sendirian. Tenang aja, Han. Gue pasti bakal bawa Cira buat elu.” Katanya sebelum meninggalkan Farhan yang termangu. Lho? Kok?
***
“Apa? Ikut Rohis?” Cira melongo. Putty mengangguk.
“Iya. Entar pertemuannya hari Minggu. Lu harus ikut.”
“Emang kenapa?” Cira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Putty tersenyum.
“Soalnya…Farhan berharap banget lu ikut.” Bisiknya. Cira melotot. Wajahnya langsung merah. Perasaannya campur aduk antara senang dan marah.
“Bohong!”
“Bener. Serius, deh. Andai gue bawa kaset rekaman, lu pasti percaya. Kalo bisa ajak Cira, ya. Gitu katanya.” Putty meyakinkan. Cira tertunduk. Ia tak mau wajahnya yang malu ketahuan. Putty menyikutnya.
“Udah deh. Nggak usah malu gitu. Kan cuma gue yang tahu. Ikut, ya?” Putty tersenyum. Cira menelan ludah.
“Gue mau ke kamar mandi!” katanya sambil berlari meninggalkan Putty yang keheranan.
Benarkah? Benarkah Farhan berharap gue ikut Rohis? Ya Allah…sebenarnya Farhan itu gimana sih? Apa ini cuma akal-akalannya aja buat ngebaekan gue? Iya. Gue tau. Dia cuma nggak enak aja sama gue. Dia merasa bersalah karena gue udah maki-maki dia kemaren. Tapi dia tetep nggak punya perasaan apapun sama gue. Jangan GR, Cira. Jangan…lu bakalan nyesel nanti.
Cira menghela napas. Bermacam dugaan hinggap di kepalanya. Dinding putih kamar mandi tiba-tiba saja berubah menjadi wajah Farhan. Cira melotot. TIDAAAK!!!
***
Cira mondar-mandir di kamarnya dari sejak satu jam yang lalu. Nggak selalu mondar-mandir, sih. Kalau capek, dia duduk di ranjangnya trus ngemil kue kering yang selalu tersedia di meja belajarnya. Setelah lelahnya hilang, ya mondar-mandir lagi. Habis, dia lagi bingung banget. Putty serius nggak sih ngajak dia ikut Rohis? Apa bener Farhan yang memintanya ikut? Ya Allah…pusing deh pokoknya! Denger Farhan yang ngajak, jelas aja dia senang. Tapi…ah, kenapa selalu ada tapi, sih? Nggak tau deh. Pokonya Cira lagi bingung banget. Malam ini juga dia harus memutuskan dateng atau enggak.
“Mau ke mana, Ra?” tanya Rana saat Cira sedang bersiap-siap ke luar rumah.
“Ke wartel.”
“Kan udah malem.”
“Nggak pa-pa.”
“Ntar kenapa-napa lu.”
“Sejak kapan lu perduli ama gue?” Cira menatap adiknya yang sedang asyik memakan bakmi. Rana melengos.
“Yah, terserah elu deh. Lagian, nggak ada cowok yang mau ngapa-ngapain elu.” Katanya, sadis. Cira ganti melengos.
“Gue pergi dulu!” serunya sambil pergi setelah sebelumnya membanting pintu.
***
“Ya, elu harus ikut, Ra….” Jawab Putty saat Cira menanyakan kepastian besok di telpon.
“Tapi, Put….” Cira ragu-ragu.
“Ini kesempatan elu buat ngedeketin Farhan.” Putty tersenyum.
“Gue kan…” Cira tak jadi melanjutkan.
“Kenapa?”
“Gue lagi marahan sama dia.” Jawab Cira. Putty tertawa.
“Rugi tau nggak sih lu marahan sama Farhan. Coba, belum tentu lu dapet cowok lagi setelah Farhan. Em…gue bukannya menghina, lho.” Ujar Putty sambil memainkan anak-anak rambutnya. Cira cemberut.
“Ya udah deh. Besok gue dateng.”
“Nah. Gitu, dong, susah amat, sih?” Putty menghela napas.
Cira membanting tubuhnya di ranjang. Benarkah Tuhan memberinya lagi kesempatan untuk dicintai? Dicintai. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah didapatkannya. Benarkah Farhan…AAAH! Cira! Berpikirlah realistis! Cira bangkit dari tempat tidurnya menuju cermin. Terpantul di sana wajahnya yang gembul dipenuhi jerawat.
“Apakah ada obat jerawat yang bisa memuluskan muka gue? Apakah ada obat pelangsing yang bisa menguruskan tubuh gue?” tanyanya pada cermin. Tiba-tiba dari ruang tamu terdengar suara iklan di TV.
“Minum Miring! Badan jadi langsing, muka…lebih cling!” Cira terkesiap. Itu dia! Itu dia obat yang akan menyelamatkan hidupnya. Ia segera berlari ke ruang tamu secepat kilat.
***
Musholla Al-Ikhlash tempat pertemuan Rohis diadakan masih sepi saat Cira dan Putty datang. Mereka pikir meskipun kepagian, pasti sudah ada orang di sini. Eh, ternyata….
“Elu sih, Put. Nggak sabar banget.” Gerutu Cira sambil mengucek-ucek matanya. Maklum, sekarang jam tujuh pagi, bow!
“Yah, gue pikir meskipun kepagian, setidaknya ketua Rohisnya udah ada di sini gitu.” Jawab Putty. Kening Cira berkerut.
“Ketua Rohis? Kok nyambung-nyambungnya ke ketua Rohis?” tanyanya, bingung.
“Iya. Ketua Rohis kan mustinya datang lebih pagi.” Putty tersenyum.
“Assalamu’alaikum.” Ucap seseorang, tiba-tiba. Putty dan Cira berbarengan menatap gadis berjilbab lebar di depannya itu. Gadis itu tersenyum.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Putty dan Cira, bareng.
“Kalian juga mau ikut kajian?” tanya gadis itu. Putty dan Cira berpandangan.
“Kajian?” tanya Putty. Kening gadis itu berkerut.
“Lho? Memangnya kalian ke sini mau ngapain?” tanyanya. Cira menatap Putty, soalnya Putty yang lebih tahu urusan ini. Putty tersenyum.
“Iya. Saya baru masuk Rohis. Temen saya, Farhan, yang ngedaftarin. Katanya hari ini ada pertemuan.” Jelasnya. Gadis itu tersenyum.
“Oh…Farhan….”
“Kakak kenal?” tanya Cira. Gadis itu menatap Cira, lalu mengangguk.
“Tentu saja. Dia itu adik saya. Saya, Naila.” Katanya, memperkenalkan. Cira dan Putty bertatapan tak percaya. “Acara yang dibilang Farhan itu ya kajian ini. Kamu pasti Cira, ya?” Naila menatap Cira yang terkejut dua kali.
“Kok…kakak bisa tahu?” tanyanya, tak percaya. Naila tersenyum.
“Farhan kan suka cerita dan saya juga pernah lihat kamu sama Farhan.” Jawabnya membuat Cira dan Putty berpandangan lagi. Rasanya Cira mau amblas ke tanah. Naila menatap Putty.
“Kalau yang ini siapa?” tanyanya pada Putty.
“Saya, Putty.” Putty menyambut uluran tangan Naila. Naila manggut-manggut.
“Oh…Farhan juga bilang tentang kamu yang antusias banget pengen ikut Rohis.” Ujarnya. Putty tersenyum.
“Ah, biasa aja. Farhannya sendiri ke mana, Kak?” tanyanya.
“Farhan juga sudah datang, tapi di bagian laki-laki.” Jawab Naila sambil menunjuk bagian laki-laki yang dipisah tirai. Putty manggut-manggut.
“Nanti pas kajian, tirai itu dibuka, kan?” tanyanya. Naila tersenyum.
“Ya enggak. Eh, itu yang lain juga sudah datang.” Tunjuk Naila ke beberapa orang gadis berjilbab lebar yang tak lama memasuki musholla. Putty menyikut lengan Cira.
“Tirainya nggak dibuka?” tanyanya, bingung. Cira angkat bahu.
“Put, gue malu, nih. Soalnya kepala gue item sendiri.” Bisiknya sambil memegang rambutnya yang tergerai. Putty tersenyum.
“Enggak, kok. Tuh, ada yang pake jilbab item.” Sahutnya. Cira melengos. Dasar, Putty! Nggak ngerti amat, sih!
“Makanya, besok-besok, pake kerudung.” Putty menambahkan.
***
Putty garuk-garuk jilbab. Ugh! Panas sekali memakai jilbab di musholla yang kecil ini. Udah gitu, bete lagi! Gimana nggak bete? Masa’ tirai yang memisahkan bagian perempuan dan lelaki nggak dibuka? Masa’ dia harus mendengarkan suara ustadz tanpa melihat wajahnya? Masa’ rencananya hari ini gagal?! Rasanya Putty ingin cepat-cepat pulang saja. Sementara itu, pikiran yang berkecamuk di kepala Cira lain lagi. Dia tak percaya dengan kata-kata Naila tadi. Benarkah Farhan sering menceritakan tentang dirinya kepada Naila? Kalau benar berarti Farhan…duh! Cira jadi nggak enak. Dia nggak mau kegeeran lagi. Tapi…gimana nggak GR kalau…. Cira menatap Naila yang terlihat serius mendengarkan uraian ustadz. Dia sendiri tak tahu apa saja yang telah diuraikan ustadz. Pikirannya ke mana-mana!
“Bete! Kalo tau gini, gue nggak usah dateng tadi!” gerutu Putty setelah kajian usai. Cira tak mengerti.
“Maksud lu apa, sih, Put? Namanya juga anak Rohis, ya kerjaannya dengerin ceramah. Makanya Farhan juga hobi banget ceramah.”
“Iya. Tapi ngapain sih pake ditutup tirai segala?” Putty cemberut.
“Iya. Gue juga bingung. Kenapa elu nggak tanyain itu ke mbak Naila?”
“Iya, yah. Padahal gue kan mau….” Ucapan Naila terpotong saat dilihatnya di depan sana Farhan dan….
“Eh, itu Farhan, Ra.” Bisiknya. Wajah Cira langsung malu.
“Iya. Kita lewat belakang aja yuk. Gue malu ketemu dia nih.” Pintanya. Putty tersenyum.
“Elu aja sana. Gue malah mau ngobrol sama Farhan dan…ketua Rohis.” Katanya membuat kening Cira berkerut. Dilihatnya Ketua Rohis yang sedang berbicara dengan Farhan.
“Ngapain lu ngobrol sama kak Adrian?” tanyanya tak mengerti.
“Ya, kenalan. Kita kan baru masuk Rohis. Dia harus tahu kalau Rohis kedatangan anggota baru. Ayo!” ajak Putty. Cira menggeleng. Ia belum siap membuka percakapan dengan Farhan. Putty cemberut.
“Ya udah deh. Gue sendiri aja. Lu pulang duluan dih!” serunya sambil meninggalkan Cira yang terpaku. Akhirnya ia pulang sendirian. Sambil berjalan pulang, sesekali ia menoleh ke belakang melihat ke arah Putty yang sedang ngobrol dengan Farhan dan ketua Rohis, sampai tiba-tiba…BRUK!
“Eh, maaf, maaf!” serunya, cepat. Gara-gara tak melihat jalan ia jadi menabrak orang dan orang itu….
“Nggak pa-pa, kok, Ra. Makanya kalau jalan lihat-lihat. Lho, temen kamu yang tadi mana?” Naila tersenyum manis.
“Eh…mbak Naila. Tuh, Putty lagi memperkenalkan diri sama ketua Rohis.” Jawab Cira sambil menunjuk ke arah Putty yang sedang berbicara dengan Farhan dan Adrian. Kening Naila berkerut.
“Apa kata kamu tadi? Memperkenalkan diri?”
“Iya. Kata Putty, sebagai anggota baru kita harus memperkenalkan diri, biar ketua Rohis tahu kalau anggotanya bertambah.” Jelas Cira. Naila menahan tawa. Gantian kening Cira yang berkerut.
“Memangnya lucu ya, Mbak?”
“Yah…memang. Mbak rasa memperkenalkan dirinya cukup antara akhwat dengan akhwat dan ikhwan dengan ikhwan.” Jelas Naila. Kerut di kening Cira bertambah.
“Maaf, Mbak. Cira nggak ngerti.” Katanya sambil garuk-garuk kepala.
“Akhwat itu sebutan untuk perempuan, sedangkan ikhwan sebutan untuk laki-laki.” Jelas Naila. Cira manggut-manggut.
“Oh, gitu. Wah, asyik juga ya pake istilah rahasia. Jadi kalau lagi ngomong rahasia, nggak ketahuan.” Ucapnya. Naila melongo.
“Itu bahasa Arab, Ra.” Katanya. Bibir Cira manyun lima senti. Malu deh gue. Ketahuan begonya! Gumamnya.
“Eh, rumah kamu di mana, Ra?” tanya Naila.
“Di Serpong.” Jawab Cira. Naila tersenyum.
“Wah, kalau gitu kita bareng, nih.”
“Yah, memang. Saya sering bareng Farhan, kok.” Cira tersenyum. Naila melongo.
“Oh….” Hanya itu yang ke luar dari bibirnya. “Oh, iya. Temen kamu Putty itu subhanallah sekali, ya?”
“Kenapa, Mbak?”
“Yah, dia itu cantik. Kata Farhan juga, dia itu banyak yang naksir. Tapi dia selalu menolak cowok-cowok yang ngedeketin dia dan tahu-tahu pake jilbab. Hebatnya lagi, dia ikut Rohis.” Naila geleng-geleng kepala. Cira menghela napas. Bertambah lagi deh penggemar Putty.
“Semua orang juga bilang gitu. Eh, Farhan juga sering ngomongin dia, Mbak?” tanyanya, cepat. Naila mengangguk. Cira lemas. Farhan juga sering ngomongin Putty? Jangan-jangan….
“Nah, itu angkotnya, Ra! Ayo naik!” ajak Naila. Cira mengikutinya dari belakang. Langkahnya masih malas. Ayo, Cira. Masa’ baru segitu lu kalah. Lu masih punya banyak kesempatan ngedapetin Farhan. Sekarang aja, lu pulang bareng kakaknya. So pasti dong lu punya kesempatan pedekate sama kakaknya. Kalau lu udah ngambil hati kakaknya, bukan nggak mungkin lu ngambil hati Farhan. Cira terkejut mendengar suara yang terdengar di telinganya barusan. Suara itu khusus hanya untuk Cira. Nggak tau deh, setan atau malaikat yang membisikkan. Tapi buat Cira, bener juga, ya? Wajahnya langsung berseri-seri dan ia ngobrol dengan Naila sampai puas.
“Oh…jadi kamu sering curhat sama Farhan, toh….” Naila manggut-manggut. Cira tersenyum.
“Iya, Mbak. Soalnya solusi yang dia kasih selalu menyejukkan.” Jawabnya. Kening Naila berkerut. Menyejukkan?
“Eh, Mbak. Cira berhenti di sini, ya. Cira mau ke pasar dulu!” seru Cira, tiba-tiba saat angkot melewati pasar.
“Mau belanja?” tanya Naila.
“Enggak. Mau beli sesuatu aja.” Cira tersenyum sebelum meninggalkan Naila.
“Assalamu’alaikum….” Ucap Naila. Cira tersentak. Harusnya kan dia yang mengucapkan salam. Cira tersenyum kecut.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabnya sebelum berlari meninggalkan Naila. Mokal, bow!
***
Cira menatap bungkusan yang tadi dibelinya di pasar. Miring, badan jadi langsing, muka…lebih cling. Hem…dengan obat ini ia bisa mengalahkan Putty. Memangnya cuma Putty yang bisa cantik? Memangnya cuma Putty yang bisa menarik perhatian semua cowok? Memangnya cuma Putty yang bisa merebut hati Farhan? Cira juga bisa! BISA!!!
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaaa
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....