10
“Cira dan Putty sekarang rajin banget ya ikut Rohis?” tanya Milly saat Cira dan Putty sedang asyik-asyiknya mengerjakan tugas bahasa Inggris. Putty menatap Milly, tak senang.
“Eh, Milly. Lu tuh suka banget sih ikut campur urusan orang!” katanya, ketus. Milly tersenyum.
“Ya enggak. Gue kan cuma nanya doang. Kok kalian pada rajin gitu ikut Rohis. Emangnya apa sih enaknya ikut Rohis? Mendingan ya Put, cewek kayak lu tuh ikut cheerleader.” Katanya. Cira dan Putty bertatapan.
“Iya bener, Put. Lu pasti bakal dapetin cowok basket yang keren-keren itu.” Fera mulai ikut-ikutan. Cira dan Putty bertatapan lagi.
“Heh, kalian tuh kalau ngomong mikir dulu, dong. Kalian nggak liat jilbab gue. Masa’ cheerleader pake jilbab. Gila kali, ya?” cetus Putty. Fera dan Milly bertatapan.
“Lho, Put. Bukannya elu make jilbab cuma kalo ke sekolah doang?” tanya keduanya. Putty tersenyum.
“Iya, sih.” Jawab Putty, ringan.
“Iya, Put?” tanya Cira, tak percaya. Putty mengangguk.
“Ya iyalah. Nggak modis dong kalo gue ke mall pake jilbab.” Jawabnya. Cira melongo mendengarnya.
“Nah, berarti kan lu bisa lepas jilbab lu pas lagi ikut cheerleader.” Kata Milly. Putty tersenyum.
“Masalahnya, gue kan harus jaga image. Yang ikut cheerleader itu kan juga teman-teman kita. Mereka tahunya gue di sekolah pake jilbab. Mereka pasti bakal kaget kalo ternyata gue di luar nggak pake jilbab. Kan gue juga yang nggak enak. Kalau gue ke mall kan kemungkinan ketemu teman-teman tuh kecil.” Jelasnya. Milly dan Fera manggut-manggut. Cira bengong sendiri.
“Put, sebenarnya lu tuh niat nggak sih pake jilbab?” tanyanya, bingung. Putty menghela napas.
“Gue kan lagi belajar, Cira. Nyantai aja, lah….” Jawabnya, ringan. Milly dan Fera manggut-manggut.
“Iya tuh, Cira. Ngapain sih elu nanyain Putty tuh niat apa enggak. Elu sendiri kan belum pakai jilbab.” Cibir Milly. Cira tersentak mendengarnya. Ia jadi malu sendiri.
“Eh, eh, Put. Tuh Derry tuh sama pacarnya. Wah, pacarnya dibawa ke kelas kita. Mau pamer dia.” Kata Milly sambil menunjuk ke arah Derry yang sedang berduaan dengan pacarnya. Putty hanya tersenyum menanggapinya.
“Biarin aja. Eh, si June kok tumben nggak gabung sama kalian?” tanyanya sambil melirik June yang sedang serius mengerjakan tugasnya. June hanya menggerakkan kepalanya sedikit mendengar namanya disebut.
“June lagi mau konsentrasi belajar katanya.” Bisik Milly.
“Bagus itu. Kalian mustinya seperti June, dong. Bukan bisanya gangguin orang terus. Udah sana! Gue mau belajar, nih!” usir Putty. Milly dan Fera mendengus kesal.
***
Gue jadi nggak enak kalo inget omongan Milly tadi. Iya, yah. Ngapain gue nanyain keseriusan Putty make jilbab sedangkan gue sendiri belum pake. Tapi…apakah kita memang harus pake jilbab? Kalo iya, kenapa di keluarga gue nggak ada yang pake jilbab? Kenapa nyokap gue nggak nyuruh gue pake jilbab? Dan kenapa lebih banyak yang nggak pake jilbab daripada pake jilbab? Jadi…sebenarnya jilbab itu harus atau enggak? Duh…gue bingung, nih. Sebenarnya kalo gue pikir-pikir, mustinya kita itu emang pake jilbab. Soalnya jilbab itu kan busana muslim dan gue muslimah. Mustinya gue juga pake jilbab. Tapi…gue aja sholatnya masih bolong-bolong. Ngaji aja nggak lancar. Masa’ gue pake jilbab? Bisa diketawain nanti.
BRUK!
“Eh, Farhan….” Cira tersipu malu. Gara-gara jalan sambil bengong, ia jadi menabrak Farhan. Kebiasaan, nih.
“Eh…Cira….” Farhan tertunduk.
“Angkotnya belum dateng, ya?” tanya Cira. Farhan mengangguk. Tak lama angkot yang ditunggu pun datang. Cira melangkahkan kakinya. Ia baru sadar kalau Farhan tak bergeming.
“Farhan…lu nggak pulang? Angkot lainnya kan masih lama?” tanyanya. Farhan menggeleng.
“Enggak, saya masih menunggu teman. Cira saja duluan.” Tolaknya, halus. Cira menghela napas.
“Ya udah.” Katanya sebelum masuk ke dalam angkot. Cira masih memandangi wajah Farhan saat angkot telah berjalan. Phiuh…sebenarnya ia nggak yakin kalau Farhan menyukainya. Paling ia cuma kegeeran. Sama seperti dulu. Selalu.
“Farhan…mungkin sukanya cuma yang pake jilbab.” Gumamnya, pelan.
***
Hari terus berlalu. Tanpa terasa sudah hari Jum’at. Cira mengeluarkan kerudung dari dalam tasnya. Malu juga kalau ikut mentoring nggak pake kerudung. Habis, yang lainnya pada pake, sih!
“Lu mau ke mana, Ra?” tanya Putty heran melihat Cira mengeluarkan kerudung. Cira ikutan heran mendengarnya.
“Lu gimana sih, Put? Sekarang kan hari Jum’at. Kita mentoring!” serunya, mengingatkan. Kening Putty berkerut.
“Mentoring?”
“Iya. Masa’ lu lupa, sih?” tanya Cira. Putty garuk-garuk kepala.
“Wah! Kok nggak konfirmasi ke gue dulu, sih? Ntar sore kan gue ada les.” Katanya membuat Cira terbengong-bengong.
“Les?”
“Iya.”
“Lho? Gimana sih? Penentuan hari ini kan juga sepengetahuan elu?” Cira bingung. Putty sibuk berpikir.
“Oh, iya, ya? Kok gue lupa, ya?”
“Pikiran lu ke mana-mana, sih. Pokoknya sekarang kita mentoring. Ayo, buruan. Mbak Naila dan teman-teman yang lain udah nunggu di Musholla, tuh!” ajak Cira. Putty menggeleng.
“Nggak bisa, Ra. Ntar sore kan gue les.”
“Ya kan lesnya masih nanti sore. Paling juga kita jam satu pulang.”
“Yah…tetep aja nggak bisa. Kebiasaan gue sepulang sekolah tuh makan terus tidur. Kalau gue mentoring dulu, ntar gue nggak sempet tidur, ntar gue ngantuk di tempat les gimana? Les balet kan butuh tenaga ekstra.” Putty beralasan. Cira menghela napas.
“Ah, elu tuh emang udah males, deh.” Katanya, sebel. Putty tersenyum.
“Les itu kan bayar, mentoring enggak. Jadi lebih rugi nggak ikut les daripada nggak ikut mentoring. Ya udah. Gue duluan, ya, Put. Salam buat mbak Naila. Kalau bisa harinya diganti kalau gue mau hadir.” Kata Putty sambil menepuk-nepuk pipi cira sebelum meninggalkannya. Cira geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya yang satu itu.
“Putty emang berbakat jadi pemain sinetron. Sikapnya yang kemarin dan sekarang bisa berbeda seratus delapan puluh derajat. Sebel!” gerutunya.
***
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Naila memberi salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab adik-adik binaannya.
“Alhamdulillah, atas hidayah dari Allah hari ini kita bisa berkumpul kembali dalang lingkaran kecil ini. Jika bukan karena Allah, maka langkah kaki kita ke sini pasti akan terasa berat karena memang berbuat baik itu selalu banyak godaannya. Semoga Allah selalu menetapkan hidayah ini di dalam hati kita. Amiin….” Kata Naila, membuka pertemuan siang ini. Cira serius memperhatikan calon kakak iparnya itu. Benar juga, ya. Kalau bukan karena petunjuk dari Allah, mungkin dia bakalan seperti Putty, deh. Banyak banget alasannya biar nggak ikut mentoring.
“Selain itu, adik-adik, sebaiknya kita selalu meluruskan niat kita setiap melakukan perbuatan baik. Hendaknya niat kita hanyalah untuk Allah semata. Contohnya ketika datang ke pertemuan ini. Dari sekarang kita belajar untuk berniat datang ke pertemuan ini ikhlas karena Allah, bukan karena siapapun, misalnya ingin ketemu saya.” Naila melanjutkan. DEG! Cira merasa tertohok. Kok mbak Naila bisa tahu, ya kalau ia datang mentoring nggak murni karena Allah?
“Menuntut ilmu itu wajib hukumnya, bahkan sampai ke liang kubur. Dan ilmu yang harus diprioritaskan adalah ilmu agama karena ilmu itulah yang akan menolong kita di dunia dan akhirat.” Kata Naila lagi. Cira manggut-manggut. Hem…mustinya Putty datang nih sekarang.
“Jadi saya minta dari sekarang kalian berusaha untuk memprioritaskan mentoring karena dalam mentoring kita akan banyak belajar tentang ilmu agama.” Kata Naila. Semua adik binaannya saling bertatapan.
“Mbak, kalau suatu hari misalnya nih, di hari Jum’at ini tiba-tiba saya nggak bisa ikut mentoring karena ada acara, gimana?” tanya Farah.
“Iya, Mbak. Siapa tahu, kan ada insiden mendadak.” Kata Dira. Naila tersenyum.
“Ya dilihat dulu, acara itu penting atau tidak. Kalau memang sangat penting, kita bisa mengganti waktu mentoringnya.” Jawabnya. Semua mengangguk-angguk mengerti. Naila menatap Cira yang dari tadi menunduk.
“Cira, Putty mana?” tanyanya. Cira tersentak. Yah, tuh, kan. Gue yang kena, Put. Gerutunya dalam hati.
“Putty…ada les, Mbak.” Jawabnya. Kening Naila berkerut. Yang lain juga ikut bertanya-tanya.
“Bukannya kemarin dia juga sudah tahu kalau sekarang ada mentoring. Dan dia juga sudah setuju, kan mentoringnya diadakan hari ini?” tanya Naila. Cira menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Iya, sih. Tadi juga saya sudah bilang sama dia. Tapi dia bilang kalau mau dia ikut mentoring, kita harus mengganti hari mentoringnya.” Jawabnya. Naila melongo mendengarnya. Yang lain juga geleng-geleng kepala.
“Ah, si Putty tuh belagu banget!” gerutu Lina.
“Hus! Lina! Nggak boleh ngatain orang begitu!” seru Naila.
“Yah, tapi emang bener, Mbak. Dia tuh emang belagu. Mentang-mentang anak orang kaya, mentang-mentang cantik. Dia pikir kita membutuhkan dia, apa? Nggak ada dia kita malah untung, kok!” sungut Lina. Semua ikut-ikutan mendukungnya, kecuali Cira tentunya.
“Iya. Tapi kamu tidak boleh memakinya begitu. Baiklah kalau Putty maunya begitu. Dia maunya hari apa?” tanya Naila pada Cira. Cira hanya bisa bengong.
“Dia nggak bilang, Mbak.” Katanya, polos.
“Huuu!” seru semuanya.
“Hus! Sudah! Sudah! Kalian kok jadi pada begitu, sih? Oke, deh, kalau begitu. Nanti Kakak yang ngomong sama dia. Kamu punya nomer telponnya kan, Ra?” tanya Naila pada Cira. Cira menggangguk. “Nanti Kakak akan telpon dia. Sekarang kita teruskan mentoringnya, ya.” Kata Naila.
***
“Baiklah adik-adik. Itu tadi yang bisa Kakak sampaikan. Silahkan kalau kalian ada pertanyaan. Kalau kalian punya pertanyaan yang tidak sesuai dengan apa yang tadi kita bicarakan juga tidak apa-apa.” Kata Naila, setelah ia menjelaskan panjang lebar tentang materi mentoring hari ini. Semua bertatapan. Naila tersenyum.
“Nggak ada pertanyaan, ya? Sudah Kakak duga. Kalau kalian malu mengatakannya di sini, kalian bisa telpon Kakak.” Katanya, lembut. Cira meremas-remas jari tangannya. Sebenarnya dari tadi ia punya pertanyaan, eh, bukan dari tadi deh, dari kemarin. Tapi….
“Em…demikian pertemuan kita hari ini….” Baru saja Naila akan menutup kajiannya, Cira mengacungkan tangan.
“Ya, ada apa, Cira?” tanya Naila. Cira menatap satu-persatu teman-temannya yang semuanya memakai jilbab.
“Mbak…sebenarnya jilbab itu bagaimana, sih? Maksudnya…kenapa ada yang pakai jilbab ada yang enggak?” tanyanya setelah memilih-milih kata yang tepat. Semua teman-temannya langsung memandangnya. Naila tersenyum mendengar pertanyaan barusan.
“Alhamdulillah. Akhirnya kamu menanyakan itu juga, Cira. Mungkin maksud kamu perintah berjilbab itu hukumnya gimana, gitu?” tanyanya.
“Iya, Mbak. Gitu!” seru Cira. Naila mengangguk.
“Ada yang bawa Al-Qur’an terjemahan?” tanyanya. Semua menggeleng. Naila tersenyum lagi.
“Alhamdulillah, saya bawa. Coba dong Cira cari Al-Qur’an surat An Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59.” Pintanya. Cira menggeleng.
“Maaf, Mbak. Kalau Cira yang cari pasti lama. Habis, bingung sih sama halamannya.” Katanya, malu-malu. Sikapnya yang lucu itu membuat teman-temannya menahan tawa. Naila manggut-manggut.
“Kalau gitu, Farah deh yang cari.” Pintanya pada Farah. Farah mengangguk. Tak lama….
“Nih, Mbak!” katanya sambil menyodorkan Al-Qur’an itu kembali pada Naila.
“Tolong kasihkan ke Cira, ya. Cira, tolong dibaca artinya, dong.” Pinta Naila. Cira menerima Al-Qur’an itu dengan gugup. Ya Allah…sudah berapa lama ia tak memegang, apalagi membaca kitabMu yang suci ini. Gumamnya, dalam hati.
“Em…ini arti surat An-Nur: 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya….”
“Cukup sampai situ aja, Ra. Sekarang Al-Ahzab: 59.” Potong Naila. Cira membuka halaman yang telah ditandai oleh Farah tadi.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kata Cira dengan suara bergetar. Entah kenapa rasanya ia ingin menangis setelah membaca surat yang barusan. Naila tersenyum.
“Makasih, ya, Cira. Mbak rasa tanpa dijelasin pun Cira pasti sudah mengerti. Kedua ayat itu adalah perintah dari Allah untuk kita, para muslimah untuk memakai jilbab. Jika Allah yang memerintahkannya, berarti itu wajib. Iya, kan? Kalau Rasulullah yang memerintahkannya, baru sunah. Tapi ini Allah sendiri yang memerintahkannya. Kalau Cira tanya kenapa ada orang yang pake dan ada yang tidak. Itu karena mereka yang belum memakainya belum tahu kalau jilbab itu wajib. Seperti Cira. Bisa juga karena mereka belum siap memakainya. Ada juga orang yang sudah pake, tapi masih asal-asalan. Bisa jadi itu karena mereka memakainya tanpa landasan hukum yang kuat. Dan seorang muslim yang taat adalah apabila ia diperintah maka ia langsung menjalankannya.” Urainya. Cira tertegun mendengar kata-kata Naila barusan. Dan seorang muslim yang taat adalah apabila ia diperintah maka ia langsung menjalankannya..
***
Sekarang gue baru tahu jawaban dari semua pertanyaan gue dulu. Ternyata jilbab itu wajib. Ah, salah gue sendiri sih yang kagak pernah baca Qur’an. Baca aja sebenarnya juga nggak cukup. Al-Qur’an kan pake bahasa Arab. Mana gue ngerti?! Jadi seharusnya gue juga baca terjemahannya. Gitu! Untung…untung gue ketemu mbak Naila. Ternyata ikut mentoring itu emang nggak rugi! Putty seharusnya tahu ini. Sekarang masalahnya, kapan gue pake jilbab?!!! Apakah gue siap?
Cira menatap wajah di cermin yang sedang memakai mukena. Diremas-remas pipinya yang gembul.
“Wah…gawat. Gue bakalan makin kelihatan gendut. Bagaimana ini?” tanyanya pada diri sendiri. Selanjutnya ia kembali terngiang kata-kata Naila tadi siang, Dan seorang muslim yang taat adalah apabila ia diperintah maka ia langsung menjalankannya..
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....