Seandainya dulu sudah ada indie publishing, saya pasti sudah menerbitkan buku-buku sendiri. Sebagai seorang penulis pemula, saya juga gemas dan geregetan karena naskah ditolak terus oleh penerbit. Padahal, menulisnya butuh perjuangan. Terlebih saya belum punya komputer. Saya baru punya komputer saat sedang menyusun skripsi di tingkat akhir kuliah. Itu pun komputer bekas. Jadi, betapa antusiasnya saya mengirimkan naskah ke penerbit. Kala itu, ada empat penerbit yang saya incar: Mizan, Syaamil, Era Intermedia, dan Gema Insani Press. Semua penerbit Islam, karena memang tulisan-tulisan saya bernuansa islami. Beberapa novel, kumpulan cerpen, dan serial, telah saya selesaikan. Setelah berpengalaman menembus Majalah Annida, saya memiliki kepercayaan diri untuk menembus penerbit.
Namun, apa yang saya dapatkan? Hanya penolakan demi penolakan. Tidak tanggung-tanggung, 6 naskah saya yang kalau dijumlahkan mencapai 700-an halaman itu DITOLAK! Mizan menolak, Syamil menolak, Era menolak, GIP menolak. Subhanallah….! Jika saya hidup pada zaman sekarang di mana menerbitkan buku begitu mudahnya melalui self publishing, saya pasti sudah mengambil jalan itu. Syukurlah, zaman dulu belum ada self publishing. Saya tetap berusaha, pantang menyerah, mental baja, mengirimkan naskah-naskah ke penerbit. Saya terus menulis, mengasah tulisan saya, dan memperbaiki kualitas, hingga sebuah novel saya yang sudah ditolak oleh Era Intermedia, saya kirimkan ke lomba Sayembara Menulis Novel Islami, Gema Insani Press.
Tahukah Anda, apa hasilnya? Saya menjadi juara kedua! Tahukah Anda siapa jurinya? Setahu saya, Dian Yasmina Fajri (Pemred Annida) dan Joni Ariadinata (penulis senior). Naskah itu pun diterbitkan dengan judul, “Oke, Kita Bersaing!” yang setelah saya baca sesudah menjadi buku, tidak banyak yang diedit. Sejak itu, syukur Alhamdulillah, naskah-naskah saya begitu mulusnya menembus penerbit. Mizan yang begitu selektif, ada dua novel saya di sana. Di Syaamil pun ada dua. Penerbit-penerbit lain bahkan meminta naskah dari saya.
Eit, tunggu dulu. Sebelum saya menjuarai menulis novel itu, saking putus asanya, saya curhat di milis Forum Lingkar Pena. “Kenapa sih penulis pemula kayak saya susah banget menembus penerbit?” Kira-kira itu isinya. Lalu, Bunda Pipiet Senja yang kala itu menjadi editor di penerbit Zikrul Hakim membalas curhat saya. “Sini, Say, kirim aja ke Zikrul, yaaw…” Bunda Pipiet dengan gayanya yang ramah membuat semangat saya bangkit lagi. Saya mengirim naskah ke Zikrul, sambil tetap menulis naskah-naskah lain.
Namun, ternyata novel di Zikrul itu membutuhkan waktu dua tahun untuk terbit. Bayangkan! Dua tahun! Ketika itu, novel-novel saya di penerbit lain sudah lebih dulu terbit. Tapi, saya tidak mempermasalahkan hal itu karena menyibukkan diri dengan menulis, menulis, dan menulis. Yang penting toh naskah itu sudah mendapatkan kepastian terbit.
Lihatlah sekarang. Fenomena self publishing telah menghilangkan kemampuan penulis pemula untuk bersaing di penerbit. Heeiii… tunggu dulu. Saya bukannya ingin mengatakan bahwa self publishing itu dilarang. Saya juga akhirnya menerbitkan buku sendiri. Dulu juga banyak penulis yang sudah berpengalaman, akhirnya menerbitkan buku sendiri. Penulis FLP misalnya Izzatul Jannah. Beliau berkoalisi dengan penyandang dana, membuat sebuah usaha penerbitan dan menerbitkan novel-novelnya di sana. Juga ada Afifah Afra, yang kini memiliki usaha penerbitan, Afra Publishing. Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta, yang dipublikasikan bekerja sama dengan Republika. Dan masih banyak lagi. Tetapi, mereka semua penulis berpengalaman. Mereka sudah pernah mengalami seleksi ketat penerbit besar. Jika toh akhirnya menerbitkan indie, itu untuk mengasah kewirausahaan.
Menulis itu tidak mudah. Ya, saya tahu. Saya sudah merasakannya. Apalagi dulu fasilitas terbatas. Saya pernah merasakan menulis dengan mesin tik pinjaman teman. Saat kuliah, saya mengetik di rentalan. Pernah diintip-intip orang yang penasaran ingin membaca cerpen yang saya tulis. Setiap pulang dari kampus, tempat hang out saya adalah rental komputer. Saya baru punya komputer saat skripsi, itu pun komputer bekas dan sering rusak. Saya pernah wara-wiri naik becak membawa komputer itu untuk diperbaiki. Saya menulis novel Oke, Kita Bersaing, bersama-sama dengan menulis skripsi. Kalau bosan menulis skripsi, saya menulis novel.
Menerbitkan buku, lebih amat sangat tidak mudah. Hfff… sampai habis kata untuk menceritakannya. Sekali lagi, seandainya dulu ada self publishing, pasti saya sudah menerbitkan buku sendiri, deh. Apalagi biayanya terjangkau. Ada berkardus-kardus naskah print out yang akhirnya saya loakkan. Itu adalah naskah-naskah yang tidak lolos di penerbit. Syukurlah sekarang banyak penerbit yang menerima naskah via imel, jadi tidak boros kertas dan tinta. Alhamdulillah, baru sekarang saya bertemu self publishing, setelah mempunyai banyak pengalaman menerbitkan buku dan melewati seleksi editor. Bahkan setelah menjadi editor, mengetahui teknik Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Setiap kali menulis, meskipun kemudian ditolak, tetap memberikan kebaikan untuk saya, karena itulah sarana untuk berlatih.
Jangan kecewakan pembaca Anda dengan tulisan yang acak-acakan, karena tidak melewati seleksi editor. Ayo, berjuanglah melewati seleksi editor. Bila naskah Anda ditolak, kirim ke penerbit lain. Begitu terus. Perbaiki lagi naskah Anda, apa yang kurang sehingga selalu ditolak. Jangan tunggu naskah Anda di penerbit, tulis saja yang lain. Tidak semua penerbit menerbitkan buku dengan cepat. Naskah saya di Zikrul saja butuh waktu dua tahun. Beberapa penerbit biasanya sudah menentukan jadwal terbit naskah untuk setahun. Misalnya, tahun 2012. Sudah ada daftar naskah yang akan diterbitkan sampai akhir tahun 2012. Jika Anda memasukkan naskah di bulan Februari 2012, kemungkinan diterbitkan baru tahun 2013, kecuali naskah Anda sangat bagus dan laku di pasaran, maka akan didahulukan. Lama sekali, ya? Iya, dong. Menerbitkan buku kan butuh uang. Apalagi kalau di penerbit besar, langsung dicetak banyak. Minimal 20 juta per buku.
Lihatlah sekarang banyak penulis instan yang ingin cepat-cepat menerbitkan buku. Sebagaimana penyanyi instan yang melesat, tapi kemudian tenggelam. Penulis instan pun bisa jadi demikian, karena hasil yang diperolehnya bukan dari proses bertahun-tahun, melainkan mingguan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....