PINDAH
Leyla Imtichanah
“Bu…rencananya besok saya mau pindah,” kata Risa, dengan sopan. Ibu kos menatapnya, heran.
“Pindah? Kenapa?” tanyanya. Yah, Risa mengerti kenapa ibu kos bertanya begitu. Rumah kos ini nyaris sempurna. Lokasinya strategis, dekat dengan kampus, fasilitasnya lengkap, biayanya murah, ibu kosnya baik pula! Apa lagi ?!
“Ada teman yang ngajakin sekamar. Terus-terang, saya kesepian karena nggak ada teman yang seangkatan di sini,” jawabnya. Ibu kos mengangguk-angguk, mengerti. Memang benar, di rumah kosnya ini, hanya Risa yang mahasiswi angkatan 99. Yang lainnya angkatan tua.
“Oh… ya sudah. Ndak pa-pa. Ibu juga kasihan sama kamu karena nggak ada temannya.”
Alhamdulillah! Sorak Risa dalam hati. Akhirnya, jadi juga ia pindah.
“Boleh, Ris?” tanya Veni, teman sekamar yang akan jadi “mantan” usai Risa berbicara dengan ibu kos.
“Boleh, dong. Itu kan hak asasi kita,” jawab Risa sambil mengemasi barang-barangnya supaya besok bisa langsung pindah. Dia sudah tak tahan kos di sini.
“Di sana sama siapa?”
“Ya sama temanku.”
“Yang baik-baik ya, Ris.. Jangan pindah lagi!” sindir Veni sambil keluar. Biasa, menunggu pacarnya yang akan datang sebentar lagi. Risa manyun. Hu ! sebenarnya gara-gara Venilah ia pindah.
***
“Habis, sih. Tiap malam aku disuruh nungguin dia mulu. Biasa, pacaran baru pulang jam dua belas, kos udah tutup jam sembilan. Makanya dia titip kunci lewat aku. Bukan cuma dia aja, semuanya! Mentang-mentang cuma aku yang nggak pacaran. Payah, deh. Dakwah nggak mempan!” urai Risa, semangat sambil ngemil popcorn kesukaannya diringi suara kipas tua kepunyaan Mila yang membisingkan telinga. Malam ini ia sudah pindah ke tempat kos barunya, sekamar dengan Mila, teman sejurusan yang sama-sama aktivis Rohis. Kos barunya ini lebih “enak”, penghuninya alim-alim, meski tak berjilbab. Hanya Risa dan Mila yang jilbaban.
“Bener, Ris! Emangnya kita apaan! Mati-matian ngelarang pacaran eh malah dimanfaatkan untuk melegalkannya. Tempat kos kayak gitu nggak kondusif untuk keimanan kita. Mendingan emang ditinggalin aja!” dukung Mila sambil nyomot popcorn Risa.
“Eh, tapi bener, kan di sini enak?” tanya Risa, agak khawatir.
“Yah, selama ini sih oke-oke aja. Tenang, nyaman,” jawab Mila, enteng. Risa tersenyum senang. Ok deh kalau begitu!
***
“Farisa! Mandi jangan lama-lama! Antri ! ” Teriakan ibu kos dari luar kamar mandi mengganggu keasyikan mandi Risa pagi ini. Risa panik sampai-sampai sabunnya jatuh. Ia bergegas menyelesaikan manidnya. Di luar kamar mandi, doi dihadang wajah kecut ibu kos.
“Ngapain saja di kamar mandi?” tanya ibu kos garang. Nah lho ! Risa bengong. Di kamar mandi ya… mandi. Sabunan, sampoan, sikat gigi. Emang ngapain lagi?
“Lain kali mandinya jangan lama-lama ya. Kasihan tuh yang antri.!” kata ibu kos sambil pergi. Risa manyun. Apes banget sih pagi ini !
***
Risa jutek sendiri. Baru tiga hari dikossan ini, dia sudah kena damprat sepuluh kali. Pertama, ya soal mandinya yang lama itu. Trus, tempat tidurnya yang tak pernah dibereskan, cucian yang selalu seabrek (maklum, orang berjilbab cuciannya banyak), sampai nyetrika yang kelamaan ! Ampun, deh ! Nih kos enak sih enak, tapi ibu kosnya itu lho…..
“Ya…. Aku kan nggak pernah melakukan semua itu. Aku kalo mandi cepet. Mandi cowboy! Cucian juga biasa aja (Mila ganti baju tiga hari sekali, hiyy!), kamar juga selalu aku beresin. Emangnya kamu! Aktivis sih aktivis, sibuk boleh tapi beresin kamar tetap wajib dong!” Kata Mila menanggapi keluhan Risa. Risa mencibir. Habis, karena promosi dari Mila juga hingga ia mau kos di sini. Di tempat kos yang pertama, Risa bebas tuh! Tapi ya itu, penghuni lainnya bikin futur. Risa garuk-garuk kepala. Mau bagaimana lagi? Pikirannya dulu, ngekos itu enak. Semau gue. Tapi ternyata…. Fiuh!
“Ah, pindah lagi aja deh!” katanya, kemudian. Mila melotot.
“Pindah lagi?!”
Risa mengangguk. “Pasti ada deh kos-kossan yang enak. Masak nggak ada!” katanya sambil tidur. Capek! Habis dimarahin ibu kos gara-gara keseringan nerima telpon. Lah…namanya juga aktivis!
***
“Ngontrak aja, Sa. Jadi, kan kita bisa bebas, nggak ada ibu kos. Kita bikin wisma kayak Salsabilaa, Mafaza, Qonita, Oce?!” usul Rina yang juga mau pindah kos. Risa langsung mengangguk.
“Oke tuh!”
“Kalau begitu, yuk, cari rumah buat ngontrak!” ajak Rina. Risa menyanggupi. Akhirnya hari itu mereka berdua mulai mencari.
“Yang jauhan tiga juta setahun, kamarnya tiga, kalau diisi sembilan orang kita cuma bayar kurang lebih 300 ribu setahun. Murah, kan?” tanya Rina setelah mereka mencari-cari.
“Sembilan orang ? Berarti sekamar 3 dong ! Rame amat? ”
“Ya, iya kalo mau murah.”
Risa mikir-mikir. Sekamar 3 orang mengganggu nggak, ya? Sekamar dua orang aja pusing!
“Ya udah, deh. Oce! Tapi bilang my mom dulu ya!” katanya. Rina mengangguk.
***
“Apa?! Pindah lagi?! Pindah terus, sih? Mama tuh udah senang kamu di sana. Aman. Anak-anaknya nggak macam-macam. Nanti kalau di tempat baru gimana? Ngontrak lagi?!” tanya Mama di telpon. Risa sampai menjauhkan gagang telponnya, takut gendang telinganya pecah mendengar suara Mama yang keras.
“Tenang aja, Ma. Anak-anaknya kayak Risa semua kok, berjilbab. Aman deh, insya Allah. ”
“Ya sudah deh. Terserah kamu. Kamu kan sudah dewasa. Asal hati-hati lho. Disini kami sudah mengharap-harap kamu sukses. Jangan sampai kamu pulang berdua sama anakmu, bapaknya kabur lagi!” Mama berpesan. Risa bergidik.
“Ih ! Mama ! Naudzubillahi mindzalik, deh!” tukasnya. Dalam hati Risa ngomong, masak aktivis Rohis begitu, sih ? Hei ! Awas ! Kualat, lho !
***
“Jadi…begitu, Bu. Kegiatan saya padat, saya takut mengganggu. Padahal teman-teman pasti telepon saya terus. Makanya, saya mau pindah saja,” kata Risa, sopan. Sebanrnya ia agak takut juga berhadapan dengan ibu kos. Ibu kos tersenyum.
“Oh, ya sudah. Kapan pindah?” tanyanya. Risa tersenyum. Sepertinya ibu kos juga berharap dia pindah. Habis, dia memang yang paling menyusahkan sih di sini. Syukur, deh!
“Insya Allah besok, Bu!” jawabnya, mantap. Sebenarnya hari ini juga dia mau pindah, tapi nggak enaklah. Kesannya nggak betah banget, begitu!
“Ya sudah.” Ibu kos mengangguk. Risa menghela napas. Alhamdulillah…. Akhirnya bebas juga.
***
Sekarang Risa sudah berada di wismanya yang diberi nama Wisma Hafiza. Keren, kan? Orang-orangnya tentu ia kenal semua. Ya, teman-temannya di Rohis. Semuanya berjilbab. Iya, lah, wisma akhwat….
Hari pertama di wisma, okelah. Namanya juga penghuninya aktivis semua, telepon berdering tiap waktu, wisma ramai oleh suara pengajian atau rapat organisasi. Wisma juga berantakan meski sudah dijadwal piket. Kadang-kadang Risa pusing, habis dia sudah biasa dengan kondisi kos yang tenang, tapi lama-lama bisa juga adaptasi. Minggu pertama telah lewat dengan selamat tanpa keinginan lagi untuk pindah!
“Dek, tolong ini ditampung dulu, ya. Ada masalah di kosnya,” kata Mbak Mia dari wisma Mafaaza. Katanya wisma itu sudah penuh. Sudah tak bisa dipaksakan lagi. Risa menatap Rina. Penghuni baru lagi? Penghuni tidak diharapkan. Tapi tak apalah. Sekarang isi wisma sudah 12 orang. Sekamar berempat. Katanya….
“Di wisma itu yang ada ladang dakwah. Persaudaraan. Saling beriring bersama. Anggap semua saudara. Jadi tak apa-apa dipenuh-penuhkan.” Gitu, lho ! Tapi… Risa pusing!
***
“Apa-apaan ini, Ris?! IP Kamu cuma 2,5 ? Padahal dulu kan 3,5 ?!” tanya Mama ganas, di telpon. Risa lemas. Dia juga stress. Nilainya jatuh banget. Dan itu terjadi setelah ia pindah di wisma.
“Mama tak pernah melarang kamu aktif di mana pun asal IP kamu bagus. Kalau begini? Mama nggak bisa deh untuk tidak melarang.” Mama melanjutkan. Risa terisak. Bukan. Bukan kegiatannya yang membuat nilainya anjlok, tapi suasana di wisma. Rapat setiap hari, suara penghuni yang kini sudah menjadi 15 orang dan telpon-telpon yang berdering setiap saat. Padahal Risa butuh suasana tenang untuk belajar. Memang sih, wisma kondusif sekali untuk meningkatkan keimanan biar nggak futur. Penghuninya saling mengingatkan dalam kebaikan, setiap hari ada pengajian dan kultum, tak ada yang pacaran, tak ada gosip, tapi….
***
“Pindah? Pindah lagi, Ris?” tanya Rina. Risa mengangguk lemah.
“Terpaksa. Kalau enggak ntar Mami marah lagi. ”
“Terus mau pindah ke mana?”
“Udah dapet, kok. Tempatnya bagus, ibu kosnya tinggal terpisah sama kita, orangnya juga cuma tiga.”
“Ya sudah. Afwan ya, Ris. Seharusnya memang penghuni dibatasi. ”
“Nggak pa-pa, kok.” Risa tersenyum.
Akhirnya, pindah juga. Risa sekamar sendiri. Asyik! Bisa konsentrasi belajar. Udah enak, murah lagi! Jarang-jarang deh dapat yang begini. Risa bersyukur banget. Sekarang ia sedang mengatur barang-barangnya di kamarnya yang baru. Sementara itu di luar rumah, ibu-ibu rumah tangga sedang bergerombol membicarakan Risa.
“Anak itu berani banget, ya? Padahal di kamar itu kan pernah ada anak yang gantung diri….”
***
cerpen ini selalu membuatku ingat nama Mbak Leyla ^_^
ReplyDelete