Mother, How Are U Today?
Leyla Imtichanah
Sebenarnya saya tidak ingin menulis jurnal ini, karena cuma akan membangkitkan kenangan akan Mama. Jika ditanya siapa yang ingin saya bahagiakan di muka bumi ini, maka jawabnya adalah Mama. Nyaris semua yang saya lakukan adalah untuk Mama. Prestasi yang saya raih, apa-apa yang ingin saya capai, dan sebagainya, dan sebagainya. Saya cuma ingin melihat Mama bahagia.
Sayangnya, ternyata sering kali saya masih mengabaikan Mama, yakni dengan tidak melakukan apa-apa yang beliau inginkan. Sebenarnya di balik penolakan itu saya ingin bilang, “Mama, Ela bisa memberikan yang lebih dari itu, cuma bukan sekarang.”
Mama tidak seperti ibu-ibu lain yang cerewet dan suka mengatur. Mama adalah sebenar-benarnya wanita Jawa. Halus, lembut, nrimo, patuh, dan tidak banyak bicara. Sementara kami—anak-anaknya—lebih banyak mewarisi sifat Ayah, terutama saya. Saya tahu betapa pusingnya Mama kalau ketiga anaknya plus suaminya, yaitu Ayah, sudah bertengkar. Cuma suara Mama yang tidak terdengar. Paling-paling Mama cuma bilang, “nggak malu ya kedengeran tetangga? Anak perempuan semua kok rame?”
Mama juga pekerja keras. Waktunya tak pernah terbuang percuma seperti ibu-ibu lain yang suka menonton infotainmen atau sinetron. Mama bahkan nyaris tak pernah menonton teve. Kalau menonton, acara favoritnya adalah film-film laga yang khas Jawa, mengingatkannya pada tanah kelahiran, katanya. Waktu Mama habis untuk bekerja di kantor, memasak, dan menjahit. Sering kali beliau baru tidur jam satu malam. Mama bilang, beliau bekerja untuk kami, anak-anaknya. Mama ingin kami semua sekolah yang tinggi. Kalau cuma mengandalkan gaji pegawai negeri, mana bisa?
Di antara semua anaknya, adik-adik saya mengatakan bahwa SAYA-lah anak yang paling disayangi Mama. “Kalau Mbak Ela minta sesuatu, pasti langsung dikasih,” kata Irma. Semula saya tak percaya sampai adik-adik saya membeberkan apa-apa saja yang telah diusahakan Mama untuk saya. Komputer, Hp, dll. Ketika kuliah di Semarang , sering kali Mama tak bisa tidur karena selalu bermimpi buruk tentang saya. Mama tahu saya belum pernah tinggal jauh dengan orang tua, selalu nyasar kalau bepergian, tidak bisa sendiri, yah… pokoknya selalu bergantung kepada orang lain lah. Di Semarang sendirian, sudah tentu Mama tak tenang.
“Mama ngimpi Ela nyasar di stasiun, nggak bisa pulang. Kalau pulang ajak teman ya, jangan sendirian,” pesan Mama, di telepon, setelah malamnya memimpikan saya nyasar di stasiun Tawang, Semarang . Itulah kenapa saya tidak pernah pulang ke Jakarta atau pergi ke Semarang sendirian, kecuali terpaksa. Misal, ketinggalan kereta (saya pernah ketinggalan kereta sehingga tidak bisa balik ke Semarang bareng teman). Mama langsung membelikan tiket Kamandanu, eksekutif. Lebih aman (dan mahal….). Mungkin, proteksi Mama yang berlebihan juga yang membuat saya jadi “tidak tahu jalan” dan sampai sekarang tidak berani jalan jauh-jauh sendirian.
Keinginan Mama melihat saya menjadi sarjana dengan IPK Cumlaude juga yang membuat saya belajar keras dan berusaha menelan semua mata kuliah Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang tidak saya senangi. Alhamdulillah, saya bisa mencapainya. Lulus tepat waktu dengan IPK Cumlaude. Tujuan saya cuma satu, senyum Mama. Sayangnya, saya tidak bisa mewujudkan keinginan Mama menjadi PNS atau bankir. Saya benar-benar tidak suka, tapi saya coba jalani tes-tesnya. Toh, akhirnya, saya bekerja di dunia yang memang menjadi kesenangan saya; dunia penerbitan. Saya tahu telah mengecewakan Mama, tapi setelah buku-buku saya keluar, Mama dengan bangga menceritakannya ke ibu-ibu tetangga. Saat itulah saya lega, bahwa Mama sudah bisa menerima pilihan saya.
Termasuk jodoh. Sebelum lulus kuliah pun, Mama sudah berusaha mencarikan jodoh untuk saya. Pilihan Mama sudah tentu seperti pilihan ibu-ibu lainnya; soleh, baik, dari keluarga baik-baik, berpendidikan, punya pekerjaan, dsb. Tapi ada satu yang sering membuat saya tertawa. Ketika Mama memperkenalkan laki-laki yang ingin dijodohkan dengan saya, Mama bilang, “namanya bagus, La. Ada Islam-Islamnya.”
Ya, Mama berasal dari keturunan Jawa Santri. Untuk membedakan orang Jawa Santri dengan Kejawen, salah satunya adalah dari nama. Kalau orang Jawa namanya—misal—masih menggunakan “To” berarti Jawa Kejawen. Sedangkan kalau namanya sudah menggunakan nama-nama Islam, seperti nama Nabi atau sahabat Nabi, berarti Jawa Santri.
“Kalau namanya islami, berarti orang tuanya bagus, karena ngasih nama anaknya bagus,” kata Mama lagi. Tentu saja buat saya itu tidak berpengaruh, karena teman-teman rohis justru banyak yang bernama “tidak islami.” Tapi, sepertinya teori Mama ada benarnya.
Sayang, saya tidak bisa menerima pilihan Mama. Untuk itu, saya meminta maaf berkali-kali kepada Mama. Mama memang kecewa, tapi saya menjanjikan bahwa insya Allah saya bisa mendapatkan yang lebih baik.
Ketika akhirnya datang yang lain, seorang ikhwan yang baru melihat biodata saya sudah langsung datang melamar ke rumah, Mama tidak langsung mengiyakan.
“Kalau saya sebagai orang tua senang-senang saja Adik mau melamar anak saya, tapi Ela anaknya nggak bisa dipaksa. Saya saja nggak bisa memaksanya, soalnya dulu juga sudah pernah hampir jadi, Ela-nya nggak mau. Jadi, saya harus tanya dulu ke Ela. Ela juga harus ketemu sama Adik dulu. Tapi ingat sekali lagi, ya, Ela nggak suka dipaksa,” kata Mama, yang diceritakannya kepada saya di telepon (ketika ikhwan itu datang melamar, saya memang sedang tidak di rumah. Lagian, ngelamar nggak bilang-bilang).
Saya cuma garuk-garuk kepala ketika Mama menceritakan kejadian itu. Menurut saya, kejadian itu cukup aneh. Soalnya, saya memang belum melihat ikhwan itu. Jangankan melihat, membaca biodatanya saja belum, bagaimana bisa menerima? Ikhwan itu juga kayaknya terlalu pasrah. Siapa tahu saya tidak secantik di foto, ya kan …? J
Ketika ikhwan itu sms, kata-katanya sudah seperti kata-kata Mama.
Saya tahu Ela tidak bisa dipaksa. Saya akan menerima apa pun jawaban Ela.
Yah… akhirnya memang tidak jodoh. Mau bagaimana lagi? Dan ketika hari itu saya menyodorkan biodata ikhwan yang sudah diiyakan oleh hati saya (dan istikharah), Mama langsung nangis. Dengan terpatah-patah karena kesulitan bicara akibat kanker lidah, Mama bilang, “alhamdulillah… akhirnya mau Ela nikah juga….” Saya dan Mama berpelukan. Mama bilang ia sangat bahagia. Akhirnya saya mau menikah…?
“Mama tuh khawatir kamu nggak mau nikah. Anak perawan kalau udah keasyikan kerja kan bisa nggak mau nikah,” kata Lek Mun, adik Mama, alias tante saya.
“Ya… kan nunggu yang pas di hati,” kata saya.
“Makanya sekarang Mama seneng banget kamu akhirnya mau nikah. Eh, Mama malah sakit. Coba kalau dari dulu nikahnya, kan Mama bisa dampingin kamu.”
“Ya, tanyain aja sama dia tuh, kenapa datengnya sekarang? Kenapa nggak dari dulu?”
“Lah, dulu kan juga udah dilamar, kenapa nggak diterima?”
“Ya, baru sekarang dapet yang pas.”
Bla, bla, bla.
Betapa saya tahu keinginan terbesar Mama; melihat saya menikah. Sehingga ketika Ayah agak tidak setuju setelah tahu saya menemukan jodoh melalui perantara Ustaz, Mama bilang, “sudah, jangan dihalang-halangin. Ela itu kan susah, nanti malah nggak mau nikah.” Saya pun berharap Mama bisa menyaksikan pernikahan saya, sehingga setiap malam berdoa agar Mama sembuh. SEMBUH! Penyakit kanker lidah itu benar-benar telah merenggut Mama dari saya. Saya tahu hikmahnya, tapi sering kali hati berkata; seharusnya Mama tidak sakit.
Ya, Mama mengidap kanker lidah selama dua tahun. Awalnya hanya sariawan biasa yang tidak sembuh-sembuh. Mama sendiri mengeluhkan penyakit sariawannya itu, kenapa tidak bisa sembuh meskipun sudah minum obat dari dokter. Selama setahun, sariawan itu mengganggu aktivitas sehari-hari Mama. Mama yang jarang makan, semakin jarang lagi karena gangguan sariawan tersebut. Makan memang jadi tak enak. Ketika Mama mulai mengeluhkan penyakit sariawannya yang tak wajar, saya memaksanya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit Fatmawati. Sebelumnya, Mama memang hanya periksa ke klinik-klinik.
Di rumah sakit Fatmawati, dokter spesialis gigi dan mulut mengatakan bahwa penyakit yang diidap Mama adalah tumor jinak. Beberapa gigi Mama yang busuk harus dicabut, dan lidahnya harus dirongent. Di lidah Mama memang tumbuh semacam benjolan yang dulu dikira sariawan. Sayangnya, Mama tidak mau kembali lagi ke rumah sakit Fatmawati dan membiarkan penyakit itu semakin ganas. Saya sudah letih memperingatkan Mama. Mama malah mengeluhkan sikap saya yang tak sabar ketika harus menunggunya di rumah sakit, sehingga Mama jadi malas lagi ke sana . Kalau ingat itu, saya menyesal kenapa tak sabar menunggu Mama berjam-jam di rumah sakit.
Penyakit Mama semakin parah sehingga semakin sulit makan. Saya kembali memaksa Mama untuk ke rumah sakit. Akhirnya, Mama mau ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Apa yang kami lakukan hanya ikhtiar. Kami hanya ingin Mama terlepas dari penyakitnya dan pasrah terhadap apa pun yang dilakukan dokter. Jadi, ketika dokter meminta Mama untuk dibiopsi, kami ikut saja. Bukankah dokter lebih tahu? Ternyata setelah dibiopsi, tumor di lidah Mama semakin banyak. Kami terkejut ketika dokter menyarankan agar lidah Mama dipotong!
Tidak ada satu pun anggota keluarga yang setuju. Apa jadinya hidup tanpa lidah? Apa gunanya? Bukankah lidah untuk makan dan bicara? Kalau tidak ada lidah? Kami pun mulai melepaskan diri dari dokter dan mencari pengobatan alternatif. Semua jalan untuk sembuh telah ditempuh. Saya tak tahan melihat penderitaan Mama. Dengan tubuh kurus kering dan air liur yang terus menetes, Mama mau jauh-jauh datang ke tempat pengobatan alternatif berada. Saya ingin selalu berada di sisi Mama, tapi pekerjaan membuat saya teramat sibuk. Saya justru harus terus bekerja mengumpulkan uang agar bisa membiayai pengobatan Mama. Bayangkan, sekali berobat satu juta setiap minggu, sementara gaji Mama dan Ayah kalau digabungkan paling-paling hanya sekitar tiga juta. Untuk itu, saya berterima kasih kepada teman-teman di Forum Lingkar Pena. Melalui Mbak Asma Nadia, terkumpul sekitar delapan juta, dan melalui Teh Pipiet Senja, terkumpul sekitar lima juta. Mama dan Ayah sangat terharu dengan organisasi penulis itu. Para penulis itu sangat sedikit yang mengenal Mama, tapi bantuan mereka begitu banyak. Subhanallah!
Sayangnya, semua jalan pengobatan yang kami tempuh itu tak ada hasilnya. Mungkin ada, tapi sedikit. Tumor-tumor Mama memang ada yang pecah, tapi tumbuh lagi. Lalu, sekitar bulan Februari, kami menemukan tempat pengobatan alternatif lain. Biayanya dua puluh juta, untuk sepuluh hari, dan masih akan berlanjut kalau pasien belum sembuh. Total biaya, enam puluh juta. Satu-satunya yang ada di pikiran saya adalah kesembuhan Mama. Sehingga, dengan meminjam uang kepada seorang karabat, saya membawa Mama ke klinik tersebut. Hutangnya masih saya tanggung sampai sekarang.
Alhamdulillah, perubahannya memang terasa. Tumor-tumornya mengempis dan kondisi fisik Mama membaik. Sayang, sepuluh hari tidaklah cukup. Kami harus meneruskan paket perawatan itu, dan uang empat puluh juta teramat besar buat saya. Lagi-lagi melalui Forum Lingkar Pena, Mbak Nanik Susanti dan Mbak Rahmadiyanti berusaha memobilisasi dana. Alhamdulillah, saya merasa bersyukur telah dipertemukan dengan teman-teman yang begitu peduli. Teman-teman di Forum Lingkar Pena.
Saya benar-benar memaksakan bahwa Mama HARUS SEMBUH. Saya berusaha semaksimal mungkin dengan usaha dan doa. Sampai hari itu tiba…..
Saya melihat Mama begitu kepayahan. Seminggu itu, kondisinya drop. Benar-benar drop. Dan hari itu, Mama sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur. Tubuhnya panas dan terlihat kepayahan menahan sakit. Ya Allah…. Saat itu tebersit di hati saya, daripada Mama menderita seperti itu, lebih baik “pulang.” Entahlah. Saya benar-benar tidak tega melihatnya. Malam itu, malam Senin, di samping tempat tidur Mama, saya salat Hajat. Dengan keikhlasan yang akhirnya ada, saya berkata; “Ya Allah… apa sebenarnya mau-Mu? Jika Kau memang ingin mengambil Mama, ambillah. Sekarang aku ikhlas, daripada melihat Mama seperti itu….”
Saya tidak tahu doa saya benar atau tidak, tapi saya benar-benar sudah putus asa. Antara ingin Mama sembuh agar bisa melihat pernikahan saya dan tidak tega melihat Mama menderita kesakitan. Entahlah, saya seperti yakin bahwa Mama akan “pulang.” Sebelumnya, saya memang bilang ke adik-adik agar bersiap-siap kalau Mama “pulang.”
Paginya, saya merasa ragu untuk berangkat ke kantor. Adik saya, Irma, bilang, “Mbak Ela, kalau Mama diambil hari ini gimana? Mbak Ela jangan ke kantor….” Kata saya, “nanti sore Mbak Ela pulang.” Biasanya saya memang tidak pulang. Seminggu sekali baru pulang.
Saya tanya Mama, “Mama masih kuat kan ?” Saya memang ikhlas jika Mama pergi, tapi masih ada keinginan Mama bisa melihat pernikahan saya. Mama mengangguk. Katanya dengan susah-payah, “Insya Allah.” Setelah itu saya cium Mama lama sekali. Saya benar-benar yakin, ya Allah, sepertinya waktunya memang sebentar lagi. Jika waktu bisa diputar balik, saya pasti tidak akan pergi ke kantor hari itu.
Ketika baru saja tiba di kantor, Ayah menelepon. Mama sudah tidak ada. Rasanya kaki saya seperti mengawang di udara. Berkali-kali saya bilang, jangan pingsan-jangan pingsan. Untunglah teman kantor mengantarkan pulang, kalau tidak, entahlah. Ya Allah….
Jika mengingat penderitaan Mama, saya ikhlas Mama pergi. Bahkan sebelumnya saya ingin bilang ke Mama bahwa saya ikhlas. Berkali-kali Mama memang bilang bahwa Mama akan mencoba bertahan dan sepertinya Mama yakin bisa menemani saya di pelaminan. Mama sudah menyiapkan baju, perhiasan, dan semuanya. Juga konsep pernikahan saya nantinya. Semua sudah ditulis di dua buku tulis. Nama-nama panitia, kebutuhan-kebutuhan yang harus dibeli, dan sebagainya, dan sebagainya….. Mama begitu ingin menyaksikan pernikahan saya. Mama ingin menemani saya bersanding di pelaminan. Ketika calon suami saya datang ke rumah untuk melamar, dengan terpatah-patah Mama bilang “terima kasih” kepadanya. Seorang ibu tetangga sebelah rumah terkejut mendengar bahwa semua tetek bengek pernikahan saya diurus oleh Mama. Mungkin akan lebih terkejut lagi kalau tahu bahwa baju akad saya juga dibuatkan oleh Mama dengan tangan kanan masih memegang kain untuk menadahi air liurnya yang terus menetes.
Tetapi memang, di hari terakhir Mama bilang ke Irma, “itu bajunya kasih Mbak Mun kalau nanti Mama nggak kuat. Trus, antingnya buat kamu, liontion buat Tria, cincin buat Mbak Ela….”
Ya Allah… sampai hari ini saya masih tak percaya. Setahun lalu Mama masih menjahitkan baju saya, tahun ini sudah tidak ada. Saya masih merasa bahwa Mama masih ada. Masih di tempat tidur, terbaring sakit seperti biasa. Dulu saya berkhayal, baju pernikahan saya, Mama-lah yang membuatkan. Alhamdulillah, dengan memaksakan diri, Mama sempat memotongkan baju untuk akad nikah. Kalau ingat itu, saya memang jadi menyesal, “coba dari dulu….” Tapi, sudahlah. Inilah takdir. Cuma Allah yang tahu.
Mama, how r u today? Ela nggak tahu nanti gimana….
********
15 Agustus 2005, 9 hari setelah meninggalnya Mama
Saya menangis lagi….
Revisi, 4 Desember 2006. Dua minggu setelah menikah. Mama, now u can smile….
Dimuat dalam buku antologi Tribute to Mom, Syaamil 2006, bersama Shahnaz Haque, Dkk
duh... gerimis saya mbak membacanya
ReplyDeleteSubhanallah, aku juga baru tahu dari catatan Teh Pipiet di Kompasiana soal Mama Mbak Ela. Semoga beliau mendapatkan yang terbaik di sisi Allah SWT. Amin3x.
ReplyDeleteTulisan bagus, kalimatnya mengalir indah..saya sebagai pembaca terbawa haru..ingin sekali lancar menulis seperti Mba Ela..
ReplyDelete