Cinta-Cinta Saya
(Leyla Imtichanah)
Sampai saya menulis kisah ini, saya masih ragu. Benarkah saya akan menulis kisah cinta saya yang sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, dan kemudian dibaca banyak orang? Bukan kisah cinta fiktif yang tentu banyak bumbunya, seperti nasi Padang, gitu. Terus-terang, saya malu kisah cinta saya diketahui banyak orang. Malu-maluin banget. Sempet mikir lama…banget, sampai akhirnya saya serahkan juga naskah ini ke Mbak Nanik, yang duduk di depan meja saya di kantor Lingkar Pena Publishing.
Entah kenapa akhirnya saya menyerahkan naskah ini. Pada dasarnya, saya memang suka curhat, dan ini termasuk salah satu curhat saya. Dan sebenarnya curhatan saya ini wajar saja. Ini cuma tentang cinta. Siapa sih orang di dunia ini yang tidak pernah jatuh cinta? Saya yakin, tidak ada. Jadi, untuk apa malu menuliskannya? Oke, saya mulai saja menuliskan perjalanan cinta saya dari masih SD sampai sekarang.
Saya jatuh cinta pertama kali waktu kelas tiga SD. Masih kecil banget, ya. Tapi, saya pikir itu bukan cinta pertama. Mungkin lebih cocok kalau disebut, saya menyukai cowok itu. Saya juga nggak tahu kenapa saya menyukai dia. Mungkin karena saya sering bersama dia. Saya sering main sama dia. Main rumah-rumahan, masak-masakan, kelereng, dll. Namanya juga anak kecil. Saya senang bersama dia, apalagi teman saya sedikit. Bisa banget dihitung dengan jari. Cuma dua orang! Dia salah satunya. Yang satu lagi perempuan. Kami berteman nggak lama. Cuma sampai kelas enam SD. SMP-SMA, saya nggak berteman dengan dia lagi meskipun untuk itu nggak susah. Nggak tahu kenapa. Putus hubungan begitu saja. Padahal kalau mau ketemu dia gampang banget. Wong dia tetangga saya!
Kelas satu SMP, saya jatuh cinta lagi. Sebenarnya juga belum bisa dibilang jatuh cinta. Sepertinya—lagi-lagi—saya hanya suka saja. Dia teman sekelas saya. Orangnya…ehem, ehem! Pokoknya, cewek-cewek di kelas saya banyak yang menyukai dia. Dia tinggi, tegap, manis, dan pintar. Awalnya saya hanya suka saja melihat dia. Kalau nggak lihat ya nggak pa-pa. Tapi, kok lama-lama saya jadi rindu ya kalau enggak ketemu dia. Saya suka ketawa kalau ingat saya pernah ngikutin dia sampai ke rumahnya cuma karena pengen tahu di mana rumahnya. Sayang, gagal melulu. Habis, pulang sekolah dia mah nggak langsung pulang. Mampir dulu ke mana, gitu.
Saya juga sebel sama cewek cantik dengan inisial “S” yang deketin dia terus. Cemburu, bo! Soalnya kalah saingan. Untungnya, sampai lulus SMP, tuh cowok nggak pacaran sama S dan memang nggak pacaran sama siapa-siapa. Dia jomblo, saya juga. Sayang, nggak ketemu. Kacian…deh saya. Tapi, waktu itu saya nggak pernah berkeinginan pacaran sama dia. Zaman SMP dulu, saya masih culun-culunnya. Pacaran belum terlalu ngetren. Paling hanya beberapa saja teman saya yang pacaran. Jadi, waktu saya menyukai dia, saya cuma ingin bisa berteman dengan dia. Bisa seperti cewek-cewek lain yang leluasa ngobrol sama dia. Maklum, saya ini agak pemalu, sampai malu-maluin. Apalagi kalau ada rasa. Nggak bakal deh berani ngobrol sama cowok yang saya suka.
Kelas satu SMA, saya ketemu cinta yang lain. Ceritanya persis dengan cerita di novel-novel remaja. Saya jatuh cinta sama senior kelas dua yang meng-OSPEK saya. Dulu sih disebut, Penataran P4, sekarang MOS (Masa Orientasi Siswa). Biasa, deh. Tuh senior jahil abis. Sukanya ngerjain anak baru, dan saya salah satu yang kena dikerjain. Penyebabnya cuma satu, saya terpesona melihat matanya yang sendu (senang duit J). Perasaan saya waktu itu seneng banget. Sepertinya, saat itulah saya merasakan jatuh cinta yang sebenarnya-benarnya. Semua perasaan indah yang dirasakan orang yang jatuh cinta, saya rasakan. Tapi, seperti biasa, cuma saya pendam dalam hati. Itu nggak berlangsung lama. Teman sebangku saya, mulai iseng nanya: “Eh, ada senior yang lu taksir, nggak?” He-he. Saya nggak langsung menjawab. Aduh, jangan sampai deh teman saya tahu. Tapi, setelah teman saya itu ngomong: “Kalau gue sih, ada. Itu tuh. Kak… yang punya mata setajam elang.” Bla, bla, bla. Saya nggak tahan buat omong: “Gue juga.” Teman-teman saya langsung heboh, “Siapa-siapa?!!” Yah…akhirnya ketahuan juga. Resehnya, ada teman yang bilang: “Kirim surat aja ke dia!”
Saya terbelalak. Kirim surat…?! Mana ada dalam kamus saya?! Saya kan, pemalu. Pokoknya saya nggak mau, eh teman-teman saya maksa terus. Bener-bener reseh. Gitu, deh kalau punya teman segeng yang reseh-reseh. Salah satu teman yang reseh itu bahkan bersedia menemani saya mengirim surat ke senior. Katanya: “Gue juga naksir sama senior. Gimana kalau kita kirim surat ke senior yang kita taksir?” Sepertinya, teman saya itu anak buah Romi Rafael yang pintar menghipnotis. Habis, entah kenapa, saya kok mau-maunya ngikutin saran dia. Malam harinya saya menulis surat pakai bahasa Inggris ke senior yang saya suka itu. Isinya singkat aja. Tapi maaf, meskipun singkat, saya sudah lupa. Saya taruh surat itu di loket pos sekolah, dan kemudian saya dengar berita kalau senior yang saya suka itu penasaran banget pengen tahu siapa saya. Dan teman saya yang reseh itu, mempertemukan saya dengan senior itu…!!
Berhasilkah? Tidak juga. Habis, ternyata senior itu pemalu juga. Sebagai cewek, saya gengsi ngomong cinta duluan. Sebagai cowok yang ditaksir cewek, dia juga gengsi menyatakan cinta. Akhirnya, ya…gitu, deh. Ending yang tidak membahagiakan. Kami cuma berteman saja. But, terus-terang, saya memang sangat mencintai senior itu. Teman-teman saya bilang, “cinta mentok!” Habis, nggak ada cowok lain yang bisa menempati hati saya selain dia. Saya bahkan pernah berpikir, cinta saya kepada dia akan abadi. Saya pasti akan mencintai dia selama-lamanya. Lagu-lagu melankolis milik Krisdayanti yang berjudul “Mencintaimu”, dan lagu Nike Ardilla yang liriknya kira-kira begini: “Ijinkan, cintaku, berbunga di hatimu…” saya hapal di luar kepala. Lagu-lagu itu benar-benar mewakili perasaan saya waktu itu. Setiap hari yang saya bicarakan hanya dia seorang sampai teman-teman nggak mau bicara lagi sama saya karena bosannya.
Suatu hari saya dengar dia punya pacar. Duh, saya sedih banget. Untuk melupakan dia, saya sampai bilang ke teman-teman, kalau mereka mendengar saya menyebut nama dia lagi, saya akan memberikan uang kepada teman-teman saya itu. Teman-teman saya seneng banget. Sebab saya memang sering banget menyebut nama dia meskipun lagi benci setengah mati. Teman-teman saya heran. Kok saya bisa begitu, ya? Yah, memang kenyataannya begitu. Biarpun ada cowok yang lebih dari dia, saya tetap mencintai dia. Sampai dia lulus SMA pun, saya tetap mencintai dia. Bahkan sampai saya yang lulus SMA, hanya dia yang ada di hati saya. Saya pernah yakin, dia pasti jodoh saya.
Kalau dihitung-hitung, empat tahun saya mencintai dia. Saya sempat pengen kuliah di IKJ juga karena dia kuliah di IKJ. Untung saya keterima PMDK di Undip. Jadi, kan nggak ketemu dia. Sekarang kalau saya ketemu dia, mungkin saya nggak bakal naksir dia lagi. Saya dengar, penampilan dia sekarang gokil abis. Biasa deh, anak IKJ. Rambut gondrong, penampilan nyentrik. Akhirnya, perasaan cinta itu lenyap dengan sendirinya. Saya sampai heran, apa benar saya pernah jatuh cinta sama dia? Tapi, saya berterima kasih banget sama dia. Selama mencintai dia, saya sudah membuat kurang lebih 50 judul novel yang semua ceritanya terinspirasi dia. Tapi, itu cuma judulnya aja, lho…. J Ceritanya? Hanya sebagian yang sudah selesai saya buat. Saya keburu ketemu fiksi islami sehingga nggak sempat nulis novel roman seperti itu. BTW, thanks banget ya, Kak….
Kuliah…saya belum juga lepas dari yang namanya, Cinta (emang nggak mungkin, kan?). Kuliah semester pertama, saya masih kepikiran senior SMA itu sampai-sampai setiap cowok yang saya temui di Semarang saya bilang mirip dia, padahal sih enggak banget. Tengah-tengah semester, baru deh saya ketemu cinta baru. Saya sudah ikut pengajian, tapi masih slengean. Cinta saya yang kesekian itu agaknya karena saya kualat. Cowok itu, tinggi, putih, pokoknya nggak jauh beda sama Steve Immanuel yang main di “Siapa Takut Jatuh Cinta.”
Waktu ketemu dia, terus-terang saya jijay abis. Saya memang nggak suka cowok yang berkulit putih. Nggak macho. Udah gitu dia gondrong, nggak disisir, dan penampilannya nggak rapi lagi. Ke kampus pake kaus yang sudah pudar warnanya Benar-benar minus abis di mata saya. Memang mata saya kali yang minus. Soalnya, teman-teman sefakultas tuh banyak yang naksir dia, eh saya malah enggak. Nggak level! Suatu hari, dia potong rambut. Cepak. Yah, biasa. Dampak OSPEK. Penampilannya juga jadi rapi jali. Pakai kemeja kotak-kotak biru dongker yang disetrika licin. Saat itulah saya melihat dia benar-benar keren. Saya jatuh simpati. Alamak….
Yang paling membuat saya jatuh simpati sama dia adalah kepribadiannya yang nggak jauh beda sama fisiknya. Orangnya sopan, baik, ramah, tidak merokok, dan belum pernah pacaran! Belum pernah pacaran? Dari mana saya tahu? Ya dari dia sendiri. Suatu hari ada dosen yang nanya ke dia: “Kamu pasti sudah punya pacar, kan?” Wajar lah kalau dosen nanya gitu. Dia kan yang paling kinclong di kelas. Teman sekelas juga menduga, dia pasti sudah punya pacar. Tapi coba apa jawabnya? “Enggak, Pak. Saya belum pernah pacaran.”
Seisi kelas langsung terkejut dan menoleh ke arahnya. Wajahnya langsung merah. Dosen nggak percaya, tapi dia bilang” “Bener, Pak. Saya belum pernah pacaran, apalagi punya pacar.” Gitu! Wah…saya makin jatuh simpati. Kalau cuma ganteng doang sih belum tentu saya suka. Soalnya banyak cowok ganteng tapi kepribadiannya nol yang bikin saya muak abis.
Awalnya simpati, lama-lama jadi cinta. Ternyata dia tahu kalau saya sering memperhatikannya. Dia pun balas memperhatikan. Saya masih ingat bagaimana dia tersenyum melihat saya dan saya tersipu-sipu (deu…). Nggak tahu ya apakah saya cuma kegeeran aja. Yang pasti, dia pernah menelepon saya meskipun tidak saya angkat. Waktu itu saya belum tahu kalau nomor yang tercantum di layar ponsel saya adalah nomor dia. Saya baru tahu setelah seorang teman saya meminjam ponsel saya untuk mengirim sms ke dia.
Aduh…saya menyesal sekali tidak mengangkat telepon itu. Saya ingin meneleponnya balik, tapi nggak berani. Saya pemalu, dia juga. Kata temannya, selama ini dia belum pernah pacaran karena memang nggak berani menyatakan perasaannya ke cewek yang dia suka. So, harus cewek itu duluan. Wah…! Mana saya berani. Saya nggak ingin dia malah membenci saya. Soalnya saya pernah dengar, cowok paling nggak suka sama cewek yang ngomong cinta duluan (biasa, egois…). Daripada dia membenci saya, lebih baik saya pendam saja perasaan saya sambil berharap dia mau maju duluan.
Cinta itu indah, tapi menyakitkan. Sangat menyakitkan. Apa sebab? Sebab dia nonmuslim! Gabungnya aja di Persekutuan Mahasiswa Kristen. Pernah saya berdoa, semoga dia datang di kuliah Agama Islam, eh ternyata enggak. Ya emang enggak. Wong bukan muslim. Benar-benar, deh. Saya merasakan penderitaan yang sangat. Apalagi saat itu saya sudah jadi akhwat (sebenarnya saya nggak sreg menyebut diri saya “akhwat”. Terlalu berat gelar itu disandang oleh saya. Saya ikuti saja aturan umum bahwa muslimah berjilbab lebar dan aktif di Rohis disebut akhwat).
Sejak jadi akhwat, saya jadi tau hukum-hukum dalam pergaulan. Menundukkan pandangan, membersihkan hati dari kotoran, tidak bergaul terlalu dekat dengan lawan jenis, dan lain-lain. Berat sekali menahan kedua mata ini untuk tidak melihat dia, padahal saya sekelas sama dia. Yang paling berat adalah saat dia menatap saya dan saya memalingkan pandangan. Saat itu juga saya ingin menangis karena sudah mengacuhkan dia. Tapi saya berusaha bertahan dengan prinsip saya. Apalagi kalau ingat dia nonmuslim. Mungkin juga dia misionaris. Soalnya dia aktif di paduan suara gereja.
Soal misionaris ini, teman-teman saya yang bilang begitu. Waktu itu di Semarang memang ada desas-desus kalau ada jaringan misionaris yang masuk kampus, memacari muslimah (sasaran mereka muslimah berjilbab), dan membuat keimanan muslimah itu goyah. Rasanya saya nggak percaya dia akan sejahat itu, tapi saya coba terima masukan teman-teman untuk berhati-hati dengannya. Bisa membahayakan akidah saya. Pokoknya, saya benar-benar menahan mati-matian perasaan saya itu. Saya pernah ingin menyatakan perasaan saya kepadanya, tapi buru-buru saya lenyapkan keinginan itu. Saya harus menjaga harga diri saya sebagai seorang muslimah. Saya tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Malunya bukan main. Jalan satu-satunya adalah menghilangkan dia dari hati saya.
Untuk menghilangkan dia, saya juga semakin aktif di Rohis. Semua saran guru ngaji, saya ikutin. Puasa sunah yang dulu berat banget saya lakukan pun akhirnya saya lakukan. Puasa yang bukan sekadar puasa, tentu. Saya benar-benar mengacuhkan dia sampai saya melihat dia membenci saya. Saya sedih banget melihat dia pasang tampang judes kalau ketemu saya. Tapi, mau gimana lagi? Saya kan lagi puasa. Saya juga berdoa agar Allah memberikan cinta yang lain.
Saya heran, kenapa bisa jatuh cinta sama nonmuslim dan bukan ikhwan. Saya berdoa agar bisa jatuh cinta sama ikhwan (doa saya ngaco banget, ya?) Eh, terkabul. Saya jatuh cinta sama seorang ikhwan, aktivis Rohis di fakultas saya. Penyebabnya, saya melihat wajahnya seperti bersinar, gitu. Ternyata dia habis salat dhuha. Duh, jadi makin kesengsem. Saat itu saya semester tiga. Meskipun saya jatuh cinta sama seorang ikhwan, saya tetap mencintai si nonmuslim. Jadi, ada dua orang yang selalu saya hindari setiap saya berangkat ke kampus, si ikhwan dan si nonmuslim. Kenapa saya menghindar? Karena kata guru ngaji saya, itulah cara untuk menghilangkan virus merah jambu yang membuat saya ingin cepat-cepat menikah (padahal belum siap).
Untuk menghindari si ikhwan, saya sampai harus tidak mengikuti acara-acara Rohis yang dihadiri dia. Untungnya saya mudah menghindari yang nonmuslim. Dia sering bolos kuliah! Tapi yang ikhwan ini, nih. Ladalah, kok ya akhirnya saya tinggal bersebelahan dengan ikhwan itu. Saya di wisma akhwat, dia di wisma ikhwan. Kedua wisma itu, bersebelahan! Ketemu terus, lah. Bahkan akhirnya saya bisa mendengar suaranya yang ditujukan untuk saya (setelah saya membantunya untuk sesuatu hal). Saya masih ingat kata-katanya: Jazakillah, ukhti. Wow! Seneng banget. Padahal cuma dua kata. Baik kepada si nonmuslim maupun si ikhwan, saya yakin mereka jodoh saya. Entah kenapa, setiap saya jatuh cinta, setan-setan pasti membisikkan kata-kata ini ke telinga saya: “dia jodohmu, kok.” Itulah sebabnya saya sulit melupakan mereka.
Kemudian, ikhwan itu diwisuda. Saya nggak pernah ketemu dia lagi. Ternyata benar. Dengan tidak bertemu, cinta akan lenyap dengan sendirinya. Saya juga tidak lagi mencintai dia. Begitu juga dengan si nonmuslim. Saya diwisuda duluan. Berpisahlah kami. Saya pun jadi mudah melupakannya. Keuntungannya, hati jadi bebas dari penyakit. Kerugiannya, novel-novel saya yang terinspirasi “Cinta-Cinta” itu jadi tidak selesai. Kalau sudah tidak cinta, ya tidak mood menulis cerita tentang dia. Eh, tapi nggak tahu ya kalau saya ketemu lagi sama dia. Siapa tahu kalau ketemu lagi, perasaan itu tumbuh lagi.
Dari pengalaman cinta-cinta saya itu, saya bisa menyimpulkan bahwa tidak ada cinta yang abadi di dunia ini. Cinta kepada manusia itu tidak abadi. Buktinya, saya cinta berat sama senior MOS di SMA, ternyata setelah lama tak bertemu dan tentunya bertemu cinta yang lain, cinta itu pupus sudah. Begitu juga cinta saya kepada si nonmuslim dan si ikhwan. Begitu berpisah, lepas juga cinta yang pernah ada. Jadi, cinta abadi itu benar-benar nggak ada. Pasangan yang udah nikah aja, banyak yang jadi nggak cinta lagi setelah bertahun-tahun menikah. Hanya komitmenlah yang membuat mereka tetap bersatu.
Sekarang rasanya hati saya plong banget. Soalnya saya sedang nggak jatuh cinta sama siapa-siapa. Nggak tahu, nih. Tumben-tumbenan. Selepas kuliah, sudah setahun lebih ini saya nggak jatuh cinta. Mungkin energi cinta saya sengaja ‘disimpan’ untuk yang benar-benar pantas saya cintai. Cinta kepada Allah? Tentu. Maksudnya kepada manusia, gitu. Siapa dia? Entahlah. Saya belum menemukannya.
********************
Dimuat di antologi Ketika Penulis Jatuh Cinta (Lingkar Pena, 2005), bersama Asma Nadia, dkk
buku KPJC bantu ku lalui masa SMA dg bijak,di mana ku bisa dapat buku ini lg, coz bk lm ilang dpnjm tman
ReplyDeleteMau bukunya. Cari dimana ya ????
ReplyDelete