Friday, March 30, 2012
Jadilah Ibu yang Bahagia
Buku “Catatan Hati Ibu Bahagia” akhirnya terbit juga setelah berproses selama setahun lebih di penerbit. Ada yang unik dari buku ini. Buku yang dijanjikan terbit di bulan Oktober 2011 ini, sudah saya buat kuisnya dua minggu sebelumnya. Tidak tanggung-tanggung, saya membuat kuis di dua grup ibu-ibu. Kuisnya berhadiah buku ini, eh bukunya molor terbit. Baru di bulan Februari, bukunya terbit, hehe…. Alamat dapat tagihan hadiah dari para pemenang.
Belum lagi kover bukunya yang tiga kali mengalami perubahan, padahal saya sudah promo di mana-mana dengan kover yang lagi-lagi berubah. Kover terakhir ini katanya lebih cantik. Tidak mengapa, yang penting bukunya terbit. Oya, satu lagi, buku ini tadinya berjudul “Catatan Hati Ibu Rumah Tangga.” Atas pertimbangan penerbit, judulnya diubah jadi seperti di atas. Mungkin supaya segmen pasarnya lebih luas.
Padahal, isi bukunya lebih menyoroti kehidupan sehari-hari seorang ibu rumah tangga penuh waktu. Alias, ibu rumah tangga yang sehari-hari berada di rumah, seperti saya. Tidak mencakup ibu bekerja. Semoga saja tulisan-tulisan di dalamnya benar-benar bisa membuat ibu-ibu yang membaca menjadi bahagia…
Bicara soal bahagia menjadi ibu, saya sendiri kurang yakin apakah saya sudah bahagia. Lho??? Ya, rasanya setiap hari saya merasa stress, hehe… terlebih setelah dikaruniai dua anak yang usianya berdekatan. Buku ini saya tulis sejak baru memutuskan menjadi ibu rumah tangga, setelah sebelumnya berkarir di kantor, sampai dikaruniai satu momongan. Berisi catatan-catatan saya selama menjadi ibu rumah tangga di rumah, yang semoga dapat diambil manfaatnya.
Misalnya saja, saya bercerita tentang kejenuhan menjadi ibu rumah tangga di rumah. Setelah sebulan berhenti bekerja, saya baru merasakan betapa jenuhnya berada di rumah terus. Memang kadang-kadang jalan-jalan, tapi tidak setiap hari. Saking jenuhnya, setiap libur akhir pekan, suami pasti mengajak saya jalan-jalan, kalau tidak, bisa dipastikan saya akan cemberut. Lima hari di rumah terus, inginnya ada hari di mana saya melihat dunia. Lalu, saya tulislah catatan tentang kejenuhan ini dalam mencari solusi bagaimana mengatasi kejenuhan. Kejenuhan itu berkurang saat anak pertama lahir. Saya jadi sering jalan-jalan sore sambil menyuapi makan, mengobrol dengan ibu-ibu tetangga, dan sekarang semakin berkurang setelah bisa online kapan saja. Tanpa keluar rumah pun, saya bisa berkomunikasi dengan banyak orang dan “melihat dunia.”
Maka, wajar saja jika berdasarkan penelitian, ibu rumah tangga adalah pemakai terbesar dari internet. Kejenuhan berada di rumah, itulah pangkal penyebabnya. Sebuah bukti bahwa sosialisasi itu perlu. Berbeda dengan ibu bekerja yang bisa bertemu dengan banyak orang setiap hari, ibu rumah tangga di rumah tidak selalu. Memang bisa bergaul dengan tetangga, tapi tidak selalu tetangga mau digerecoki kedatangan kita di rumahnya setiap hari. Lagipula, saya pribadi agak kurang nyambung ngobrol dengan ibu-ibu tetangga, karena bahan pembicaraan yang jauh berbeda.
Ada juga catatan saya mengenai eksistensi seorang ibu rumah tangga. Betapa profesi itu masih dipandang sebelah mata sebagai profesi yang tidak “gaya,” tidak “intelek,” pilihan hidup seorang wanita putus asa yang tidak bisa berkarir di luar rumah, tidak bebas financial, tidak bermanfaat untuk orang banyak, dan sebagainya. Namun, saya bertemu dengan seorang ustazah, istri ustaz ternama di Bandung, yang ketika ditanya apa profesi utamanya, dengan bangga ia menjawab; “IBU RUMAH TANGGA.” Lalu, mengapa saya harus minder mengakui bahwa saya juga seorang ibu rumah tangga? Saya menjadi ibu rumah tangga berdasarkan pilihan sendiri, bukan terpaksa. Sebelumnya, saya punya karir bagus di kantor. Tetapi, saya memilih menjadi ibu rumah tangga penuh waktu.
Lalu, saya juga membahas hubungan dengan anak, dari masalah antara ASI dan SUFOR, Popok kain dan diapers, sulitnya mendidik anak laki-laki, tetapi juga sulit mendidik anak perempuan, juga kisah menyentuh tentang sahabat saya yang kehilangan bayinya karena gangguan jantung. Semua catatan itu saya carikan juga dalilnya di dalam Al Quran dan hadis. Ternyata, dua kitab pegangan kita itu membahas lengkap permasalahan ibu-ibu. Jadi, hiburan kita sepenuhnya memang dari ayat-ayat Allah dan Sabda Rasul.
Hubungan dengan suami, juga tidak luput dari catatan saya. Mengambil hikmah yang terserak dari kisah sedih perceraian kakak kelas saya, yang seorang ustazah, dengan suaminya yang seorang ustaz. Celotehan ibu-ibu di tukang sayur, tentang suaminya masing-masing, kisah seorang ibu yang kalah saing dengan pembantunya di depan mata suaminya, dan sebagainya. Ada yang lucu, ada juga yang sedih, dan semua itu ada juga bahasannya di dalam Al Quran dan Hadis.
Terakhir, mengoreksi diri kita sebagai wanita yang telah menjadi istri dan ibu. Target apa yang ingin kita capai ke depannya, apakah target rohani atau materi? Pernah saya baca catatan resolusi seorang ibu di multiply, tentang targetnya tahun depan yang semua berbau materi. Ingin punya mobil, rumah, tabungan emas, dan sebagainya. Lalu teringat target tahunan pengajian di tempat saya belajar mengaji, mengapa jauh berbeda? Dan saya pun terinspirasi dengan tulisan Ifa Avianty di Majalah Ummi, yang kurang lebih bercerita tentang keinginan seorang ibu yang ingin dekat dengan Tuhan. Betapa mempunyai bayi dan anak kecil, memang kerap kali melalaikan kita dari beribadah. Mau salat, anak pipis. Mau ngaji, anak rewel. Mau puasa, suami melarang.
Semoga saja catatan-catatan saya di di dalam buku ini, bisa mencapai tujuan dari judul bukunya; membuat hati kita—para ibu—senantiasa bahagia menghadapi segala problema yang ada, karena semuanya telah dibahas di dalam Al Quran dan Hadis.
So, jadilah ibu yang bahagia (termasuk saya), sebab orang-orang di sekitar kita amat terpengaruh dengan aura kita.
salam sukses selalu, mba .. ^^
ReplyDeleteAaamiin.. makasih Mba Marisa
ReplyDeletesukses mbak Ella... pengen banget baca bukunya, :-)
ReplyDeleteSukses selalu mbak Ella... pengen banget baca bukunya. insya Allah pulkam mau hunting aahhh..
ReplyDelete